Kisah Raja Najasyi (Ashhamah bin Jabar)

Kisah Raja Najasyi (Ashhamah bin Jabar)

Najasyi bisa dikatakan tabi’in, bisa juga dikatakan sebagai sahabat. Hubungannya dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berlangsung melalui surat-menyurat. Ketika beliau wafat, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat gaib untuknya, shalat yang belum pernah beliau lakukan sebelumnya.

Dialah Ashhamah bin Abjar yang dikenal dengan sebutan “An-Najasyi“. Marilah, pada kesempatan yang penuh berkah ini, sejenak kita telusuri kehidupan seorang tokoh besar kaum muslimin ini.

Ayah Ashamah adalah raja negeri Habasyah, dan dia tidak memiliki anak melainkan beliau. Kondisi ini dipandang kurang baik untuk masa depan negeri itu. Sebagian tokoh Habasyah saling berbisik, “Raja kita hanya memiliki seorang putra. Dia hanya menyusahkan. Dia akan mewarisi takhta bila raja wafat dan mengantar kita ke arah kebinasaan. Lebih baik, kita bunuh Sang Raja dan kita angkat saudaranya menjadi raja baru. Dia memiliki 12 putra yang membelanya semasa hidup dan menjadi pewarisnya bila meninggal.”

Dengan gencar, setan membisik dan memprovokasi mereka hingga mereka membunuh raja dan mengangkat saudaranya untuk menggantikannya.

Kini, Ashamah diasuh oleh pamannya. Dia tumbuh menjadi pemuda yang cerdas, penuh semangat, ahli berargumen, dan berkepribadian luhur. Ia menjadi andalan pamannya dan diutamakan, lebih daripada anak-anaknya sendiri.

Namun, setan kembali memprovokasi para pembesar Habasyah. Mereka kembali berembuk. Di antara mereka berkata, “Kita khawatirkan bila kerajaan ini jatuh ke tangan pemuda itu, pastilah dia akan membalas dendam atas kematian ayahandanya dahulu.”

Akhirnya, mereka menghadap raja dan berkata, “Tuanku, kami tidak bisa merasa aman dan tenteram bila Tuan belum membunuh Ashamah atau menyingkirkannya dari sini. Dia telah beranjak dewasa dan kami khawatir dia akan balas dendam.”

Mendengar permintaan tersebut, Raja sangat murka dan berkata, “Sejahat-jahat kaum adalah kalian! Dahulu kalian membunuh ayahnya dan sekarang kalian memintaku untuk membunuhnya pula. Demi Allah, aku tak akan melakukannya!”

Mereka berkata, “Kalau begitu kami akan mengasingkannya dari negeri ini.” Sang Raja tak berdaya menghadapi tekanan dan paksaan para pejabat yang jahat itu.

Tak lama setelah diusirnya Ashamah, tiba-tiba terjadi peristiwa di luar dugaan. Badai mengamuk disertai guntur dan hujan lebat. Sebatang pilar istana roboh menimpa Sang Raja yang sedang berduka akibat kepergian keponakannya. Beberapa waktu kemudian, dia wafat.

Rakyat Habasyah berunding untuk memilih raja baru. Mereka mengharapkan salah satu dari dua belas putra Raja, namun ternyata tak ada satu pun dari mereka yang layak menduduki takhta. Mereka menjadi cemas dan gelisah, terlebih setelah mendapati bahwa negeri-negeri tetangga menunggu kesempatan untuk menyerang. Kemudian, ada salah seorang di antara mereka berkata: “Demi Allah, tak ada yang patut menjadi pemimpin kalian kecuali pemuda yang kalian usir itu. Jika kalian memang peduli dengan negeri Habasyah, carilah dia dan pulangkanlah dia!”

Mereka pun bergegas mencari Ashamah dan membawanya pulang ke negerinya. Lalu, mereka meletakkan mahkota di atas kepalanya dan membai’atnya sebagai raja. Mereka memanggilnya dengan Najasyi. Dia memimpin negeri secara baik dan adil. Kini, Habasyah diliputi kebaikan dan keadilan setelah sebelumnya didominasi oleh kezaliman dan kejahatan.

Saat yang bersamaan dengan naiknya Najasyi menduduki takhta di Habasyah, di tempat lain, Allah subhanahu wa ta’ala mengutus Nabi-Nya, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk membawa agama yang penuh hidayah dan kebenaran, satu per satu assabiqunal-awwalun memeluk agama ini.

Kaum muslimin meminta suaka ke Raja Najasyi
Orang-orang Quraisy mulai mengganggu dan menganiaya mereka. Ketika Mekkah sudah terasa sesak bagi kaum muslimin karena gencarnya tekanan-tekanan musyrikin Quraisy, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Di negeri Habasyah bertakhta seorang raja yang tidak suka berlaku zalim terhadap sesama. Pergilah kalian ke sana dan berlindunglah di dalam pemerintahannya, sampai Allah subhanahu wa ta’ala membukakan jalan keluar dan membebaskan kalian dari kesulitan ini.”

Maka, berangkatlah rombongan muhajirin pertama dalam Islam yang berjumlah 80 orang ke Habasyah. Di negeri baru itu, mereka mendapatkan ketenangan dan rasa aman, bebas menikmati manisnya takwa dan ibadah tanpa gangguan.

Akan tetapi, pihak Quraisy tidak tinggal diam setelah mengetahui bahwa kaum muslimin bisa hidup tenang di Habasyah. Mereka segera berunding menyusun makar untuk menghabisi kaum muhajirin atau menarik mereka kembali ke Mekkah.

Mereka mengirimkan dua orang utusannya kepada Najasyi di Habasyah. Keduanya orang pilihan dan pandai berdiplomasi, yaitu Amru bin Ash dan Abdullah bin Abi Rabi’ah. Mereka berangkat dengan membawa hadiah-hadiah dalam jumlah besar untuk Najasyi dan para pejabat tinggi Habasyah yang dikenal menyukai barang-barang dari Mekkah.

Sesampainya di Habasyah, keduanya terlebih dahulu menjumpai para pejabat sambil menyuap mereka dengan hadiah-hadiah yang dibawa. Keduanya berkata, “Di negeri Anda, telah tinggal sejumlah pengacau dari kota kami. Mereka keluar dari agama nenek moyang dan memecah belah persatuan kami. Maka, jika nanti kami menghadap Najasyi dan membicarakan masalah ini, kami mohon Anda semua mendukung kata-kata kami untuk menentang agama mereka, tanpa bertanya. Kami adalah kaum mereka. Kami lebih mengenal siapakah mereka dan mengharapkan agar kalian sudi menyerahkan mereka kepada kami.”

Setelah memilih saat yang tepat, Amru bin Ash dan Abdullah bin Abi Rabi’ah menghadap Najasyi. Mereka terlebih dahulu sujud menyembah seperti yang biasa dilakukan orang-orang Habsyi. Najasyi menyambut keduanya dengan baik karena sebelumnya dia telah mengenal Amru bin Ash. Kemudian, tokoh Quraisy itu memberikan hadiah-hadiah yang indah disertai titipan salam dari para pemuka Quraisy yang dipimpin oleh Abu Sufyan.

Raja Najasyi menghargai hadiah-hadiah pemberian mereka. Kemudian, Amru mulai bicara, “Tuan, telah tiba di negeri Anda beberapa orang pengacau dari kaum kami. Mereka telah keluar dari agama kami dan tidak pula menganut agama Anda. Mereka mengikuti agama baru yang kami tidak mengenalnya begitu pula Anda. Kami berdua diutus oleh pemimpin kaum kami untuk meminta agar Tuanku mengembalikan mereka kepada kaumnya, karena kaumnyalah yang lebih tahu akibat yang dimunculkan oleh agama yang baru itu, berupa fitnah dan kekacauan yang mereka timbulkan.”

Najasyi menoleh kepada para penasihat istana dan meminta pendapat mereka. Mereka berkata, “Benar, Tuanku. Kita tidak tahu tentang agama baru itu dan tentunya kaum mereka lebih paham akan hal itu daripada kita.”

Najasyi berkata, “Tidak, demi Allah! Aku tidak akan menyerahkan mereka kepada siapa pun sebelum mendengarkan keterangan mereka sendiri dan mencari tahu tentang kepercayaan mereka. Bila mereka dalam kejahatan maka aku tidak keberatan untuk menyerahkan mereka kepada kalian. Namun kalau mereka dalam kebenaran, aku akan melindungi dan memelihara mereka selama mereka ingin tinggal di negeri ini. Demi Allah, aku tidak akan melupakan karunia Allah subhanahu wa ta’ala kepada diriku yang telah mengembalikan aku ke negeri ini karena ulah orang-orang yang keji.”

Kaum muslimin yang hijrah itu pun dipanggil Najasyi ke istana. Mereka menjadi bertanya-tanya, lalu saling bertukar pikiran sebelum berangkat. Di antara mereka ada yang berkata, “Apa jawaban kita nanti jika ditanya tentang agama kita?”

Yang lain menjawab, “Kita katakan saja perkara yang difirmankan Allah dalam kitab-Nya dan kita jelaskan segala yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang Rabb-nya.”

Berangkatlah mereka menuju istana. Di sana, mereka melihat Amru bin Ash dan Abdullah bin Abi Rabi’ah, sementara uskup-uskup Najasyi duduk berkeliling dengan pakaian kebesaran mereka dengan kitab-kitab yang terbuka di tangan. Kaum muslimin duduk di tempat yang telah disediakan setelah memberi salam secara Islam.

Amru bin Ash menoleh kepada mereka dan bertanya, “Mengapa kalian tidak sujud kepada Raja?” Mereka pun menjawab, “Kami tidak sujud kecuali kepada Allah subhanahu wa ta’ala.”

Najasyi menggeleng-gelengkan kepala karena kagum dengan jawaban itu. Dia memerhatikan mereka dengan pandangan simpati, lalu berkata, “Apa sebenarnya agama yang kalian anut? Kalian meninggalkan agama nenek moyang kalian dan tidak pula mengikuti agama kami.”

Setelah memohon izin, Ja’far menjawab, “Wahai Raja, sesungguhnya kami sama sekali tidak menciptakan agama baru. Akan tetapi, Muhammad bin Abdullah telah diutus oleh Rabb-nya untuk menyebarkan agama dan petunjuk yang benar serta mengeluarkan kami dari kegelapan menuju cahaya terang-benderang. Pada awalnya, kami adalah kaum yang hidup dalam kebodohan. Kami menyembah api, memutuskan hubungan keluarga, memakan bangkai, berlaku zalim, tidak menyayangi tetangga, dan yang kuat selalu menekan yang lemah. Dalam kondisi demikian, Allah subhanahu wa ta’ala mengutus rasul yang kami ketahui asal-usulnya, kami percayai kejujurannya, amanah, dan kesuciannya untuk menyeru kami kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan mengajak kami melakukan ibadah dan mengesakan-Nya. Dia memerintahkan agar kami menegakkan shalat, membayar zakat, berpuasa pada bulan Ramadan dan meninggalkan penyembahan terhadap berhala dan batu-batu. Beliau memerintahkan kepada kami agar senantiasa jujur dalam berbicara, menunaikan amanah, menyambung persaudaraan, dan menghargai darah. Beliau melarang kami berzina, bersaksi palsu, dan memakan harta anak yatim. Maka kami beriman dan mengikuti risalahnya serta menjalankan petunjuk yang beliau bawa.

Sekarang, kami hanya beribadah kepada Allah saja –tiada sekutu bagi-Nya–, mengharamkan segala sesuatu yang diharamkan bagi kami dan menghalalkan segala sesuatu yang dihalalkan. Akan tetapi, kaum kami memusuhi dan menyiksa kami agar kami kembali kepada agama nenek moyang, agar kami kembali menyembah patung-patung berhala setelah menyembah Allah subhanahu wa ta’ala. Mereka berlaku zalim dan menghalangi kami menjalankan agama, sehingga kami lari kemari untuk mencari tempat berlindung. Kami memilih negeri Anda dengan harapan tidak mendapatkan perlakuan yang zhalim di sini.”

Najasyi bertanya kepada Ja’far bin Abi Thalib, “Apakah kalian membawa sesuatu yang dibawa oleh Nabi itu tentang Rabb-nya?” Beliau menjawab, “Ya, ada.” Najasyi berkata, “Tolong bacakan untuk kami”

Najasyi bertanya kepada Ja’far bin Abi Thalib, “Apakah kalian membawa sesuatu yang dibawa oleh Nabi itu tentang Rabb-nya?” Beliau menjawab, “Ya, ada.” Najasyi berkata, “Tolong bacakan untuk kami”

Lalu Ja’far membacakan surat Maryam,

وَاذْكُرْ فِي الْكِتَابِ مَرْيَمَ إِذِ انتَبَذَتْ مِنْ أَهْلِهَا مَكَاناً شَرْقِيّاً. فَاتَّخَذَتْ مِن دُونِهِمْ حِجَاباً فَأَرْسَلْنَا إِلَيْهَا رُوحَنَا فَتَمَثَّلَ لَهَا بَشَراً سَوِيّاً. قَالَتْ إِنِّي أَعُوذُ بِالرَّحْمَن مِنكَ إِن كُنتَ تَقِيّاً. قَالَ إِنَّمَا أَنَا رَسُولُ رَبِّكِ لِأَهَبَ لَكِ غُلَاماً زَكِيّاً. قَالَتْ أَنَّى يَكُونُ لِي غُلَامٌ وَلَمْ يَمْسَسْنِي بَشَرٌ وَلَمْ أَكُ بَغِيّاً. قَالَ كَذَلِكِ قَالَ رَبُّكِ هُوَ عَلَيَّ هَيِّنٌ وَلِنَجْعَلَهُ آيَةً لِلنَّاسِ وَرَحْمَةً مِّنَّا وَكَانَ أَمْراً مَّقْضِيّاً. فَحَمَلَتْهُ فَانتَبَذَتْ بِهِ مَكَاناً قَصِيّاً. فَأَجَاءهَا الْمَخَاضُ إِلَى جِذْعِ النَّخْلَةِ قَالَتْ يَا لَيْتَنِي مِتُّ قَبْلَ هَذَا وَكُنتُ نَسْياً مَّنسِيّاً. فَنَادَاهَا مِن تَحْتِهَا أَلَّا تَحْزَنِي قَدْ جَعَلَ رَبُّكِ تَحْتَكِ سَرِيّاً

“Dan ceritakanlah (kisah) Maryam di dalam Alquran, yaitu ketika ia menjauhkan diri dari keluarganya ke suatu tempat di sebelah timur, maka ia mengadakan tabir (yang) melindunginya dari mereka; lalu Kami mengutus ruh Kami kepadanya maka ia menjelma di hadapannya (dalam bentuk) manusia yang sempurna. Maryam berkata, ‘Sesungguhnya aku berlindung kepada Rabb yang Maha Pemurah, jika kamu seorang yang bertakwa.’ Ia (Jibril) berkata, ‘Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang utusan Rabb-mu, untuk memberimu seorang anak laki-laki yang suci.’ Maryam berkata, ‘Bagaimana akan ada bagiku seorang anak laki-laki, sedang tidak pernah seorang manusia pun menyentuhku dan aku bukan (pula) seorang pezina?’ Jibril berkata, ‘Demikianlah. Rabb-mu berfirman, ‘Hal itu adalah mudah bagi-Ku; dan agar dapat Kami menjadikannya suatu tanda bagi manusia dan sebagai rahmat dari Kami; dan hal itu adalah suatu perkara yang sudah diputuskan.” Maka Maryam mengandungnya, lalu ia menyisihkan diri dengan kandungannya itu ke tempat yang jauh. Maka rasa sakit akan melahirkan anak memaksa ia (bersandar) pada pangkal pohon kurma; ia berkata, ‘Aduhai, alangkah baiknya aku mati sebelum ini, dan aku menjadi sesuatu yang tidak berarti, lagi dilupakan.’ Maka Jibril menyerunya dari tempat yang rendah, ‘Janganlah kamu bersedih hati, sesungguhnya Rabb-mu telah menjadikan anak sungai di bawahmu.’” (Q.s. Maryam:16–24)

Tampaklah, Najasyi menangis terharu mendengarnya, demikian pula uskup-uskup yang hadir di situ hingga kitab-kitab mereka basah oleh tetesan air mata.

Najasyi berkata kepada utusan Quraisy tersebut, “Apa yang mereka bacakan kepada kami dan apa yang dibawa oleh Isa ‘alaihissalam berasal dari sumber yang sama. Demi Allah, aku tidak akan menyerahkan mereka sama sekali kepada kalian selama aku masih hidup.” Kemudian dia bangkit dari singgasana dan pertemuan itu pun dibubarkan.

Keluarlah Amru bin Ash dengan gusar. Ia berkata kepada kawannya, “Demi Allah, Aku akan menghadap Najasyi lagi besok. Akan aku katakan sesuatu yang bisa membangkitkan amarahnya sampai ke dasar hatinya sehingga dia menghabisi mereka.”

Abdullah bin Abi Rabi’ah yang lebih lunak sikapnya berusaha mencegah, “Janganlah engkau melakukannya, wahai Amru! Bagaimana pun, mereka masih sanak famili kita meskipun berbeda paham dengan kita.”

Namun, Amru berkata, “Demi Allah, aku akan katakan bahwa mereka telah menyebutkan sesuatu yang buruk tentang Isa bin Maryam, mereka menyembunyikan sesuatu, mereka telah menuduh Isa, dan mengatakan bahwa Isa hanyalah seorang hamba.”

Sesuai yang direncakan, esok harinya Amru bin Ash menghadap kepada Najasyi dan berkata, “Tuanku, kemarin mereka telah menguraikan sesuatu tetapi menyembunyikan banyak hal lainnya. Mereka juga mengatakan bahwa Isa adalah hamba.”

Kaum muslimin kembali dipanggil ke istana. Mereka ditanya, “Apa yang kalian katakan tentang Isa bin Maryam?”

Ja’far menjawab, “Kami mengatakan sebagaimana yang dikatakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.”

Najasyi berkata, “Bagaimana kata-katanya?”

Ja’far menjawab, “Beliau berkata bahwa Isa adalah hamba dan utusan Allah. Dia merupakan kalimatullah yang diletakkan pada diri Maryam, seorang perawan suci.”

Najasyi berkata, “Demi Allah, tidak ada pendapat kalian yang salah tentang Isa ‘alaihis salam seujung rambut pun.“

Terdengar bisikan-bisikan para uskup yang terkesan mengingkarinya. Najasyi memandang mereka dengan tajam lalu berkata tegas, “Aku tidak peduli dengan apa yang kalian bisikkan!” Beliau berkata kepada Ja’far dan kawan-kawannya, “Kalian boleh tinggal dengan aman di negeriku. Barang siapa berani menganggu kalian, akan aku tindak dengan tegas. Aku tidak sudi disuap dengan segunung emas untuk menganggu seorang pun di antara kalian.”

Beliau perintahkan kepada pengawalnya, “Kembalikan hadiah-hadiah dari Amru bin Ash dan kawannya itu! Aku tidak membutuhkannya. Allah tidak menerima suap dariku ketika aku dikembalikan ke negeriku. Untuk apa aku menerima suap dari mereka ini?”

Hampir saja terjadi pertumpahan darah dengan keputusan najasyi
Negeri Habasyah bergolak. Para uskup yang tidak puas dengan keputusan itu menyebarkan isu bahwa Najasyi telah meninggalkan agamanya dan mengikuti agama baru. Mereka juga menghasut rakyat agar menggulingkan rajanya. Beberapa lama, rakyat Habasyah diguncang oleh dilema besar tersebut. Bahkan beberapa orang ingin membatalkan bai’atnya kepada Najasyi.

Melihat hal itu, Najasyi mengabarkan situasi negeri kepada Ja’far bin Abi Thalib dan menyerahkan dua buah kapal. Setelah siap menghadapi para pembangkang, dikatakannya kepada kaum muslimin, “Naiklah kalian ke kapal itu, amati perkembangannya. Bila aku kalah, pergilah ke mana kalian suka. Akan tetapi, kalau aku menang, kalian boleh kembali dalam perlindungan seperti semula.”

Selanjutnya, Najasyi mengambil sehelai kulit kijang dan menuliskan di atasnya, “Aku bersaksi bahwa tidak ada Ilah yang berhak disembah kecuali Allah dan Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya yang terakhir. Aku juga bersaksi bahwa Isa adalah hamba-Nya dan utusan-Nya, ruh-Nya, dan kalimat-Nya yang ditiupkan kepada Maryam.” Dipakainya tulisan itu di dada, kemudian dia mengenakan pakaian perangnya dan pergi bersama para prajuritnya.

Berdirilah Najasyi menghadapi para penentang-penentangnya. Dia berkata, “Wahai rakyat Habasyah, katakanlah, bagaimana perlakuanku terhadap kalian?” Mereka menjawab, “Sangat baik, Tuanku.” Najasyi berkata, “Lalu mengapa kalian menentangku?”

Mereka berkata, “Karena Anda telah keluar dari agama kita dan mengatakan bahwa Isa adalah seorang hamba.” Najasyi berkata, “Bagaimana menurut kalian sendiri?” Mereka menjawab, “Dia adalah putra Allah.”

Maka Najasyi mengeluarkan tulisan yang dipakainya di dada diletakkan di atas meja dan berkata: “Aku bersaksi bahwa Isa bin Maryam tidaklah lebih dari yang tertulis di sini.” Di luar dugaan, ternyata rakyat menerima dengan senang pernyataan Najasyi. Mereka membubarkan diri dengan lega.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam semakin percaya kepada Najasyi. Penghargaan Najasyi terhadap Muhajirin yang datang ke negerinya dan membuat mereka aman dalam perlindungannya, menggembirakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Apalagi setelah mendengar kecondongannya kepada Islam dan keyakinannya akan kebenaran Alquran. Hubungan Najasyi dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam semakin erat.

Memasuki tahun baru 7 Hijriah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkehendak untuk berdakwah kepada enam orang pemimpin negeri tetangga agar mau masuk agama Islam. Beliau menulis untuk mengingatkan mereka akan iman serta menasihatkan tentang bahaya syirik dan kekufuran. Maka beliau menyiapkan enam orang sahabat.

Terlebih dahulu, mereka mempelajari bahasa kaum yang hendak didatangi agar dapat menyelesaikan tugas dengan sempurna. Setelah siap, keenam shahabat tersebut berangkat pada hari yang sama. Di antara mereka ada Amru bin Umayah Adh-Dhamari yang diutus kepada Najasyi di negeri Habasyah.

Sampailah Amru bin Umayah Adh-Dhamari di hadapan Najasyi. Dia memberi salam secara Islam dan Najasyi menjawabnya dengan lebih indah serta menyambutnya dengan baik.

Setelah dipersilakan duduk di majelis Habasyah, Amru bin Umayah memberikan surat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Najasyi dan langsung dibacanya. Di dalamnya tertulis ajakan kepada Islam, disertai beberapa ayat Alquran. Najasyi menempelkan surat itu di kepala dan matanya dengan penuh hormat. Setelah itu, dia turun dari singgasana dan menyatakan keislamannya di depan hadirin. Selesai mengucapkan syahadat, dia berkata, “Kalau saja aku mampu untuk mendatangi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam niscaya aku akan duduk di hadapan beliau dan membasuh kedua kakinya.” Kemudian beliau menulis surat jawaban pendek kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berisi pernyataan menerima dakwahnya dan keimanan atas kenabiannya.

Selanjutnya, Amru bin Umayah menyodorkan surat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang kedua. Dalam surat itu Rasulullah minta agar Najasyi bertindak sebagai wakil untuk pernikahan beliau dengan Ramlah binti Abu Sufyan yang termasuk rombongan Muhajirin ke Habasyah.

Sepintas tentang Ummu Habibah

Sedangkan Ramlah –yang biasa dipanggil Ummu Habibah itu– memiliki lika-liku hidup yang berakhir dengan kebahagiaan. Meski sepintas, marilah kita simak perjalanannya.

Ramlah binti Abu Sufyan adalah salah satu penentang kepercayaan ayahnya, Sang Pemuka Quraisy itu. Dia menyatakan keimanannya kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya bersama suaminya, Ubaidullah bin Jahsy. Oleh karena itu, pasangan suami-istri ini termasuk yang mendapat gangguan dari orang-orang Quraisy.

Keduanya ikut dalam rombongan Muhajirin yang berlindung kepada Najasyi di Habasyah, demi mempertahankan dinullah. Seperti yang telah disaksikan, para Muhajirin itu mendapat pelayanan yang baik dan jaminan keamanan dari Najasyi sehingga terbayang dalam angan Ummu Habibah bahwa semua deritanya akan segera berlalu. Dia tidak tahu perihal sesuatu yang disembunyikan takdir untuknya.

Allah subhanahu wa ta’ala berkehendak menguji Ummu Habibah dengan ujian berat yang mampu mengguncang akal. Tidak disangka, Ubaidullah bin Jahsy menjadi murtad. Dia masuk agama Nasrani dan berbalik memusuhi Islam serta kaum muslimin. Pekerjaannya hanya duduk-duduk di tempat maksiat dan menjadi pemabuk berat. Bahkan, dia memberikan tawaran kepada Ummu Habibah, ikut agama Masehi seperti dirinya atau diceraikan.

Di hadapan Ummu Habibah, ada tiga pilihan yang sulit. Pertama, mengikuti suami dan menjadi seorang Nasrani, yang dengan demikian, dia akan dikutuk dunia dan akhirat. Kedua, kembali kepada ayahnya di Mekkah yang masih hidup dalam kemusyrikan. Ketiga, tetap di Habasyah, seorang diri dalam pengasingan bersama putrinya, Habibah.

Akhirnya, beliau mengutamakan ridha Allah subhanahu wa ta’ala di atas segala masalah dan bertekad tetap tinggal di Habasyah bersama Muhajirin lainnya sampai Allah subhanahu wa ta’ala menunjukkan jalan keluar.

Tak berselang lama, beliau merasakan duka cita, suaminya mati dalam keadaan mabuk. Setelah masa iddah-nya habis, datanglah pertolongan Allah untuknya.

Pagi itu amat cerah, saat terdengar suara ketukan di pintu rumah Ummu Habibah. Ketika dibuka, seorang wanita utusan Najasyi memberi salam dan berkata, “Tuanku Najasyi mengirimkan salamnya untuk Anda dan berpesan bahwa Muhammad Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah meminang Anda. Baginda Najasyi ditunjuk sebagai wakil untuk akad nikah. Maka bila Anda menerima pinangan itu, bersiaplah segera menunjuk pihak yang menjadi wali Anda.”

Betapa tidak terukur kebahagiaan Ummu Habibah. Beliau berkata kepada utusan tersebut, “Semoga Anda mendapatkan kebagiaan dari Allah, semoga Anda mendapatkan kebahagiaan dari Allah.” Kemudian Ummu Habibah berkata, “Aku menunjuk Khalid bin Sa’id bin Ash sebagai waliku karena dialah kerabatku yang terdekat di negeri ini.”

Begitulah, hari itu, istana Najasyi tampak semarak. Seluruh sahabat yang ada di Habasyah hadir untuk menyaksikan pernikahan Ummu Habibah dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Setelah segalanya siap, Najasyi mengucapkan tahmid dan berkata, “Amma ba’du, saya penuhi permintaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menikah dengan Ramlah binti Abu Sufyan. Saya berikan mahar sebagai wakil Rasulullah berupa empat ratus dinar emas berdasarkan sunnatullah dan sunah Rasul-Nya.”

Khalid bin Sa’id bin Ash sebagai wali Ummu Habibah berkata, “Saya terima permintaan Rasulullah dan saya nikahkan Ramlah binti Abu Sufyan yang memberi saya perwakilan dengan Rasulullah. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala memberkahi Rasul dan istrinya. “Selamat untuk Ramlah atas anugerah yang agung tersebut.”

Kerinduan ‘tuk berjumpa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam

Kemudian, Najasyi mempersiapkan dua buah kapal untuk mengantarkan Ummul Mukminin Ramlah binti Abi Sufyan dan putrinya, Habibah, beserta sisa-sisa kaum muslimin yang ada di Habasyah. Sejumlah rakyat Habasyah yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya turut bersama mereka. Mereka rindu untuk berjumpa langsung dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan shalat di belakang beliau. Rombongan tersebut dipimpin oleh Ja’far bin Abi Thalib.

Najasyi juga memberikan hadiah-hadiah kepada Ummu Habibah berupa wewangian mahal milik istri-istrinya, juga beberapa bingkisan untuk Rasulullah, di antaranya ada tiga batang tongkat Habasyah yang terbuat dari kayu-kayu pilihan. Di kemudian hari, satu tongkat itu dipakai oleh beliau sendiri, dan yang lain dihadiahkan kepada Umar bin Khathab dan Ali bin Abi Thalib. Bilal selalu membawanya bila berjalan di muka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tongkat tersebut juga biasa didirikan di hadapan Nabi (sebagai sutrah) ketika ditegakkan shalat. Yakni tatkala tempat-tempat yang tidak ada masjid atau bangunan lainnya atau di dalam perjalanan, dalam shalat-shalat id dan shalat istisqa.

Pada masa kekhalifahan Abu Bakar Ash-Shiddiq, Bilal yang memegang tongkat itu. Lalu pada zaman Umar bin Khathab dan Utsman bin Affan, tongkat tersebut beralih ke tangan Sa’ad Al-Qarazhi. Begitu seterusnya, berganti setiap pergantian khalifah.

Ada juga hadiah perhiasan-perhiasan, di antaranya ada cincin emas. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menerimanya tetapi tidak dipakai sendiri melainkan diberikan kepada Umamah, cucu dari putri beliau, Zainab, “Pakailah ini, wahai cucuku.”

Tidak berselang lama sebelum Fathu Makkah, Najasyi wafat, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil para sahabat untuk melakukan shalat ghaib. Padahal, Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam belum pernah shalat ghaib sebelum kematian Najasyi dan tidak pula setelahnya. Semoga Allah meridhai Najasyi dan menjadikan surga-Nya yang kekal sebagai tempat kembalinya. Sungguh, dia telah menguatkan kaum muslimin di saat mereka lemah, memberikan rasa aman di saat mereka ketakutan dan dia melakukan hal itu semata-mata karena mencari ridha Allah ta’ala.

Kisah Sumayyah binti Khayyat – Wanita Syahidah Pertama dalam Islam

Dialah Sumayyah binti Khayyat, hamba sahaya dari Abu Hudzaifah bin Mughirah. Beliau dinikahi oleh Yasir, seorang pendatang yang kemudian menetap di Mekkah, sehingga tak ada kabilah yang dapat membelanya, menolongnya, dan mencegah kezaliman atas dirinya. Dia hidup sebatang kara, sehingga posisinya sulit di bawah aturan yang berlaku pada masa jahiliah.

Begitulah Yasir mendapati dirinya menyerahkan perlindungannya kepada Bani Makhzum. Beliau hidup dalam kekuasaan Abu Hudzaifah, yang dia dinikahkan dengan budak wanita bernama Sumayyah, tokoh yang kita bicarakan ini, dan beliau hidup bersamanya serta tenteram bersamanya. Tidak berselang lama dari pernikahannya, lahirnya anak mereka berdua yang bernama Ammar dan Ubaidullah.

Tatkala Ammar hampir menjelang dewasa dan sempurna sebagai seorang laki-laki, beliau mendengar agama baru yang didakwahkan oleh Muhammad bin Abdullah kepada beliau. Berpikirlah Ammar bin Yasir sebagaimana yang dipikirkan oleh penduduk Mekkah, sehingga kesungguhan beliau dalam berpikir dan lurusnya fitrah beliau, menggiringnya untuk memeluk dinul Islam.

Ammar kembali ke rumah dan menemui kedua orang tuanya dalam keadaan merasakan lezatnya iman yang telah terpatri dalam jiwanya. Beliau menceritakan kejadian yang beliau alami hingga pertemuannya dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian menawarkan kepada keduanya untuk mengikuti dakwah yang baru tersebut. Ternyata, Yasir dan Sumayyah menyahut dakwah yang penuh berkah tersebut dan bahkan mengumumkan keislamannya. Sumayyah pun menjadi orang ketujuh yang masuk Islam.

Dari sinilah dimulainya sejarah yang agung bagi Sumayyah binti Khayyat, yang bertepatan dengan permulaan dakwah Islam dan sejak fajar terbit untuk yang pertama kalinya.

Penyiksaan kaum kafir Quraisy kepada Sumayyah binti Khayyat
Bani Makhzum mengetahui akan hal itu, karena Ammar dan keluarganya tidak memungkiri bahwa mereka telah masuk Islam, bahkan mereka mengumumkan keislamannya dengan kuat sehingga orang-orang kafir tidak menanggapinya melainkan dengan pertentangan dan permusuhan.

Bani Makhzum segera menangkap keluarga Yasir dan menyiksa mereka dengan bermacam-macam siksaan agar mereka keluar dari din mereka, mereka memaksa dengan cara mengeluarkan mereka ke padang pasir tatkala keadaannya sangat panas dan menyengat. Mereka membuang Sumayyah ke sebuah tempat dan menaburinya dengan pasir yang sangat panas, kemudian meletakkan di atas dadanya sebongkah batu yang berat. Akan tetapi, tiada terdengar rintihan atau pun ratapan, melainkan ucapan, “Ahad … Ahad ….” Sumayyah binti Khayyat ulang-ulang kata tersebut sebagaimana yang dilakukan oleh Yasir, Ammar, dan Bilal.

Suatu ketika, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyaksikan keluarga muslim tersebut yang tengah disiksa dengan kejam, maka beliau menengadahkan ke langit dan berseru,

صَتْرًاآلَ يَاسِرٍفَإِ نِّ مَوْعِدَكُمُ الْجَنَّةُ

“Bersabarlah, wahai keluarga Yasir, karena sesungguhnya tempat kembali kalian adalah surga.”

Sumayyah binti Khayyat mendengar seruan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka beliau bertambah tegar dan optimis. Dengan kewibawaan imannya, dia mengulang-ulang dengan berani, “Aku bersaksi bahwa engkau adalah Rasulullah dan aku bersaksi bahwa janjimu adalah benar.”

Begitulah, Sumayyah binti Khayyat telah merasakan kelezatan dan manisnya iman sehingga bagi beliau kematian adalah sesuatu yang remeh dalam rangka memperjuangkan akidahnya. Hatinya telah dipenuhi kebesaran Allah subhanahu wa ta’ala, maka dia menganggap kecil setiap siksaan yang dilakukan oleh para tagut yang zalim; mereka tidak kuasa menggeser keimanan dan keyakinannya, sekalipun hanya satu langkah semut.

Sementara Yasir telah mengambil keputusan sebagaimana yang dia lihat dan dia dengar dari istrinya,Sumayyah binti Khayyat pun telah mematrikan dalam dirinya untuk bersama-sama dengan suaminya meraih kesuksesan yang telah dijanjikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Tatkala para tagut telah berputus asa mendengar ucapan yang senantiasa diulang-ulang oleh Sumayyah binti Khayyat maka musuh Allah Abu Jahal melampiaskan keberangannya kepada Sumayyah dengan menusukkan sangkur yang berada dalam genggamannya kepada Sumayyah binti Khayyat. Terbanglah nyawa beliau dari raganya yang beriman dan suci bersih. Beliau adalah wanita pertama yang syahid dalam Islam. Beliau gugur setelah memberikan contoh baik dan mulia bagi kita dalam hal keberanian dan keimanan, beliau telah mengerahkan segala yang beliau miliki dan menganggap remeh kematian dalam rangka memperjuangkan imannya. Beliau telah mengorbankan nyawanya yang mahal, dalam rangka meraih keridhaan Rabbnya. Mendermakan jiwa adalah puncak tertinggi dari kedermawanan.

Kisah ‘Amr bin Al-Jamuh

Kisah ‘Amr bin Al-Jamuh

Buah-buah perjuangan Islam mulai tampak di Madinah. Inilah Mush’ab bin Umair radhiyAllahu ‘anhu dikerubungi sejumlah pemuda Yatsrib yang menjadi kota yang baik dan bersinar, tidak seperti sebelumnya, buruk dan gelap. Lebih-lebih menjadi kota Rasulullah ShallAllahu ‘alaihi wasallam.

Disekitar Mush’ab, duduklah Khallad, Mu’adz, dan Mu’awwadz, anak-anak ‘Amr bin Al-Jamuh, tuan bani Salamah. Diantara mereka juga terdapat Mu’adz bin Jabal radhiyAllahu ‘anhu. Mereka mendengarkan Mush’ab bin Umair mengajarkan agama Islam dan membaca Alquran. Akan tetapi, anak-anak ‘Amr bin Al-Jamuh merasa sedih karena ayah mereka (‘Amr bin Al-Jamuh), tuan bani Salamah, masih berada dalam kekafirannya. Ia menyembah berhala yang dinamakannyya Manaf. Ia tidak hanya mencintai berhalanya bahkan sangat perhatian kepadanya. Ia menjadikan temapat khusus baginya di salah satu pojok rumah. Tidak boleh ada yang masuk tempat khusus itu, kecuali dirinya sendiri.

Setiap ingin melakukan sesuatu ia masuk di tempat khusus tersebut, bersujud dan meminta berkah darinya.

Melihat keadaanya seperti itu, .anak-anaknnya ingin menunjukkannya jalan yang benar dan mengajaknya masuk agama Islam. Ibu mereka sebenarnya telah masuk Islam, namun secara sembunyi-sembunyi: dan Allah mengabulkan keinginan mereka ini, namun dengan cara yang lembut, indah, dan menakjubkan.

‘Amr bin Al-Jamuh adalah tuan diantara sejumlah tuan di Yatsrib yang masih kafir. Anak-anak dan istrinya merahasiakan Islam yang telah mereka pegang. ‘Amr mendengar apa yng dikatakan Mush’ab dan yang di dakwahkannya, maka ‘Amr mengutus seseorang untuk bertanya kepada Mush’ab : “ Apa yang kamu bawa kepada kami?”

Mush’ab berkata : “ Jika kamu mau, maka kami akan datang  kepadamu dan memperdengarkan kepadamu.” Mereka pun membuat perjanjian untuk bertemu pada suatu hari.

Pertemuan antara Mush’ab dan ‘Amr pada awalnya tampak kering dan keras. Akan tetapi, Mush’ab bersabar, karena ia hanya berniat menunjukkan manusia pada jalan yang lurus. Mush’ab membaca surat Yusuf :

“ Alif lam ra. Ini adalah ayat-ayat kitab (Alquran) yang nyata (dari Allah). Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Alquran dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya.”(QS. Yusuf [12]: 1-2)

Ayat ini membuat ‘Amr bin Al-Jamuh takjub. Akan tetapi, ia masih mencintai berhalanya dan tidak memutuskan suatu perkara pun tanpa terlepas darinya. Oleh karena itu, Mush’ab berkata : “ Sesungguhnya aku memiliki cara yang tepat untuk membuatnya takluk pada Islam.”

‘Amr bin Al-Jamuh kembali pada berhalanya, lalu bersujud kepadanya. Ia berkata : “ Wahai Manaf, kamu  mengetahui apa yang diinginkan orang-orang terhadapku, apakah kamu menolaknya?”

‘Amr bin Al-Jamuh meletakkan pedangnya di atas berhalanya. Kemudian meninggalkannya. Mu’adz, anaknya mengambil pedang tersebut dan menyembunnyikannya. Tujuannya agar ayahnya mengetahui bahwa berhala ini itdak menimbulkan manfaat atau mudharat, tidak juga menguasai  dirinya sendiri.

‘Amr bin Al-Jamuh datang. Setelah melihat pedang tidak ada, ia berkata : “ Dimanakah pedangku, wahai Manaf ? Celaka kamu! Kambing yang lemah saja mampu membela dirinya.”

Selanjutnya ia berkata lagi : “ Sesungguhnya aku besok akan pergi untuk melihat hartakku yang berada Alya, Madinah.” Ia berpesan kepada keluarganya agar memperlakukan berhalanya dengan baik.

Ia pun pergi ke Alya, maka anak-anaknya mendatangi berhala. Mereka mengikatnya dengan tali dan meletakkanya di lobang tanah yang digunakann penduduk Yatsrib sebagai tempat sampah dan kotoran mereka.

Beberapa lama kemudian ‘Amr bin Al-Jamuh pulang. Ia menuju berhalanya. Akan tetapi, betapa terkejutnya ketika berhala tersebut tidak ditemukannya, maka ia berteriak kepada keluarganya : “ Dimana Manaf ? Dimana Tuhanku yang aku cintai?” Namun tidak ada seorang pun yang menjawabnya.

‘Amr bersungguh-sungguh mencari berhalanya yang raib. Setiap sudut rumah dan tempat yang dicurigainya diamatinya dengan baik. Tidak ketinggalan juga rumah-rumah disekitarnya. Ia selalu menanyakan orang disekelilingnya : “  Tahukah kamu, dimana berhalaku? “ Akhirnya, ia menemukan sesembahannya itu tergeletak di tempat sampah. Baginya ini adalah hal yang tragis dan sangat menyedihkan.

‘Amr bin Al-Jamuh Masuk Islam

Ia mengambilnya, memandikannya, dan mengembalikannya ke tempat semula. Setelah itu ia bersujud kepadanya seraya berkata : “ Jika aku tahu orang yang melakukan perbuatan ini, maka aku akan membunuhnya.”

Pada malam ketiga, anak-anaknya mendatangi lagi berhala tersebut. Mereka mengikatnya dengan tali-tali pada bangkai anjing dan melemparkannya di sumur Bani Salamah yang menjadi tempat pembuangan kotoran dan sampah mereka. Untuk ketiga kalinya, ‘Amr bertanya kepada anak-anaknya : “ Bagaimana keadaan kalian ?”

Mereka menjawab : “ Baik, Allah telah meluaskan rumah kami dan mensucikannya dari kotoran.”

Selanjutnya, ‘Amr bin Al-Jamuh mendatangi berhalanya, namun dijumpai berhalanya tidak ada, lalu ia bertanya : “ Dimanakah ia?”

Merka menjawab : “ Ia berada disana. Lihatlah  di dalam sumur itu.”

‘Amr bin Al-Jamuh melihat berhalanya terlumuri kotoran lagi dan tidak mampu menolak gangguan terhadap dirinya, maka ‘Amr bin Al-Jamuh pun yakin bahwa berhalanya hanyalah batu yang tidak dapat mendatangkan manfaat atau menolak mudharat. Ia menjadi tahu bahwa keimanan lebih baik daripada kekufuran.

Ia berkata kepada anak-anaknya : “ Apakah kalian bersamaku ?”

Mereka menjawab :” Ya, engkau adalah tuan kami.”

‘Amr berkata : “ Sesungguhnya aku bersaksi di hadapan kalian bahwa aku beriman dengan apa yang diturunkan kepada Muhammad Shallallahu ‘alaihi wassallam.”

Lalu ia membaca syair :

Segala puji bagi Allah Yang Maha tinggi dan memiliki karunia

Sang Pemberi karunia dan rizqi

Dan Sang Pemilik agama ini

Dialah Yang menyelamatkanku

Sebelum aku berada dalam gelapnya kuburan

Demi Allah jika kamu Tuhan, kamu tidak akan mungkin tergeletak bersama anjing di dalam sumur bertahun-tahun

Setelah berada di Madinanh, Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam menngetahui ‘Amr sebagai orang yang terhormat dan punya pendapat yang baik. Pada suatu hari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Wahai Bani Salamah, siapakah tuanmu ?”

Mereka menjawab : “ Jadd bin Qais, tetapi kami melihatnya seorang yang kikir.”

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Penyakit apakah yang lebih buruk daripada kikir ? Tuanmu adalah orang yang putih, ‘Amr bin Al-Jamuh. Sesungguhnya sebaik-baik manusia dalam jahiliyah adalah sebaik-baik manusia dalam Islam.” Dengan demikian, ‘Amr bin Al-Jamuh radhiyallahu ‘anhu telah menjadi seorang tuan, baik sebelum maupun setelah masuk Islam.

‘Amr bin Al-Jamuh adalah seorang yang pincang. Karena itu, ia tidak dapat hadir dalam perang Badar bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Setelah pasukan Islam kembali dari perang, maka kisah-kisah kepahlawanan menambah kerinduan yang meluap-luap dalam hati orang-orang Islam untuk berperang. Orang-orang yang tidak ikut perang Badar ingin menambal ketertinggalannya itu, maka perang Uhud adalah tempat mereka memperoleh ganti apa yang sebelumnya mereka terlewatkan.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berseru kepada kaum muslimin : “ Bangkitlah menuju surga yang luasnya seluas langit dan bumi, disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa.”

‘Amr ingin keluar dalam perang Uhud, namun anak-anaknya melarang. Mereka berkata : “ Allah memaafkanmu.”

‘Amr datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata kepadanya : “ Sesungguhnya anak-anakku menahanku agar aku tidak keluar berrsamamu dalam perang. Demi Allah, aku ingin menginjak surga dengan kepincanganku ini.”

Rasulullah Shallllahu ‘alaihi wasallam bersabda : “ Adapun kamu, maka Allah telah memaafkan: tiada kewajiban jihad bagimu.”

Karena permintaan yang terus menerus dari ‘Amr, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pun bersabda kepada anak-anaknya : “ Tidak ada alasan bagi kalian untuk menghalanginya, karena barangkali Allah akan mengaruniakannya mati syahid. Karenanya, tinggalkan ia.”

Sementara itu istrinya, Hindun binti ‘Amr bin Hizam, berkata : “ Sungguh ia telah mengambil perisainya, kemudian berdoa kepada Allah : “ Ya Allah,, janganlah Engkau kembalikan aku dalam keluargaku.”

Demikian ‘Amr bin Al-Jamuh berangkat bersama dengan saudara kandung istrinya, ‘Abdullah bin ‘Amr bin Haram. Ikut bersama mereka berdua Khallad bin ‘Amr bin Al-Jamuh.

Pada awal perang, medan perang dikuasai pasukan Islam karena mereka taat pada perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan perintah pemimpin pasukan mereka, ‘Abdullah bin Jubair. Akan tetapi, para pemanah tidak menaati Rasulullah dan ‘Abddullah bin Jubair, sehingga pasukan Islam terdesak dan barisan Islam pun menjadi kacau tak terkendali.

Ketika itu ‘Amr bin Al-Jamuh berteriak : “ Demi Allah, sungguh aku rindu kepada surga.”  Ia bersama anaknya, Khallad, ikut menceburkan diri dalam peperangan yang hebat hingga keduanya mati syahid.

‘Amr bin Al-Jamuh menginjak surga  dengan kepincangannya seperti yang dia inginkan. Ia tidak kembali kepada keluarganya sebagaimana yang telah ia mohon  dari Allah sebelumnya dan Allah pun kini mengabulkannya.

Setelah perang, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam  melihatnya mati syahid dan tergeletak disamping jasad ‘Abdullah bin ‘Amr bin Hizam. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “ Kuburlah ;Amr bin Al-Jamuh bersama ‘Abdullah bin ‘Amr, karena keduanya telah salimg mencintai dengan tulus di dunia.”

Suatu saat pada masa pemerintahan Muawiyah, ada banjir bandang yang merusak kubur ‘Amr bin Al-Jamuh dan ‘Abdullah bin ‘Amr, maka orang-orang membuat kubur lain agar keduanya ditempatkan disitu. Jabir bin ‘Abdillah bin ‘Amr bin Hizam datang untuk melihat kedua mayat itu. Ia melihatnya seolah ‘Amr bin Al-Jamuh dan ‘Abdullah bin ‘Amr baru meninggal kemarin. Jasadnya tidak berubah sama sekali. Salah satu diantara keduanya ketika meninggal dalam keadaan terluka, sehingga tangannya menutupi lukanya dan dikuburkan  dalam keadaan yang seperti itu. Ketika tangan tersebut diangkat, tangan itu kembali lagi seperti semula menutupi luka di tubuh layaknya tangan orang yang masih hidup, padahal jarak antara perang Uhud dan waktu kejadian ini adalah empat puluh enam tahun.

Sesungguhnya kejadian di atas adalah fakta, bukan ilusi. Jasad orang-orang yang mati syahid tidak di makan tanah. Mereka hidup dan mendapatkan rizqi disisi Tuhannya.

Kisah Perang Mu’tah

Kisah Perang Mu’tah

Ketangguhan tiga panglima perang Mu’tah
Singkatnya, pasukan Islam yang berjumlah 3000 personel diberangkatkan. Ketika mereka sampai di daerah Ma’an, terdengar berita bahwa Heraklius mempersiapkan 100 ribu pasukannya. Selain itu, kaum Nasrani dari beberapa suku Arab pun telah siap dengan jumlah yang sama. Mendengar kabar demikian, sebagian sahabat mengusulkan supaya meminta bantuan pasukan kepada Rasulullah atau beliau memutuskan suatu perintah.

Abdullah bin Rawahah lantas mengobarkan semangat juang para Sahabat pada waktu itu dengan perkataannya, “Demi Allah, sesungguhnya perkara yang kalian tidak sukai ini adalah perkara yang kamu keluar mencarinya, yaitu syahadah (gugur di medan perang di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala). Kita itu tidak berjuang karena jumlah pasukan atau kekuatan. Kita berjuang untuk agama ini yang Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memuliakan kita dengannya. Bergeraklah. Hanya ada salah satu dari dua kebaikan: kemenangan atau gugur (syahid) di medan perang.”

Orang-orang menanggapi dengan berkata, “Demi Allah, Ibnu Rawahah berkata benar.”

Zaid bin Haritsah, panglima pertama yang ditunjuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian membawa pasukan ke wilayah Mu’tah. Dua pasukan berhadapan dengan sengit. Komandan pertama ini menebasi anak panah-anak panah pasukan musuh sampai akhirnya tewas terbunuh di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Bendera pun beralih ke tangan Ja’far bin Abi Thalib. Sepupu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ini berperang sampai tangan kanannya putus. Bendera beliau pegangi dengan tangan kiri, dan akhirnya putus juga oleh senjata musuh. Dalam kondisi demikian, semangat beliau tak mengenal surut, saat tetap berusaha mempertahankan bendera dengan cara memeluknya sampai beliau gugur oleh senjata lawab. Berdasarkan keterangan Ibnu Umar, salah seorang saksi mata yang ikut dalam perang itu, terdapat tidak kurang 90 luka di bagian tubuh depan beliau baik akibat tusukan pedang dan maupun anak panah.

Giliran Abdullah bin Rawahah pun datang. Setelah menerjang musuh, ajal pun menjemput beliau di medan peperangan.

Tsabit bin Arqam mengambil bendera yang telah tak bertuan itu dan berteriak memanggil para sahabat Nabi agar menentukan pengganti yang memimpun kaum muslimin. Maka, pilihan mereka jatuh pada Khalid bin Walid. Dengan kecerdikan dan kecemerlangan siasat dan strategi –setelah taufik dari Allah Subhanahu wa Ta’ala—kaum muslimin berhasil memukul Romawi hingga mengalami kerugian banyak.

Jumlah syuhada perang Mu’tah
Menyaksikan peperangan yang tidak seimbang antara kaum muslimin dengan kaum kuffar, yang merupakan pasukan aliansi antara kaum Nashara Romawi dan Nashara Arab, secara logis, kekalahan bakal dialami oleh para Sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Imam Ibnu katsir mengungkapkan ketakjubannya terhadap kekuasaan Allah Subhanahu wa Ta’ala melalui hasil peperangan yang berakhir dengan kemenangan kaum muslimin dengan berkata, “Ini kejadian yang menakjubkan sekali. Dua pasukan bertarung, saling bermusuhan dalam agama. Pihak pertama pasukan yang berjuang di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala, dengan kekuatan 3000 orang. Dan pihak lainnya, pasukan kafir yang berjumlah 200 ribu pasukan. 100 ribu orang dari Romawi dan 100 ribu orang dari Nashara Arab. Mereka saling bertarung dan menyerang. Meski demikian sengitnya, hanya 12 orang yang terbunuh dari pasukan kaum muslimin, padahal, jumlah korban tewas dari kaum musyirikin sangat banyak.” Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Allah berkata, “Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah? Dan Allah beserta orang-orang yang sabar.” (Q.S. Al-Baqarah: 249)

Para ulama sejarah tidak bersepakat pada satu kata mengenai jumlah syuhada Mu’tah. Namun, yang jelas jumlah mereka tidak banyak. Hanya berkisar pada angka belasan, menurut hitungan yang terbanyak. Padahal, peperangan Mu’tah sangat sengit. Ini dapat dibuktikan bahwa Khalid bin Walid menghabiskan 9 pucuk pedang dalam perang tersebut. Kesembilan pedang itu patah. Hanya satu pedang yang tersisa, hasil buatan Yaman.

Khalid berkata, “Telah patah sembilan pedang di tanganku. Tidak tersisa kecuali pedang buatan Yaman.” (HR. Al-Bukhari 4265-4266)

Menurut Imam Ibnu Ishaq – imam dalam ilmu sejarah Islam –, syuhada perang Mu’tah hanya berjumlah 8 sahabat saja. Secara terperinci, yaitu Ja’far bin Abi Thalib, dan mantan budak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam Zaid bin Haritsah Al-Kalbi, Mas’ud bin Al-Aswad bin Haritsah bin Nadhlah Al-Adawi, Wahb bin Sa’d bin Abi Sarh.

Sementara dari kalangan kaum Anshar, Abdullah bin Rawahah, Abbad bin Qais Al-Khazarjayyan, Al-Harits bin an-Nu’man bin Isaf bin Nadhlah an-Najjari, Suraqah bin Amr bin Athiyyah bin Khansa Al-mazini.

Di sisi lain, Imam Ibnu Hisyam dengan berlandaskan keterangan Az-Zuhri, menambahkan empat nama dalam deretan Sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang gugur di medan perang Mu’tah. Yakni, Abu Kulaib dan Jabir. Dua orang ini saudara sekandung. Diitambah Amr bin Amir putra Sa’d bin Al-Harits bin Abbad bin Sa’d bin Amir bin Tsa’labah bin Malik bin Afsha. Mereka juga berasal dari kaum Anshar. Dengan ini, jumlah syuhada bertambah menjadi 12 jiwa.

Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memudahkan kita untuk meneladani semangat juang mereka di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Meskipun kondisi berat lantaran jumlah personel yang sedikit, namun hal itu tidak mengendurkan langkah mereka untuk terus berjihad di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Wallahu a’lam.

Kisah Ja’far bin Abi Thalib

Kisah Ja’far bin Abi Thalib

Ada lima orang keturunan Abdi Manaf yang sangat mirip dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Orang yang tidak jeli, terkadang susah membedakannya. Di antara kelima orang tersebut ialah Ja’far bin Abi Thalib, saudara kandung Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib. Dialah Sayyidul Asy-Syuhada, pemimpin para mujahidin, Abu Abdillah anak paman Rasulullah bin Abdul Mutthalib bin Hasim bin Abdi Manaf Al-Quraisy.

Dia dikenal sebagai orang yang sangat lemah lembut, penuh kasih sayang, sopan santun, rendah hati dan sangat pemurah. Di samping itu, ia juga dikenal sangat pemberani, tidak mengenal rasa takut. Beliau diberi gelar sebagai orang yang memiliki dua sayap di surga dan bapak bagi si miskin. Masuk Islam berkat ajakan Abu Bakar Ash-Shiddiq, tepatnya sebelum Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk ke rumah Al Arqam.

Ketika orang Quraisy mendengar berita tentang masuk Islamnya, mulailah mereka membuat makar dan gangguan-gangguan dalam rangka melemahkan iman kaum muslimin. Mereka tidak ingin melihat kaum muslimin bisa tenang beribadah.

Tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi izin untuk hijrah ke Habasyah, tanpa pikir panjang beliau bersama istrinya ikut serta dalam rombongan tersebut. Sungguh hal ini sangat berat bagi Ja’far, karena harus meninggalkan tempat kelahirannya yang ia cintai. Biar pun demikian, berangkatlah rombongan itu yang terdiri dari 83 laki-laki dan 19 wanita menuju Habasyah.

Penguasa Habasyah adalah Najasyi. Seorang raja yang terkenal adil dan bijaksana, serta suka melindungi orang-orang yang lemah. Sesampainya di Habasyah, mereka mendapatkan perlindungan dari Najasyi, sehingga bisa leluasa dan lebih tenang dalam beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Akan tetapi, ketenangan ini terusik. Yaitu tatkala orang-orang Quraisy mengetahui perlindungan keamanan yang kami dapatkan di Habasyah.

Ummu Salamah menceritakan:

Ketika orang-orang Quraisy mengetahui keadaan kami di Habasyah, mereka tidak ridha dan mengirimkan dua utusan untuk menemui Najasyi. Mereka adalah Amru bin Ash dan Abdullah bin Abi Rabi’ah, serta membawah hadiah-hadiah yang mereka berikan kepada para menterinya, dengan maksud agar tujuan serta niat mereka mendapat dukungan.

Ketika telah sampai di Habasyah, mereka segera menemui para menterinya serta menyerahkan hadiah tersebut seraya berkata, “Sungguh telah datang di negerimu orang-orang yang bodoh dari kaum kami yang keluar dari agama nenek moyang,  serta memecah-belah persatuan. Maka, kalau kami berbicara kepada raja, dukunglah kami. Karena tokoh-tokoh kaum mereka lebih tahu akan mereka.”

Maka para menteri itu mengatakan, “Ya, kami akan mendukung kalian berdua.”

Setelah itu, masuklah mereka berdua menemui Najasyi dengan membawa hadiah yang banyak dan berkata, “Wahai Raja, sesungguhnya telah datang di dalam kerajaanmu orang-orang yang rendah dari kaum kami. Mereka datang dengan membawa agama yang tidak pernah kami ketahui atau engkau ketahui. Mereka keluar dari agama kami, tidak pula masuk kepada agamamu. Dan orang-orang yang mulia di antara kami telah mengutus kami, agar engkau mau mengembalikan mereka kepada kami dan mereka lebih mengetahui akan apa yang telah mereka perbuat,” maka Najasyi menoleh kepada para menterinya dan berkatalah mereka, “Benar wahai Raja. Sesungguhnya kaum mereka lebih mengetahui tentang mereka. Maka kembalikanlah orang-orang tiu kepada mereka.”

Mendengar hal itu, Raja Najasyi marah, seraya berkata, “Demi Allah, aku tidak akan mengembalikan mereka kepada kaumnya sampai aku menemui mereka. Sehingga aku bisa mengetahui, apakah yang telah dikatakan oleh dua orang ini benar? Kalau memang benar, maka akan aku kembalikan, mereka. Akan tetapi, kalau tidak, aku akan melindungi dan berbuat baik kepada mereka.”

Kemudian Raja Najasyi mengutus orang agar memanggil kami. Sebelum berangkat untuk menemuinya, kami berkumpul dan saling mengatakan, “Sesungguhnya Najasyi akan bertanya kepada kalian tentang agama kalian. Maka terangkanlah dengan apa yang telah kalian imani.” Dan kami bersepakat mengangkat Ja’far sebagai juru bicaranya.

Berangkatlah kami untuk menemuinya. Kami mendapatkan Raja Najasyi tengah duduk di antara para menterinya yang memakai pakaian kebesaran mereka. Kami juga mendapatkan Amru bin Ash dan Abdullah bin Abi Rabi’ah telah ada di hadapan mereka. Ketika semuanya telah siap, Najasyi menoleh kepada kami dan berkata, “Apakah agama yang kalian peluk, sehingga kalian meninggalkan agama kaum kalian dan tidak pula kalian masuk ke dalam agamaku atau agama yang lainnya?”

Maka berkatalah Ja’far bin Abi Thalib, “Wahai Raja, kami dahulu adalah orang-orang jahiliyah. Kami menyembah berhala, memakan bangkai, melaksanakan perbuatan keji, memutus silaturrahim, berbuat jelek kepada tetangga, yang kuat menekan yang lemah dan kami tetap berada dalam keadaan demikian, sampai Allah mengutus kepada kami seorang Rasul yang kami mengetahui nasabnya, kejujurannya, keamanahannya dan sangat memelihara diri. Dia mengajak kami agar beribadah hanya kepada Allah dan meninggalkan patung-patung yang disembah oleh nenek moyang kami. Dia juga memerintahkan kepada kami agar jujur dalam berkata, menunaikan amanah, menyambung silaturrahmi, meninggalkan perbuatan keji, memelihara darah, dan melarang kami dari berkata dusta, memakan harta anak yatim, menuduh wanita yang shalihah dengan perbuatan zina serta memerintahkan kami agar mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa pada bulan Ramadhan. Maka kami membenarkannya, beriman kepadanya, dan mengikuti apa yang dibawanya dari sisi Allah. Kami menghalalkan apa yang dihalalkannya dan mengharamkan apa yang diharamkannya. Wahai Raja, ketika kaum kami mengetahui tentang apa yang kami lakukan, mereka memusuhi kami, menyiksa kami dengan siksaan yang berat dan berusaha mengembalikan kami kepada agama nenek moyang, dan agar kami kembali menyembah berhala. Maka tatkala mereka terus menekan kami, memaksa kami, akhirnya kami memilih engkau dari yang lainnya dan kami sangat berharap engkau berbuat baik kepada kami dan tidak menzalimi kami.”

Raja Najasyi kembali bertanya kepada Ja’afar, “Apakah engkau memiliki apa yang dibawa oleh Nabimu dari Allah?” Ja’far menjawab, “Ya.” Maka Raja Najasyi memerintahkan, “Bacakanlah untukku!” Ja’far pun membaca surat maryam.

Ketika mendengar ayat tersebut, menangislah Raja Najasyi, sehingga air matanya membasahi jenggotnya. Menangis pula para menterinya, sehingga basah buku-buku mereka. Dan Najasyi berkata, “Sesungguhnya, apa yang dibawa oleh Nabi kalian dan apa yang dibawa oleh Isa bin Maryam merupakan satu sumber.” Najasyi menoleh kepada Amru bin Ash dan berkata, “Pergilah kalian! Demi Allah, mereka tidak akan aku serahkan kepada kalian!”

Ketika kami keluar dari Istana Najasyi, Amru bin Ash mengancam kami dan berkata, “Demi Allah, besok pagi aku akan menemuinya lagi. Akan aku kabarkan dengan satu berita yang bisa membuatnya marah.”

Maka keesokan harinya, mereka kembali menemui Raja Najasyi dan berkata, “Wahai Raja, sesungguhnya orang yang engkau lindungi itu mengatakan tentang Isa, suatu perkataan yang besar!”

Raja Najasyi kembali memanggil kami, hingga kami merasa khawatir dan takut. Sebagian kami bertanya-tanya, “Apa yang akan kita katakan kepadanya tentang Isa bin Maryam?” Akhirnya kami bersepakat untuk mengatakan tentang Isa, sebagaimana yang telah dikatakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta kembali menunjuk Ja’far sebagai juru bicara. Kemudian kami datang untuk menemui Najasyi. Kami dapatkan Amru bin Ash telah berada di sana bersama temannya.

Bertanyalah Najasyi, “Apa yang kalian katakan tentang Isa bin Maryam?”

Ja’far menjawab, “Kami mengatakan sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Nabi kami.”

Najsyi berkata, “Apa yang dia katakan?”

Ja’far menjawab, “Dia adalah hamba Allah dan Rasul-Nya Ruh-Nya, kalimat-Nya, yang  Dia berikan kepada Maryam yang suci.”

Mendengar hal tersebut, Najsyi memukul meja sembari berkata, “Demi  Allah, apa yang dikatakannya sesuai dengan keadaan Isa bin Maryam. Pergilah kalian dengan aman. Siapa yang mencela kalian, dia adalah orang yang merugi. Dan siapa yang mengganggu kalian, dia akan disiksa.” Kemudian Najasyi berkata kepada para menterinya, “Kembalikanlah hadiah-hadiah itu kepada dua orang ini, karena aku tidak butuh kepadanya.” Akhirnya keduanya keluar dengan perasaan sedih, karena tidak berhasil melaksanakan apa yang mereka niatkan.

Ja’far bersama istrinya tinggal beberapa saat di Habasyah; bisa merasakan ketenangan serta lindungan dari Najasyi.

Pada tahun ketujuh hijriah, pergilah Ja’far bin Abi Thalib meninggalkan Habasyah untuk menuju ke Yatsrib. Sesampainya di Yatsirb, ia disambut hangat oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pada waktu itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam baru saja kembali dari perang Khaibar. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menemui Ja’far dan bersabda, “Sungguh aku tidak tahu, dengan yang mana aku merasa bahagia. Apakah dengan kemenangan Khaibar ataukah dengan kadatanganmu?!”

Selang beberapa lama, ia tinggal di Madinah. Ketika pada awal-awal tahun ke delapan hijriah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkehendak ingin mengirim pasukan untuk memerangi Romawi, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menunjuk Zaid bin Haritsah sebagai komandan. Beliau bersabda, “Kalau Zaid terbunuh, maka yang menggantikannya ialah Ja’far bin Abi Thalib. Jika ia terbunuh, maka yang menggantikannya ialah Abdullah bin Rawahah. Dan jika Abdullah terbunuh, maka biarlah kaum muslimin memilih bagi mereka sendiri.”

Kemudian beliau memberikan bendera berwarna putih kepada Zaid bin Hartisah.

Berangkatlah pasukan pasukan ini. Ketika telah sampai di daerah Mu’tah, kaum muslimin mendapatkan orang-orang Romawi telah siap dengan jumlah yang sangat banyak. Yaitu dua ratus ribu tentara. Merupakan jumlah yang sangat besar. Jumlah sebegitu besar tidak pernah ditemui oleh kaum muslimin sebelumnya. Sementara jumlah kaum muslimin hanya tiga ribu orang.

Ketika dua pasukan ini telah berhadapan, peperanganpun mulai berkecamuk, hingga Zaid bin Haritsah gugur sebagai sahid. Begitu melihat Zaid jatuh tersungkur, bergegas Ja’far melompat dan mengambil bendera, dan menyusup ke barisan musuh sambil melantunkan syair:

Wahai… alangkah dekatnya surga
Yang sangat lezat dan dingin minumannya
Romawi yang telah dekat kehancurannya
Wajib bagiku menghancurkannya apabila menemuinya.

Mulailah ia berputar-putar memporak-porandakan barisan musuh sehingga terputus tangan kanannya. Segera ia ambil bendera itu dengan tangan kriinya, kemudian terputus pula tangan kirinya sehingga ia gugur sebagai syahid. Setelah itu, bendera diambil oleh Abdullah bin Rawahah dan terus mempertahankannya dan akhirnya gugur juga sebagai sahid.

Ketika sampai kabar kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, tentang kematian tiga pahlawannya, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat sedih. Diriwayatkan bahwa pada tubuh Ja’far terdapat sembilan puluh sekian luka yang semuanya terdapat di bagian depan tubuhnya.

Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pergi menuju rumah Ja’far bin Abi Thalib. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mendapatkan Asma sudah membuat roti dan memandikan anaknya untuk menyambut kepulangan sang ayah.

Asma menuturkan:

Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menemui kami, aku mendapatkan wajah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat sedih. Maka timbullah perasaan takut pada diriku, akan tetapi aku tidak berani untuk menanyakannya. Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Suruhlah anak-anak Ja’far kemari. Aku akan mendoakannya,” maka bergegaslah mereka mendekat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bercengkerama dengan beliau. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam merangkul mereka, mencium, serta berlinang air matanya. Maka aku berkata, “Wahai Rasulullah , apa yang menjadikan engkau menangis? Apakah ada sesuatu yang menimpa Ja’far?”

Beliau menjawab, “Ya, dia telah gugur sebagai syahid pada hari ini.” Sesaat hilanglah keceriaan yang terdapat pada wajah-wajah mereka, tatkala mendengar tangisan ibunya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku melihat Ja’far sebagai Malaikat di surga dan bahunya bercucuran darah dan ia terbang di surga.”

Inilah perjuangan Ja’far bin Abi Thalib. Dia memberikan semua yang dimilikinya untuk Allah dan Rasul-Nya. Semoga Allah meridhai Ja’far bin Abi Thalib dan menjadikan surga sebagai tempat kembali baginya. (Adi Abdul Jabbar dan Abu Unais)

Kisah Said bin Amir al-Jumahi

“Said bin Amir, seorang laki-laki yang membeli akhirat dengan dunia dan mementingkan Allah dan Rasul-Nya di atas selain keduanya.” (Ahli Sejarah)

Anak muda ini, Said bin Amir, adalah satu dari ribuan orang yang keluar ke daerah Tan’im di luar Mekah atas undangan para pemuka Quraisy untuk menyakikan pelaksanaan hukum mati atas khubaib bin Adi, salah seorang sahabat Muhammad setelah mereka menangkapnya dengan cara licik.

Sebagai pemuda yang kuat dan tangguh, Said mampu bersaing dengan orang-orang yang lebih tua umurnya untuk berebut tempat di depan, sehingga dia mampu duduk sejajar di antara para pemuka Quraisy seperti Abu Sufyan bin Harb, Shafwan bin Umayyah, dan lain-lainya yang menyelenggarakan acara tersebut.

Semua ini membuka jalan baginya untuk menyaksikan tawanan Quraisy yang terikat dengan tambang itu. Sementara tangan anak-anak, para pemuda, dan kaum wanita mendorongnya ke pelataran kematian dengan kuatnya, mereka ingin melampiaskan dendam kesumat terhadap Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, membalas kematian orang-orang mereka yang terbunuh di Badar dengan membunuh Khubaib.

Manakala rombongan besar dengan seorang tawanan tersebut telah tiba di tempat yang sudah disiapkan untuk membunuhnya, si anak muda Said bin Amir al-Jumahi berdiri tegak memandang Khubaib yang sedang digiring ke tiang salib. Said mendengar suara Khubaib di antara teriakan kaum wanita dan anak-anak, dia mendengarnya berkata, “Bila kalian berkenan membiarkanku shalat dua rakaat sebelum aku kalian bunuh?”

Said melihat Khubaib menghadap kiblat, shalat dua rakaat, dua rakaat yang sangat baik dan sangat sempurna.

Said melihat Khubaib menghadap para pembesar Quraisy dan berkata, “Demi Allah, kalau aku tidak khawatir kalian menyangka bahwa aku memperlama shalat karena takut mati, niscaya aku akan memperlama shalatku.”

Kemudia Said melihat kaumnya dengan kedua mata kepalanya mencincang jasad Khubaib sepotong demi sepotong padahal Khubaib masih hidup, sambil berkata, “Apakah kamu ingin Muhammad ada di tempatmu ini sedangkan kamu selamat?[1]

Khubaib menjawab sementara darah menetes dari jasadnya, “Demi Allah, aku tidak ingin berada di antara keluarga dan anak-anakku dalam keadaan aman dan tenang sementara Muhammad tertusuk oleh sebuah duri.”

Maka orang banyak pun mengangkat tangan mereka tinggi-tinggi ke udara, teriakan mereka gegap gempita menggema di langit.

Di saat itu Said bin Amir melihat Khubaib mengangkat pandangannya ke langit dari atas tiang salib dan berkata, “Ya Allah, balaslah mereka satu persatu, bunuhlah mereka sampai habis, dan jangan biarkan seorang pun dari mereka hidup dengan aman.”

Akhirnya Khubaib pun menghembuskan nafas terakhirnya, dan tidak ada seorang pun yang mampu melindunginya dari tebasan pedang dan tusukan tombak orang-orang kafir.

Orang-orang Quraisy kembali ke Mekah, mereka melupakan Khubaib dan kematiannya bersama dengan datangya peristiwa demi peristiwa besar yang mereka hadapi.

Namun tiak dengan anak muda yang baru tumbuh ini, Said bin Amir, Khubaib tidak pernah terbenam dari benaknya sesaat pun.

Said melihatnya dalam mimpinya ketika dia tidur, membayangkannya dalam khayalannya ketika dia terjaga, berdiri di depannya ketika dia shalat dua rakaat dengan tenang dan tenteram di depan kayu salib, Said mendengar bisikan suaranya di keua telinganya ketika dia berdoa atas orang-orang Quraisy, maka dia khawatir sebuah halilintar akan menyambar atau sebuah batu dari langit akan jatuh menimpanya.

Peristiwa kematian Khubaib mengajarkan sesuatu kepada Said tentang persoalan besar yang belum dia ketahui selama ini.

Peristiwa kematian Khubaib mengajarkan kepadanya bahwa kehidupan sejati adalah jihad di jalan akidah yang diyakininya sampai mati.

Peristiwa kematian Khubaib mengajarkan kepadanya bahwa iman yang terpancang kuat bisa melahirkan dan menciptakan keajaiban-keajaiban.

Khubaib mengajarkan kepadanya perkara lainnya, yaitu seorang laki-laki yang dicintai sedemikian rupa oleh para sahabatnya adalah seorang nabi yang di dukung oleh kekuatan dan pertolongan langit.

Pada saat itu Allah Ta’ala membuka dada Said bin Amir kepada Islam, maka dia berdiri di hadapan sekumpulan orang banyak, mengumumkan bahwa dirinya berlepas diri dari dosa-dosa dan kejahatan-kejahatan orang Quraisy, menanggalkan berhala-berhala dan patung-patung menyatakan diri sebagai seorang muslim.

Said bin Amir al-Jumahi berhijrah ke Madinah tinggal bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ikut bersama beliau dalam perang khaibar dan peperangan lain sesudahnya.

Manakala Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia dipanggil menghadap keharibaan Rabbbnya alam keadaan ridha, Said bin Amir tetap menjadi sebilah pedang yang terhunus di tangan para khalifah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar, dan Umar. Said bin Amir hidup sebagai contoh menawan lagi mengagumkan bagi setiap mukmin yang telah membeli akhirat dengan dunia, mementingkan ridha Allah dan pahalaNya di atas segala keinginan jiwa dan hawa nafsu.

Dua orang khalifah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenal kejujuran Said dan ketakwaannya, keduanya mendengar nasihatnya dan mencamkan kata-katanya.

Said datang kepada Umar bin al-Khatthab di awal khilafahnya, dia berkata, “Wahai Umar, aku berpesan kepadamu agar kamu bertakwa kepada Allah dalam bermuamalah dengan manusiadan jangan takut kepada manusia dengan melakukan kemaksiatan kepada Allah. Janganlah kata-katamu menyelisihi perbuatanmu, karena kata-kata yang baik adalah yang dibenarkan oleh perbuatan. Wahai Umar, perhatikanlah orang-orang yang Allah Ta’ala telah menyerahkan perkara mereka kepadamu, baik mereka dari kalangan kaum muslimin yang dekat maupun yang jauh, cintailah sesuatu yang bermanfaat untuk dirimu dan keluargamu, bencilah sesuatu yang mereka alami, yang kamu pun benci apabila hal itu terjadi kepada dirimu dan keluargamu, hadapilah kesulitan-kesulitan untuk menuju pada kebenaran dan jangan takut celaan orang-orang yang mencela ketika engkau berbuat ketaatan kepada Allah.”

Maka Umar menjawab, “Siapa yang mampu melakukannya wahai Said?”

Said berkata, “Hal itu bisa dilakukan oleh orang-orang sepertimu yang Allah Ta’ala serahi perkara umat Muhammad dan di antara dia dengan Allah tidak terdapat seorang pun.”

Pada saat itu Umar mengundang Said untuk mendukungnya, Umar berkata, “Wahai Said, aku menyerahkan kota Himsh kepadamu.” Maka Said menjawab, “Wahai Umar, dengan nama Allah aku memohon kepadamu agar mencoret namaku.”

Maka Umar marah, dia berkata, “Celaka kalian, kalian meletakkan perkara ini di pundakku kemudian kalian berlari dariku. Demi Allah, aku tidak akan membiarkanmu.”

Umar mengangkat Said sebagai gubernur Himsh, Umar bertanya kepadanya, “Aku akan mentapkan gaji untukmu.”

Said menjawab, “Apa yang aku lakukan dengan gaji itu wahai Amirul Mukminin? Pemberian dari baitul maal kepadaku melebihi kebutuhanku.” Said pun berangkat ke Himsh menunaikan tugasnya.

Tidak lama berselang, Amirul Mukminin Umar bin Khatthab didatangi oleh orang-orang yang bisa dipercaya dari penduduk Himsh, Umar berkata kepada mereka, “Tulislah nama penduduk miskin dari Himsh agar aku bisa membantu mereka.”

Mereka menulis dalam sebuah lembaran, di dalamnya tercantum nama fulan dan fulan serta Said bin Amir.

Umar bertanya, “Siapa Said bin Amir?”

Mereka menjawab, “Gubernur kami.”

Umar menegaskan, “Gubernur kalian miskin?”

Mereka menjawab, “Benar di rumahnya tidak pernah dinyalakan api dalam waktu yang cukup lama.”

Maka Umar menangis hingga air matanya membasahi janggutnya, kemudia dia mengambil seribu dinar dan memasukkannya ke dalam sebuah kantong. Umar berkata, “Sampaikan salamku kepadanya dan katakana kepadanya bahwa Amirul Mukminin mengirimkan harta ini agar kamu bisa menggunakannya untuk memenuhi kebutuhanmu.”

Delegasi pun pulang dan mendatangi rumah Said dengan menyerahkan kantong dari Umar bin Khatthab. Said melihatnya dan ternyata isinya adalah dinar, maka dia menyingkirkannya seraya berkata, “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.” Seolah-olah Said sedang ditimpa musibah besar atau perkara berat.

Istrinya datang tergopoh-gopoh dengan penuh kecemasan, dia berkata, “Apa yang terjadi wahai Said? Apakah Amirul Mukimin wafat?”

Said menjawab, “Lebih besar dari itu.”

Istrinya bertanya, “Aa yang lebih besar ?”

Said menjawab, “Dunia datang kepadaku untuk merusak akhiratku, sebuat fitnah telah menerpa rumahku.”

Istrinya berkata, “Engkau harus berlepas diri darinya,” Dia belum mengerti apa pun terkait dengan perkara dinar tersebut.

Said bertanya, “Kamu bersedia membantuku?”

Istrinya menjawab, “Ya”

Maka Said mengambil dinar itu, memasukkannya ke dalam kantong-kantong dan membagi-baginya kepada kaum muslimin yang miskin.

Tidak berselang lama setelah itu, Umar bin al-Khatthab datang ke negeri Syam untuk mengetahui keadaannya. Ketika Umar tiba di Himsh, kota ini juga dikenal dengan Kuwaifah, bentuk kecil dari Kufah, kota Himsh disamakan dengan Kufah karena banyaknya keluhan penduduknya terhadap para gubernurnya seperti yang dilakukan oleh orang-orang Kufah, ketika Umar tiba di sana, orang-orang Himsh bertemu dengan Umar untuk memberi salam kepadanya. Umar bertanya, “Bagaimana dengan gubernur kalian?”

Maka mereka mengadukannya dan menyebutkan empat hal dari sikapnya, yang satu lebih besar daripada yang lain.

Umar berkata, “Maka aku mengumpulkan mereka dengan pribadi Sa’id sebagai gubernur mereka dalam sebuah majelis, aku memohon kepada Allah agar dugaanku kepadanya selama ini tidak salah, aku sangat percaya kepadanya. Ketika mereka dengan gubernur mereka berada di hadapanku, aku berkata, “Apa keluhan kalian terhadap gubernur kalian?”

Mereka menjawab, “Dia tidak keluar kepada kami kecuali ketika siang sudah naik.”

Aku berkata, “Apa jawabanmu wahai Said?”

Said diam sesaat kemudian berkata, “Demi Allah, aku sebenarnya tidak suka mengatakan hal ini, akan tetapi memang harus dikatakan. Keluargaku tidak mempunyai pembantu. Setiap pagi aku menyiapkan adonan mereka, kemudian aku menunggunya beberapa saat sampai ia mengembang, kemudian aku membuat roti untuk mereka, kemudian aku berwudhu dan keluar untuk masyarakat.”

Umar berkata, aku pun berkata kepada mereka, “Apa yang kalian keluhkan darinya juga?”

Mereka menjawab, “Dia tidak menerima seorang pun di malam hari.”

Said berkata, “Demi Allah, aku juga malu mengatakan hal ini. Aku telah memberikan siang bagi mereka, sedangkan malam maka aku memberikannya kepada Allah Ta’ala.

Aku bertanya, “Apa lagi yang kalian keluhkan darinya?”

Mereka menjawab, “Dia tidak keluar menemui kami satu hari dalam sebulan.”

Aku bertanya, “Bagaimana penjelasanmu wahai Said?”

Said menjawab, “Aku tidak mempunyai wahai Amirul Mukminin, aku pun tidak mempunyai pakaian selain yang melekat di tubuhku ini. Aku mencucinya sekali dalam sebulan, dan menunggu sampai kering, baru kemudian aku keluar di sore hari.”

Kemudian aku bertanya, “Apa lagi yang kalian keluhkan darinya?”

Mereka menjawab, “Terkadang ia jatuh pingsan sehingga tidak ingat terhadap orang-orang di sekitarnya.”

Aku bertanya, “Bagaimana penjelasanmu wahai Said?”

Said menjawab, “Aku menyaksikan kematian Khubaib bin Adi ketika aku masih musyrik, aku melihat orang-orang Quraisy mencincang jasadnya sambil berkata kepadanya, ‘Apakah kamu ingin Muhammad ada di tempatmu ini?’ Lalu dia menjawab, ‘Demi Allah, aku tidak ingin berada di antara keluarga dan anak-anakku dalam keadaan tenang sedangkan Muhammad tertusuk oleh sebuah duri.’ Demi Allah setiap aku teringat hari itu, yakni ketika aku membiarkannya dan tidak menolongnya sehingga aku senantiasa dikejar ketakutan bahwa Allah tidak akan mengampuniku, maka aku pun pingsan.”

Saat itu Umar berkata, “Segala puji bagi Allah yang membenarkan dugaanku kepadamu.”

Kemudian Umar memberinya seribu dinar agar dia gunakan untuk memenuhi kebutuhannya.

Istrinya melihatnya, dia pun berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah mencukupkan kami dari pelayananmu, belilah kebutuhan kami dan ambillah seorang pelayan.”

Said berkata kepadanya, “Apakah kamu mau aku tunjukkan kepada yang lebih baik dari itu? Istrinya balik bertanya, “Apa itu?”

Said berkata, “Kita memberikan hatra tersebut kepada yang memberikannya kepada kita, kita lebih memerlukan hal (amalan) itu.”

Istrinya bertanya, “Apa maksudmu?”

Said menjawab, “Kita berikan kepada Allah dengan cara yang baik.”

Istrinya berkata, “Setuju dan semoga Allah membalasmu dengan kebaikan.”

Said tidak meninggalkan majelisnya hingga dia membagi dinar tersebut di beberapa kantong, lalu dia berkata kepada salah seorang anggota keluarganya, “Berikanlah ini kepada janda fulan, berikanlah ini kepada anak-anak yatim fulan, berikanlah ini kepada keluarga fulan, berikanlah ini kepada orang-orang miskin dari keluarga fulan.”

Semoga Allah meridhai Said bin Amir al-Jumahi, dia termasuk orang-orang yang mementingkan saudaranya sekalipun dia sendiri memerlukan.[2]

Kisah Abdullah bin Hudzafah as-Sahmi

“Sudah sepatutnya bagi setiap muslim untuk mencium kepada Abdullah bin Hudzafah, dan aku yang pertama kali akan memulainya”. (Umar bin al-Khattab).

Pahlawan kisah kita kali ini adalah seorang laki-laki dari sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamyang bernama Abdullah bin Hudzafah as-Sahmi.

Sejarah mungkin melewati nama laki-laki ini sebagaimana ia melewati jutaan orang Arab sebelumnya tanpa mencatatnya dalam lembarannya atau terbetik dalam benaknya.

Namun Islam yang agung memberi peluang kepada Abdullah bin Hudzafah as-Sahmi untuk bertemu dengan penguasa dunia di zamannya, Kisra Raja Persia dan Kaisar Raja Romawi.

Dengan dua penguasa ini Abdullah mempunyai kisah yang terus dikenang oleh benak zaman dan diingat oleh lisan sejarah.

Kisahnya dengan Kisra, Raja Persia, terjadi di tahun keenam Hijriyah, saat itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bermaksud mengirim beberapa orang sahabatnya untuk menyampaikan surat-surat beliau kepada para raja ‘‘ajam, beliau ingin mengajak mereka masuk ke dalam agama Islam.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah memperhitungkan betapa penting rencana ini.

Para utusan itu akan berangkat ke negeri-negeri yang sangat jauh yang mereka belum pernah mengenalnya sedikit pun sebelumnya.

Mereka tidak memahami bahasa penduduknya, mereka juga tidak mengenal kebiasaan raja-rajanya.

Kemudian mereka akan menyeru raja-raja itu agar meninggalkan agama mereka, meninggalkan kebanggaan dan kekuasaan mereka dan masuk ke dalam sebuah agama milik satu kaum yang belum lama menjadi bagian dari pengikutnya.

Perjalanan yang berbahaya, yang berangkat akan hilang dan yang pulang akan dianggap sebagai orang yang baru lahir.

Karena itulah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengumpulkan para sahabatnya, beliau berkhutbah di hadapan mereka, beliau memuji Allah dan menyanjung-Nya, beliau bertasyahud lalu bersabda, “Amma ba’du, sesungguhnya aku akan mengutus sebagian dari kalian kepada para raja ‘‘ajam, maka jangan berselisih atasku seperti Bani Israil yang berselisih atas Isa putra Maryam.”

Para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Kami akan menunaikan tugasmu dengan baik wahai Rasulullah, silakan mengutus siapa yang engkau inginkan.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memilih enam orang dari para sahabat untuk mengemban misi menyampaikan surat-surat beliau kepada raja-raja ‘ajam. Di antara keenam orang tersebut adalah Abullah bin Hudzafah as-Sahmi. Laki-laki ini terpilih untuk menyampaikan surat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Kisra, Raja Persia.

Abdullah bin Hudzafah mempersiapkan kendaraannya, mengucapkan selamat tinggal kepada istri dan anak-anaknya, dia berangkat menuju ke tempat tujuan, dataran tinggi mengangkatnya, lembah menurunkannya, sendiri tidak bersama siapa pun selain Allah, sehingga dia tiba di negeri Persia, dia meminta izin bertemu dengan sang Raja, dia mengatakan kepada para  penjaga bahwa surat yang dia bawa sangat penting.

Pada saat itu Kisra meminta agar istananya dihias, dia mengundang para pembesar neara untuk hadir di majelsinya dan mereka pun hadir, kemudian Abdullah bin Hudzafah diizinkan untuk masuk.

Abdullah bin Hudzafah masuk menemui pemimpin negeri Persia dengan jubahnya yang usang dan pakaiannya yang terajut dengan kasar, terlihat kebersahajaan orang Arab pada dirinya.

Namun dia hadir dengan kepala tegak dan badan tegap, dadanya bergolak dengan kemuliaan Islam, hatinya berkobar dengan keagungan iman.

Begitu Abdullah masuk, Kisra memberi isyarat kepada salah seorang pengawalnya agar mengambil surat dari tangan Abdullah, namun Abdullah menepis seraya berkata, “Tidak, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkanku agar menyerahkannya kepadamu secara langsung, aku tidak akan menentang perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Maka Kisra berkata kepada pengawalnya, “Biarkan dia mendekat kepadaku.” Maka Abdullah mendekat sehingga dia menyerahkan surat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepadanya secara langsung.

Kemudian Kisra memanggil seorang sekretaris dari al-Hijrah[1] dan memerintahkannya untuk membuka surat di hadapnnya serta membacakannya kepadanya. Isinya adalah,

“Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, dari Muhammad Rasulullah kepada Kisra penguasa Persia, salam kepada orang yang mengikuti petunjuk…”

Begitu Kisra mendengar bagian surat tersebut, maka api kemarahannya langsung tersulut dalam dadanya, wajahnya memerah, urat lehernya menegang, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memulai suratnya dengan menyebut nama dirinya, Maka Kisra menarik surat itu dari tangan sekretarisnya, merobeknya tanpa mengetahui apa isinya sambil berteriak, “Beraninya dia menulis seperti ini padahal dia adalah bawahanku (yang tinggal di wilayah kekuasaanku).”

Kemudian Kisra memerintahkan agar Abullah bin Hudzafah diusir dari majelisnya, maka dia pun diusir.

Abdullah bin Hudzafah meninggalkan majelis Kisra sementara dia tiak mengetahui apa yang Allah perbuat untuknya, apakah dia akan dipenggal atau akan dibiarkan bebas?

Tetapi tidak lama kemudian dia berkata, “Demi Allah, aku tidak peduli keadaan apa pun, yang penting aku sudah menunaikan tugas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” lalu ia menaiki kendaraannya.

Manakala kemaran Kisra sudah mereda, dia memerintahkan agar Abdullah bin Hudzafah dipanggil dan dihadirkan kepadanya, namun mereka tidak menemukannya, mereka mencari-ccari Abdullah, namun mereka tidak menemukan jejaknya. Mereka terus mencari di jalan-jalan yang menuju Jazirah, mereka mendapatkan Abdullah telah jauh berjalan meninggalkan Persia.

Ketika Abdullah bin Hudzafah tiba di depan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dia menyampaikan apa yang terjadi kepada beliau, bahwa Kisra merobek surat beliau, maka nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya berdoa pendek, “Semoga Allah merobek-robek kerajaannya.”

Kisra menulis surat kepada Badzan, gubernurnya di Yaman, “Utuslah dua orang laki-laki yang kuat kepada seorang laki-laki yang mengaku sebagai Nabi di Hijaz, perintahkan dua orang laki-laki itu agar membawanya kepadaku.”

Maka Badzan (gubernur itu) mengutus dua orang laki-laki terpilih kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan membawa surat darinya, dalam surat tersebut Badzan meminta Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam agar segera berangkat untuk menemui Kisra bersama dua orang laki-laki itu.

Badzan meminta dua utusannya agar mencari tahu tentang berita Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, meneliti perilakunya, dan membawa wawasan-wawasan yang mereka ketahui tentang pribadinya.

Dua orang laki-laki itu berangkat, keduanya berjalan dengan cepat sehingga keduanya tiba di Thaif dan bertemu dengan beberapa pedagang dari Quraisy, keduanya bertanya kepada mereka tentang Muhammad, mereka berkata, “Dia di Yatsrib.”

Kemudian para pedagang itu kembali ke Mekah dengan kebahagiaan, mereka memberi ucapan selamat kepada orang-orang Quraisy, “Berbahagialah kalian dan bersuka citalah, karena Kisra telah menghadapi Muhammad dan mencukupkan keburukannya dari kalian.”

Adapun dua orang laki-laki utusan Badzan tersebut segera menuju Madinah, keduanya tiba di sana dan bertemu dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka menyerahkan surat Badzan kepada beliau seraya berkata, “Raja diraja, Kisra, telah menulis surat kepada raja kami Badzan agar mengirim orang yang diberi tugas membawamu kepadanya, kami datang kepadamu agar kamu berkenan berangkat bersama kami kepada Kisra, jika kamu berkenan berangkat bersama kami maka kami akan meminta Kisra agar memperlakukan kamu dengan baik dan tidak menyakitimu, namun jika kamu menolak, maka kamu telah mengetahui kekuatannya, kekejamannya, dan kemampuannya untuk mencelakakanmu dan mencelakakan kaummu.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya tersenyum dan bersabda kepada keduanya, “Pulanglah ke tempat istirahat kalian, kembalilah esok hari.”

Manakala keduanya kembali ke hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di keesokan harinya, mereka berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Apakah kamu sudah bersiap-siap untuk berangkat bersama kami menemui Kisra?”

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Kalian berdua tidak akan bertemu Kisra setelah hari ini. Allah telah mematikannya, Dia telah menyerahkan kekuasaannya kepada anaknya Syirawaih di malam ini di bulan ini.”

Keduanya menatap wajah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam-dalam, rasa takjub terbaca dengan jelas dari raut muka mereka berdua, keduanya berkata, “Apakah kamu menyadari apa yang kamu katakan? Kami akan menulis hal ini kepada Badzan.”

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Ya, katakan kepadanya bahwa agamaku akan menjangkau apa yang dijangkau oleh kerajaan Kisra, jika kamu masuk Islam, maka aku akan memberi apa yang ada di tanganmu an menjadikanmu raja atas kaummu.”

Dua utusan itu meninggalkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk pulang ke Yaman. Keduanya tiba dan menyampaikan berita Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka Badzan berkata, “Jika apa yang dikatakan oleh Muhammad benar, maka dia adalah Nabi, jika tidak maka kami akan berpikir ulang.”

Tidak lama setelah itu Badzan menerima surat Syirawaih yang berisi:

“Amma ba’du, aku telah membunuh Kisra, aku tidak membunuhnya kecuali demi membalas dendam untuk kaum kita, dia telah membunuh orang-orang mulia dari mereka, menawan kaum wanita mereka dan merampas harta benda mereka, jika suratku ini telah sampai di tanganmu maka ambillah baiat dari kaummu untukku.”

Begitu Badzan membaca surat Syirawaih, dia meletakkannya di samping dan mengumumkan diri masuk Islam, orang-orang Persia di negeri Yaman mengikutinya masuk Islam.

Ini adalah kisah pertemuan Abdullah bin Hudzafah dengan Kisra Raja Persia.

Lalu bagaimana kisah pertemuannya dengan Kaisar Raja Romawi?

Pertemuan keduanya terjadi di zaman khilafah Umar bin al-khatthab, kisah pertemuan Abdullah dengan Kaisar merupakan kisah yang sangat mengagumkan.

Di tahun sembilan belas hijriyah Umar bin al-Khatthab mengutus pasukan untuk berperang melawan orang-orang Romawi, di antara pasukan tersebut terdapat Abdullah bin Hudzafah as-Sahmi. Kaisar penguasa Romawi sudah mendengar berita-berita tentang bala tentara kaum muslimin, mereka menghiasi diri dengan iman yang benar, akidah yang kokoh dan kerelaan mengorbankan nyawa di jalan Allah dan Rasul-Nya.

Oleh karena itu, dia memerintahkan tentaranya agar jika mereka bisa menangkap sebagian dari kaum muslimin, mereka membiarkannya hidup karena dia ingin bertemu dengan mereka. Allah menakdirkan Abdullah bin Hudzafah jatuh sebagai tawanan di tangan orang-orang Romawi, mereka membawanya kepada Kaisar, mereka berkata, “Orang ini termasuk orang-orang pertama dari sahabat Muhammad yang masuk ke dalam agamanya, kami menawannya dan membawanya kepadamu.”

Raja Romawi menatap Abdullah bin Hudzafah dengan teliti, kemudian dia berkata, “Aku menawarkan sesuatu kepadamu.” Abdullah bertanya “Apa itu?”

Kaisar berkata, “Masuklah kamu ke dalam agama Nasrani, jika kamu berkenan maka aku akan membebaskanmu dan memberimu kedudukan terhormat.”

Tawanan itu menjawab dengan keteguhan dan kehormatan diri, “Mana mungkin? Kematian seribu kali lebih aku sukai daripada memenuhi ajakanmu itu.”

Kaisar berkata, “Aku melihatmu sebagai laki-laki pemberani, jika kamu menerima tawaranku, maka aku akan membagi kekuasaan denganmu dan kita sama-samaa memerintah dan menguasainya.”

Tawanan yang terikat dengan tambang itu tersenyum dan berkata, “Demi Allah, seandainya kamu menyerahkan seluruh apa yang kamu miliki dan segala apa yang dimiliki oleh orang-orang Arab dengan syarat aku meninggalkan agama Muhammad sekejap pun, niscaya aku tidak akan melakukannya.”

Kaisar berkata, “Kalau begitu aku akan membunuhmu.”

Abdullah menjawab, “Lakukan apa yang engkau inginkan.”

Kemudian tangan Abdullah diikat di tiang salib, dan Kaisar berkata kepada pengawalnya dengan bahasa Romawi, “Tembakkanlah anak panah di dekat kedua tangannya.” Sementara Kaisar tetap menawarkan kepadanya agar masuk ke agamanya namun Abdullah tetap menolak.

Maka Kaisar berkata, “tembakkan anak panah di dekat kedua kakinya.” Dan Kaisar tetap menawarkan kepadanya agar meninggalkan agamnya namun Abdullah tetap menolak.

Pada saat itu Kaisar memerintahkan pengawalnya untuk berhenti, dia meminta mereka agar menurunkannya dari tiang salib, kemudian dia meminta agar sebuah bejana besar disiapkan, lalu diisi dengan minyak, bejana itu diangkat ke atas tungku api sampai minyak itu mendidih, lalu Kaisar meminta dua orang tawanan dari kaum muslimin untuk dihadirkan, lalu Kaisar memerintahkan agar salah seorang dari keduanya dilemparkan ke dalam bejana mendidih tersebut, sehingga dagingnya terkelupas dan tulangnya terlihat telanjang.

Di saat itu Kaisar menoleh kepada Abdullah dan kembali mengajaknya masuk ke agama Nasrani, tetapi Abdullah justru menolak lebih keras daripada sebelumnya.

Manakala Kaisar berputus asa darinya, dia memerintahkan pengawalnya agar melemparkan Abdullah ke dalam bejana seperti kedua rekannya sebelumnya, di kala pengawal membawa Abdullah, dia mulai menangis, sehingga nampak para pengawal itu berkata kepada raja mereka, “Dia menangis.” Kaisar pun menyangka bahwa Abdullah telah dibayang-bayangi ketakutan, dia berkata, “Kembalikan dia kepadaku.” Ketika Abdullah berdiri di hadapan Kaisar, Kaisar kembali mengulangi tawarannya agar Abdullah masuk ke dalam agamanya, namun Abdullah tetap menolak.

Kaisar menghardik, “Celakalah kamu, apa yang membuatmu menangis?”

Abdullah menjawab, “Yang membuatku menangis adalah bahwa aku berkata kepada diriku, “Kamu sekarang akan dilembarkan ke dalam bejana, jiwamu akan pergi.’ Aku sangat ingin mempunyai nyawa sebanyak jumlah rambut yang ada di tubuhku, lalu semuanya dilemparkan ke dalam bejana itu fi sabilillah.”

Akhirnya thaghut itu menyerah dan berkata, “Apakah kmu mau mencium kepalaku dan aku akan membebaskanmu?”

Abdullah menjawab, “Dan melepaskan seluruh tawanan kaum muslimin?”

Abdullah berkata, aku berkata dalam hatiku, “Musuh Allah, aku akan mencium keningnya, lalu aku bebas demikian juga seluruh tawanan kaum muslimin, tidak mengapa aku lakukan hal itu.”

Kemudian Abdullah mendekat dan mencium kepalanya, maka Kaisar Raja Romawi memerintahkan agar seluruh tawanan kaum muslimin dikumpulkan dan diserahkan kepada Abdullah bin Hudzafah, maka perintah ini dilaksanakan.

Sekembalinya ke kota Madinah, Abdullah bin Hudzafah datang kepada Umar bin al-Khatthab, dia menceritakan kisahnya, maka al-Faruq sangat berbahagia karenanya, Umar melihat kepada para tawanan, maka dia berkata, “Patut bagi setiap muslim untuk mencium kepala Abdullah bin Hudzafah, aku yang pertama kali akan mengawalinya.” Maka Umar berdiri dan mencium kepalanya.[2]

Footnote:

[1] Daerah di Irak di antara Najaf dengan Kufah.
[2] Untuk menambah wawasan tentang Abdullah bin Hudzafah silakan merujuk:
Al-Ishabah, (II/296) atau (at-Tarjamah) (4622); As-Sirah an-Nabawiyah, Ibnu Hisyam Tahqiq as-Saqa. Lihat daftar isi; Hayat ash-Shahabah, Muhammad Yusuf al-Kndahlawi, lihat daftar isi juz empat; Tahdzib at-Yahdzib, (V/185); Imta’al-Asma’, (I/308, 444); Husna ash-Shahabah, (305); Al-Muhbir, (77); Tarikh al-Islam, adz-Dzahabi, (II/88).

Kisah Ath-Thufail bin Amru ad-Dausi

“Ya Allah, berikanlah sebuah bukti kepadanya atas kebaikan yang dia niatkan.”
(Dari doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuknya)

Ath-Thufail bin Amru ad-Dausi adalah kepala kabilah Daus di masa jahiliyah, salah seorang pemuka orang-orang Arab yang berkedudukan tinggi, satu dari para pemilik muru’ah yang diperhitungkan orang banyak.

Panci miliknya tidak pernah turun dari api karena senantiasa di pakai untuk memasak dalam rangka menjamu tamu dan pintu rumahnya tidak pernah tertutup dari tamu yang mengetuk untuk bermalam.

Dia adalah potret manusia yang memberi makan orang yang lapar, memberi rasa aman bagi orang yang takut, dan memberi perlindungan kepada orang yang memerlukan perlindungan.

Di samping itu, dia adalah seorang sastrawan cerdik lagi ulung, seorang penyair dengan ilham besar dan perasaan lembut, mengenal dengan baik kata-kata yang manis dan pahit, dimana kalimat berperan padanya layaknya sihir.

Ath-Thufail meninggalkan kampung halamannya di Tihamah[1] menuju Mekah pada saat terjadi pertentangan antara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  dengan orang kafir Quraisy, di saat Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam berusaha menyampaikan dakwah Islam kepada penduduknya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyeru mereka kepada Allah, senjata beliau adalah iman dan kebenaran. Sementara orang-orang kafir Quraisy memerangi dakwah beliau dengan segala macam senjata, menghalang-halangi manusia darinya dengan berbagai macam cara.

At-Thufail melihat dirinya masuk ke dalam pertentangan ini tanpa persiapan, menerjuni lahannya tanpa dia kehendaki sebelumnya.

Dia tidak datang ke Mekah untuk tujuan tersebut, perkara  Muhammad dan orang-orang Quraisy tidak pernah terbesit dalam pikirannya sebelum ini.

Dari sini ath-Thufail bin Amru ad-Dausi mempunyai    kisah dengan pertentangan ini yang tidak terlupakan. Kita simak kisah tersebut, karena ia termasuk kisah yang sangat menarik.

Ath-Thufail berkisah,

Aku datang ke Mekah, begitu para pembesar Quraisy melihatku, mereka langsung menghampiriku, menyambutku dengan sangat baik dan menyiapkan tempat singgah yang terbagus bagiku.

Kemudian para pemuka dan pembesar Quraisy mendatangiku sembari berkata, “Wahai Thufail, sesungguhnya kamu telah datang ke negeri kami, dan laki-laki yang menyatakan dirinya sebagai nabi itu telah merusak urusan kami dan memecah-belah persatuan kami serta mencerai-beraikan persaudaraan kami. Kami hanya khawatir apa yang menimpa kami ini akan menimpamu sehingga mengancam kepemimpinanmu atas kaummu. Oleh karena itu, jangan berbicara dengan laki-laki itu, jangan mendengar apa pun darinya, karena dia mempunyai kata-kata seperti sihir, memisahkan seorang anak dari bapaknya, seorang saudara dari saudaranya, seorang istri dari suaminya.”

Ath-Thufail berkata,

Demi Allah, mereka terus menceritakan berita-beritanya yang aneh, menakut-nakutiku atas diri dan kaumku dengan perbuatan-perbuatan Muhammad yang terkutuk dan tercela sampai aku pun bertekad bulat untuk tidak mendekat kepadanya, tidak berbicara dengannya dan tidak mendengar apa pun darinya.

Manakala aku berangkat ke Masjidil Haram untuk melakukan thawaf di Ka’bah dan mencari keberkahan kepada berhala-berhala yang kepada merekalah kami menunaikan ibadah haji dan kepada merekalah kami mengagungkan, aku menyumbat kedua telingaku dengan kapas karena aku takut ada perkataan Muhammad yang menuyusup ke telingaku.

Begitu aku masuk masjid, aku melihat Muhammad sedang berdiri. Dia shalat di Ka’bah dengan shalat yang berbeda dengan shalat kami, beribadah dengan ibadah yang berbeda dengan ibadah kami, pemandangan itu menarik perhatianku, ibadanya menggugah nuraniku. Tanpa sadar aku melihat diriku telah mendekat kepadanya sedikit demi sedikit, sehingga tanpa kesengajaan diriku telah benar-benar dekat kepadanya.

Allah pun membuka hatiku, sebagian apa yang diucapkan Muhammad terdengar olehku, aku mendengar ucapan yang sangat indah. Aku berkata kepada diriku, “Celaka kamu wahai Thufail, sesungguhnya kamu adalah laki-laki penyair yang cerdas, kamu mengetahui yang baik dan yang buruk, apa yang menghalangimu untuk mendengar ucapan laki-laki ini? Jika apa yang dia bawa itu baik, maka kamu harus menerimanya, jika buruk maka kamu harus membuangnya.”

Ath-Thufail berkata, “Aku diam sampai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan tempatnya menuju rumahnya, aku mengikutinya sampai dia masuk ke dalam rumahnya dan aku pun masuk kepadanya. Aku berkata, “Wahai Muhammad, sesungguhnya kaumku telah berkata tentangmu begini dan begini. Demi Allah, mereka terus menakut-nakuti dari ajaranmu sampai aku menutup kedua telingaku dengan kapas agar aku tidak mendengar kata-katamu. Kemudian Allah menolak itu semua dan membuatku mendengar sebagian dari ucapanmu. Aku melihatnya baik, maka jelaskan ajaranmu kepadaku.”

Di saat itulah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan agamanya kepadaku, beliau membacakan surat al-Ikhlas dan al-Falaq. Demi Allah, aku tidak pernah mendengar sbuah ucapan yang lebih bagus dari ucapannya, aku tidak melihat sebuah perkataan yang lebih adil daripada perkaranya.

Pada saat itu aku ulurkan tanganku untuknya, aku bersaksi bahwa tidak ada Ilah yang haq selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, aku masuk Islam.”

Ath-Thufail berkata,

Kemudian aku tinggal di Mekah beberapa waktu. Selama di sana aku belajar ajaran-ajaran Islam dan aku menghafal Alquran yang mungkin untuk aku hafal. Ketika aku berniat untuk pulang ke kabilahku, aku berkata, “Rasulullah, sesungguhnya aku ini adalah laki-laki yang ditaati di kalangan kaumku, aku akan pulang untuk mengajak mereka kepada Islam. Berdoalah kepada Allah agar Dia memberiku sebuah bukti untuk mendukungku dakwahku kepada mereka.”

Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa, “Ya Allah berikanlah dia sebuah bukti.”

Aku pun pulang kepada kaumku, ketika aku tiba di sebuah tempat yang dekat dengan perkampunganku, tiba-tiba secercah cahaya muncul di keningku seperti lampu, maka aku berkata, “Ya Allah, pindahkanlah ia ke tempat lain, karena aku khawatir mereka akan mengira bahwa ini merupakan hukuman yang menimpa wajahku karena aku meninggalkan agama mereka.”

Maka cahaya itu berpindah ke ujung semetiku, orang-orang melihat cahaya tersebut di ujung cemetiku seperti lampu yang tergantung, aku turun kepada mereka dari sebuah jalan di bukit. Manakala aku tiba di perkampungan, bapakku yang sudah berumur lanjut menyambutku, aku berkata kepadanya, “Menjauhlah engkau dariku, aku bukan termasuk golonganmu dan engkau bukan termasuk golonganku.”

Bapakku bertanya, “Mengapa wahai anakku?”

Aku menjawab, “Aku telah masuk Islam, aku mengikuti Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.”

Dia berkata, “Anakku, agamamu adalah agamaku juga.”

Aku berkata, “Pergilah, mandilah dan sucikanlah pakaianmu, kemudian kemarilah aku akan mengajarimu apa yang aku ketahui.”

Maka bapakku pun pergi, dia mandi dan menyucikan bajunya, kemudian dia datang dan aku menjelaskan Islam kepadanya dan dia masuk Islam.

Kemudian istriku datang kepadaku, aku berkata kepadanya, “Menjauhlah dariku, aku bukan termasuk golonganmu dan kamu bukan termasuk golonganku.

Dia bertanya, “Bapak dan ibumu sebagai jaminanku, mengapa?”

Aku menjawab, “Islam memisahkan antara diriku dengan dirimu, aku telah mengikuti Muhammad.”

Dia berkata, “Agamamu adalah agamaku.”

Aku berkata, “Pergilah dan jauhilah air Dzi asy-Syura.”[2]

Dia berkata, “Bapak dan ibuku sebagai jaminanku, apakah kamu takut sesuatu terhadap wanita ini karena Dzi asy-Syura?”

Aku menjawab, “Celaka kamu dan celaka juga Dzi asy-Syura, aku katakan kepadamu, ‘Pergilah, mandilah di sana jauh dari penglihatan orang-orang aku menjamin bahwa batu pejal itu tdak akan melakukan apa pun terhadapmu.”

Dia pun pergi untuk mandi, kemudian dia datang, aku menjelaskan Islam kepadanya, maka dia masuk Islam.

Kemudian aku mengajak kaumku Daus, namun mereka tidak menjawab dengan segera, kecuali Abu Hurairah, dia adalah orang yang paling cepat menjawab seruanku.

Ath-Thufail berkata,

Aku datang bersama Abu Hurairah menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di Mekah. Di saat itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadaku, “Hati kaummu masih tertutupi sekat tebal dan kekufuran yang keras. Orang-orang Daus telah dikuasai oleh kefasikan dan kemaksiatan.”

Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri mengambil air, beliau wudhu kemudian mengerjakan shalat, beliau mengangkat kedua tangan beliau ke langit. Abu Hurairah berkata, “Manakala aku melihat beliau melakukan itu, aku takut beliau berdoa buruk atas kaumku, akibatnya mereka akan binasa. Maka aku berkata, ‘Celaka kaumku.”

Tetapi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ya Allah, berikanlah petunjuk kepada Daus. Ya Allah, berikanlah petunjuk kepada Daus. Ya Allah, berikanlah petunjuk kepada Daus.”

Kemudian beliau menoleh kepada ath-Thufail dan berkata, “Pulanglah kepada mereka, serulah mereka kepada Islam dengan lemah lembut.”

Ath-Thufail berkata,

Aku terus tinggal di kampung Daus, aku mengajak mereka kepada Islam sampai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berhijrah ke Madinah. Perang Badar, Uhud, dan Khandaq berlalu. Aku datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama delapan puluh keluarga dari Daus yang telah masuk Islam dan mereka konsisten terhadap ajaran Islam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berbahagia dengan kehadiran kami, beliau memberikan bagian dari harta rampasan perang Khaibar kepada kami sama dengan kaum muslimin lainnya.

Kami berkata kepada beliau, “Ya Rasulullah, jadikanlah kami sebagai sayap kanan pasukanmu dalam setiap peperangan yang engkau terjuni. Jadikanlah syiar kami, ‘Mabrur.”

Ath-Thufail berkata,

Setelah itu aku terus bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai Allah Ta’ala membuka Mekah untuk beliau. Aku berkata, “Ya Rasulullah, tugasilah aku ke Dzul Kafain untuk menghancurkan berhala Amru bin Hamamah, aku ingin menghancurkannya.” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkannya, ath-Thufail berangkat dengan sebuah pasukan yang terdiri dari kaumnya.

Ketika ath-Thufail tiba di sana, dia hendak membakarnya, kaum laki-laki wanita dan anak-anak memperhartikannya, mereka berharap ath-Thufail akan ditimpa keburukan, mereka berharap sebuah halilintar menyambarnya jika dia menghancurkan Dzul Kafain.

Namun ath-Thufail tetap bergerak maju kepada berhala tersebut di hadapan tatapan mata para pemujanya.

Ath-Thufail menyalakan api, membakar dada berhala itu sambil bersyair,

Wahai Dzul Kafain, aku tidak termasuk pemujamu

Kelahiran kami mendahului kelahiranmu

Sesungguhnya aku membakar dadamu dengan api.

Api melahap berhal itu, sekaligus melahap sisa-sisa syirik yan ada pada kabilah Daus, maka mereka semuanya masuk Islam dan mereka pun memiliki komitmen yang kuat terhadap Islam.

Setelah itu ath-Thufail bin Amru ad-Dausi senantiasa mendampingi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai beliau wafat dan berpulang ke hadapan Rabbnya.

Setelah itu khilafah berpindah ke tangan Abu Bakar, ath-Thufail memberikan jiwanya, pedangnya dan anaknya dalam menaati khalifah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Ketika perang Riddah berkecamuk ath-Thufail berada di barisan depan bala tentara kaum muslimin untuk memerangi Musailamah al-Kadzdzab, putranya pun ikut bersamanya.

Ketika dia sedang menuju Yamamah, ath-Thufail bermimpi, dia berkata kepada kawan-kawannya, “Aku bermimpi, tolong jelaskan kepadaku apa artinya?”

Mereka bertanya, “Mimpi apa?”

Dia berkata, “Aku bermimpi kepalaku dicukur, seekor burung keluar dari mulutku, seorang wanita memasukkanku ke dalam perutnya, anakku Amru mencari-cari diriku dengan gigih namun antara diriku dengan dirinya terdapat penghalang.”

Mereka berkata, “Itu mimpi yang baik.”

Selanjutnya ath-Thufail berkata, “Aku sudah bisa mengartikan makna mimpiku. Kepalaku dicukur, artinya ia dipotong. Seekor burung keluar dari mulutku, artinya arwahku meninggalkan jasadku. Wanita yang memasukkanku ke dalam perutnya adalah bumi yang digali lalu aku dikubur di sana. Anakku yang gigih mencariku, artinya dia mengharapkah syahadah yang akan aku dapatkan dengan izin Allah, anakku akan mendapatkannya kelak.”

Di perang Yamamah, shahabat yang mulia Amru bin ath-Thufail ad-Dausi berperang dengan gigih, memperlihatkan kepahlawanannya dengan gagah berani, sampai dia gugur sebagai syahid di bumi perang Yamamah.

Adapun anaknya, Amru, maka dia terus berperang sampai tubuhnya penuh luka, tangan kananya terpotong, dia pulang ke Madinah meninggalkan bapaknya sementara tangan kanannya dikubur di bumi Yamamah.

Di masa khilafah Umar bin al-Khatthab, Amru bin ath-Thufail datang menemuinya, tatkala makanan dihidangkan kepada al-Faruq sementara orang-orang yang duduk di sekelilingnya dipersilahkan untuk menyantap hidangan, Amru justru malah menjauh darinya. Maka al-Faruq bertanya kepadanya,

“Ada apa dengan dirimu? Apakah kamu menjauh dari makanan ini karena kamu merasa malu kepada tanganmu?”

Dia menjawab, “Benar wahai Amirul Mukminin.”

Umar pun berkata, “Demi Allah, aku tidak menyantap makanan ini sehingga kamu mencampurnya melalui bagian tanganmu yang terputus itu. Demi Allah, di antara yang hadir ini tidak ada seseorang yang sebagian organnya telah tinggal di surga selainmu –maksudnya adalah tangannya-.

Impian syahadah terus berkibar dalam angan-angan Amru sejak dia berpisah dari bapaknya. Perang Yarmuk[3] tiba, Amru bin ath-Thufail bersegera berpartisipasi di dalamnya bersama orang-orang yang bersegera, dia berperang sehingga dia meraih syahadah yang diharapkan oleh bapaknya untuknya.

Semoga Allah merahmati ath-Thufail bin Amru ad-Dausi, seorang syahid dan bapak dari seorang syahid.[4]

Ket.

[1] Tihamah adalah lembah pesisir di Jazirah Arab yang bersebelahan dengan Laut Merah
[2] Dzu asy-Syura adalah berhala milik kabilah Daus, dikelilingi oleh air yang turun dari sebuah gunung.
[3] Perang Yarmuk adalah salah satu peperangan yang menentukan dalam sejarah, terjadi pada tahun lima belas Hijriyah, dalam perang ini kaum muslimin unggul atas orang-orang Romawi secara gemilang.
[4] Untuk mendambah wawasan tentang ath-Thufail bin Amru ad-Dausi silahkan merujuk:
al-Ishabah, (II/225) atau (at-Tarjamah) (4254); al-Isti’ab (II/225) di bagian bawah al-Ishabah, (II/230); Usudul Ghabah, (III/54-55); Shifah ash-Shafwah, (I/245-246); Siyar A’lam an-Nubala’, (I/248-250); Mukhtashar Tarikh Dimisyq, (VII/59-64); al-Bidayah wa an-Nihayah, (VI/337); Syuhada’ al-Islam, (138-143); Sirah Bahal, Muhammad Zaidan, diterbitkan oleh ad-Dar as-Suudiyah tahun 1386 H.

Kisah Zubair bin Awwam Radhiallahu ‘Anhu

Masa Kecil Hingga Hijrah ke Madinah

Zubair bin Awwam adalah salah seorang sahabat yang mulia. Ia termasuk 10 orang yang dijamin masuk surga walaupun ia belum meninggal dunia. Ia salah seorang dari enam ahli syura, yang memusyawarahkan pengganti khalifah Umar bin Khattab, ini merupakan pengakuan terhadap keilmuan dan kematangannya.

Zubair merupakan keponakan dari ibunda Khadijah radhiallahu ‘anha, karena ayahnya adalah saudara laki-laki sang ummul mukminin. Adapun ibunya adalah bibi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Shafiyyah binti Abdul Muthalib. Nasab laki-laki Quraisy ini adalah sebagai berikut: Zubair bin Awwam bin Khuwailid bin Asad bin Abdul Uzza bin Qushay bin Kilab al-Qurasyi al-Asadi. Kun-yahnya adalah Abu Abdullah, Hawari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Hawari Rasulullah ini dilahirkan 28 tahun sebelum hijrah, masuk Islam di Mekah saat berusia 15 tahun melalui perantara Abu Bakar ash-Shiddiq radhiallahu ‘anhu. Tentu saja keislamannya menimbulkan kemarahan orang-orang kafir Quraisy, terutama dari kalangan keluarganya. Pamannya menggulung badannya dengan tikar, lalu dipanaskan dengan api agar ia kembali ke agama nenek moyangnya. Namun dengan keyakinan yang kuat ia katakan, “Aku tidak akan kembali kepada kekufuran selama-lamanya”.

Di antara keistimewaan Zubair yang lainnya adalah ia turut serta dalam dua kali hijrah, hijrah ke Habasyah lalu menikah dengan putri Abu Bakar, Asma binti Abu Bakar radhiallahu ‘anha, kemudian ke Madinah dan mendapat anugerah putra pertama yang diberi nama Abdullah dan putra kedua Mush’ab radhiallahu ‘anhuma.

Kedudukan Zubair

– Orang pertama yang menghunus pedang di jalan Allah adalah Zubair. Dari Aurah dan Ibnu al-Musayyib keduanya berkta, “Laki-laki pertama yang menghunuskan pedangnya di jalan Allah adalah Zubair.” Peristiwa tersebut terjadi saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diganggu, lalu ia menghunuskan pedangnya kepada orang-orang yang mengganggu Nabi.

– Hawari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dari Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda di hari Perang Ahzab, “Siapa yang akan memerangi Bani Quraidhah?” Zubair menjawab, “Saya (ya Rasulullah)” Beliau kembali bertanya, “Siapa yang akan memerangi Bani Quraidhah?” Zubair kembali merespon, “Saya” Lalu Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya setiap nabi memiliki hawari (teman-teman setia), dan hawariku adalah Zubair.”

– Malaikat Jibril tampil dengan fisik Zubair bin Awwam di Perang Badar. Dari Aurah bin Zubair, “Zubair mengenakan mantel kuning (di hari itu), lalu Jibril turun dengan menyerupai Zubair. Di Perang Badar, Rasulullah menempatkan Zubair di sayap kanan pasukan, lalu ada sosok Zubair dekat dengan Rasulullah, beliau berkata kepadanya, “Perangilah mereka wahai Zubair!” Lalu orang itu menjawab, “Aku bukan Zubair.” Akhirnya Rasulullah mengetahui bahwa itu adalah malaikat yang Allah turunkan dengan sosok Zubair, untuk membantu kaum muslimin di Perang Badar.

Perselisihan Antara Para Sahabat

Sebagaimana telah masyhur dalam sejarah, terjadi perselisihan antara para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang tuntutan hukum terhadap pembunuh Utsmani bin Affan radhiallahu ‘anhu. Perselisihan yang mengakibatkan peperangan di antara mereka karena disusupi oleh orang-orang yang mengadu domba. Perselisihan ini sekaligus ujian bagi kita, apakah kita akan menjadi pencela sahabat Nabi atau kita tetap menghormati mereka sebagaimana Allah dan Rasul-Nya telah memuliakan mereka.

Ini adalah di antara takdir-takdir Allah yang terjadi kepada para hamba-Nya. Sebagaimana terjadi kepada bapak kita, Nabi Adam ‘alaihissalam. Lantaran Allah menakdirkan agar manusia menetapi bumi sebagai tempat tinggal mereka, Allah takdirkan Nabi Adam melakukan suatu perbuatan yang menyebabkannya dikeluarkan dari surga dan diturunkan ke dunia. Lalu apakah kita akan mencela Nabi Adam dengan mengatakan, “Seandainya Nabi Adam tidak memakan buah khuldi, pasti kita sekarang tidak perlu merasakan beratnya cobaan di dunia, kita pasti sekarang sedang menikmati indahnya tinggal di surga.” Tentu kita tidak akan mengatakan demikian bukan.. Sama halnya kita tidak mencela para sahabat Nabi dan melupakan keutamaan-keutamaan yang telah Allah dan Rasul-Nya sematkan untuk mereka. Kita hanya katakan,

إِذَا حَضَرَ القَدَرُ ذَهَبَ البَصَرُ

“Kalau takdir terjadi (telah ditetapkan), akal pun jadi hilang.”

Saat terjadi perselisihan antara sahabat tersebut, dua orang ahli syura dan termasuk orang yang dijamin masuk surga, yaitu Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair bin Awwam berada di pihak yang berseberangan dengan Ali bin Abi Thalib. Kedua orang sahabat Nabi ini, bertolak dari Mekah menuju Bashrah di Irak untuk menuntut ditegakkannya hukum atas para pembunuh Utsman. Peristiwa itu terjadi para tahun 36 H, puncaknya, terjadi Perang Jamal.

Berlinang air mata Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu melihat sekedup ibunda Aisyah berada di tengah medan perang, lalu ia berteriak kepada Thalhah, “Wahai Thalhah, apakah engkau datang untuk memerangi pengatinnya Rasulullah, sementara istrimu aman berada di rumah?” Lalu Thalhah pun terperanjat dengan ucapan tersebut, ia berlari dari medan fitnah, namun sebuah anak panah lepas dari busurnya dan tepat menyasar urat kakinya. Karena pendarahan dari luka tersebut, setelah beberapa waktu, Thalhah radhiallahu ‘anhu pun wafat.

Ali juga mengingatkan Zubair, “Wahai Zubair, aku memanggilmu atas nama Allah. Tidakkah engkau ingat, suatu hari dimana engkau lalui bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, saat itu kita berada di suatu tempat, Rasulullah bertanya kepadamu, ‘Wahai Zubair, apakah engkau mencintai Ali?’

Kau jawab, ‘Bagaimana bisa aku tidak mencintai anak dari pamanku (baik dari pihak ayah ataupun ibu) dan dia seagama denganku’.

Beliau melanjutkan sabdanya, ‘Demi Allah wahai Zubair, sungguh engkau akan memeranginya dan saat itu engkau berada di pihak yang keliru’.”

Zubair mengatakan, ‘Aku ingat sekarang, dan aku hilaf dari pesan beliau itu. Demi Allah, aku tidak akan memerangimu.” Setelah pergi dari perang fitnah itu, akhirnya saat sedang shalat, Zubair wafat dibunuh oleh seorang penghianat yang bernama Amr bin Jurmuz.

Dalam perselisihan yang terjadi antara para sahabat Nabi ini, penulis mengingatkan agar para pembaca tidak ‘sembrono’ dalam bersikap sehingga mendudukkan sahabat Nabi tidak pada kedudukan yang layak untuk mereka, sebagaimana yang telah Allah dan Rasul-Nya tempatkan mereka pada kedudukan yang tinggi di dalam agama kita. Apa yang terjadi pada mereka adalah bagian takdir Allah yang Allah sendiri paling tahu akan hikmah-hikmahnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

اَلنُّجُوْمُ أَمَنَةٌ لِلسَّمَاءِ. فَإِذَا ذَهَبَتِ النُّجُوْمُ أَتَى السَّمَاءَ مَا تُوْعَدُ. وَأَنَا أَمَنَةٌ لِأَصْحَابِـيْ. فَإِذَا ذَهَبْتُ أَتَى أَصْحَابِـيْ مَا يُوْعَدُوْنَ. وَأَصْحَابِـيْ أَمَنَـةٌ لِأُمَّتِيْ. فَإِذَا ذَهَبَ أَصْحَابِـيْ أَتَى أُمَّتِـيْ مَا يُوْعَدُوْنَ

“Bintang-bintang itu sebagai penjaga langit, apabila bintang-bintang itu hilang maka datanglah apa yang dijanjikan atas langit itu. Dan aku adalah penjaga bagi para shahabatku, apabila aku telah pergi (meninggal dunia) maka akan datang kepada shahabatku apa yang dijanjikan kepada mereka (fitnah dan pembunuhan). Dan para shahabatku adalah penjaga bagi umatku, apabila shahabatku telah pergi (meninggal dunia) maka akan datang apa yang dijanjikan kepada mereka’.” (HR. Muslim no. 2531).

Wafatnya Zubair

Zubair bin Awwam radhiallahu ‘anhu wafat pada bulan Rabiul Awal tahun 36 H. Saat itu beliau berusia 66 atau 67 tahun. Ia dibunuh oleh seorang yang bernama Amr bin Jurmuz. Kabar wafatnya Zubair membawa duka yang mendalam bagi amirul mukminin Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu, ia mengatakan, “Nerakalah bagi pembunuh putra Shafiyyah ini.” Saat pedang Zubair dibawakan ke hadapannya, Ali pun menciumi pedang tersebut sambil berurai air mata, lalu berucap “Demi Allah, pedang yang membuat pemilikinya mulia (dengan berjihad) dan dekat dengan Rasulullah (sebagai hawari pen.).

Setelah jasad Zubair dimakamkan, Ali mengucapkan kalimat perpisahan kepada Zubair, “Sungguh aku berharap bahwa aku, Thalhah, Zubair, dan Utsman termasuk orang-orang yang difirmankan Allah,

وَنَزَعْنَا مَا فِي صُدُورِهِمْ مِنْ غِلٍّ إِخْوَانًا عَلَى سُرُرٍ مُتَقَابِلِينَ

“Dan Kami lenyapkan segala rasa dendam yang berada dalam hati mereka, sedang mereka merasa bersaudara duduk berhadap-hadapan di atas dipan-dipan.” (QS. Al-Hijr: 47)

Ali menatap kubur Thalhah dan Zubair sambil mengatakan, “Sungguh kedua telingaku ini mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Thalhah dan Zubair berjalan di surga.”

Semoga Allah senantiasa meridhai dan merahmatimu wahai hawari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan menempatkanmu di dalam surga yang penuh dengan kenikmatan. Amin..

Kisah Bilal bin Rabah, Muadzin Pertama Dalam Islam

Pertama kali yang terbesit di benak penulis ketika hendak mengisahkan tentang muadzin Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Bilal bin Rabah radhiallahu ‘anhu, adalah sejak 15 abad yang lalu Islam telah menyerukan persamaan harkat dan derajat manusia, apapun ras dan suku bangsanya, apapun warna kulitnya, dan apapun status sosialnya, yang membedakan mereka hanyalah ketakwaan kepada Allah.

Sedangkan orang-orang Barat di abad 18 (3 abad yang lalu), masih berpikir bahwa orang kulit hitam adalah hewan bukan manusia. Mereka memperlakukan orang-orang kulit hitam dengan kejam, lebih kejam dari hewan, tidak ada hak bagi orang-orang kulit hitam, membunuh dan menyiksa mereka bukanlah dosa dan dianggap perbuatan biasa. Bahkan sampai hari ini, rasisme terhadap orang-orang negroid masih bercokol di benak sebagian masyarakat Eropa dan Amerika, yang mereka tahu pisanglah makanan pokok bagi orang-orang kulit berwarna ini. Uniknya, dalam keadaan mereka yang demikian, mereka mengkritisi Islam tentang perbudakan dan persamaan harkat dan derajat manusia.

Baiklah, bercerita tentang Bilal bin Rabah, tentu yang pertama kita ingat bahwa beliau radhiallahu ‘anhu adalah seorang muadzin Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Suaranya lantang terdengar ketika waktu-waktu shalat datang, sebagai panggilan bagi orang-orang yang beriman. Dia adalah seorang laki-laki kulit hitam yang pernah mengalami kejamnya perbudakan lalu mendapatkan kebebasan serta kedudukan yang tinggi dengan datangnya Islam.

Profil Bilal

Dia adalah Bilal putra dari Rabah dan ibunya bernama Humamah, seorang laki-laki Habasyah yang lahir 3 tahun –atau kurang dari itu- setelah tahun gajah, ada juga yang mengatakan 43 tahun sebelum hijrah sebagaimana termaktub dalam Shuwar min Hayati ash-Shahabah. Kulit Bilal legam, badannya kurus tinggi dan sedikit bungkuk serta rambutnya lebat. Ia bukanlah dari kalangan bangsawan, Abu Bakar membelinya –masih dengan status budak- lalu membebaskannya.

Keislamannya

Bilal termasuk orang yang pertama memeluk Islam. Diriwayatkan, saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Abu Bakar radhiallahu ‘anhu beruzlah di gua, lewatlah Bilal yang sedang menggembala kambing-kambing milik Abdullah bin Jad’an. Saat Rasulullah melihat Bilal yang sedang bersama kambing-kambing tersebut beliau berkata, “Wahai penggembala, apakah engkau memiliki susu?” Bilal menjawab, “Tidak ada, hanya kambing ini saja. Apabila kalian mau, kusisihkan susunya hari ini untuk kalian.” Rasulullah berkata, “Bawa kemari kambingmu itu.”

Setelah Bilal mendekat, Rasulullah berdoa dengan membawa sebuah bejana yang besar, lalu memerah susu kambing dan memenuhi bejana tersebut. Beliau meminumnya hingga kenyang. Setelah itu memerah kembali susunya hingga bejana penuh, lalu memberikannya kepada Abu Bakar hingga Abu Bakar kenyang. Kemudian memerahnya kembali sampai bejana terisi penuh dan menyerahkannya kepada Bilal. Bilal pun meminumnya hingga kenyang.

Kemudian Rasulullah bertanya kepada Bilal, “Apakah engkau telah mengenal Islam? Sesungguhnya aku adalah utusan Allah.” Bilal pun memeluk Islam berkat dakwah Rasulullah tersebut dan memerintahkan Bilal agar menyembunyikan keislamannya. Bilal pun pulang dengan kambingnya yang kantung susunya mengembung penuh. Sepulangnya dari penggembalaan Bilal menemui pemilik kambing, lalu sang pemilik mengatakan, “Engkau telah menggembalakannya dengan baik, ambillah kambing itu untukmu.”

Selama beberapa hari kemudian, Bilal tetap menemui Rasulullah untuk menyajikan susu kambing dan belajar Islam kepada beliau, sampai akhirnya orang-orang kafir Mekah mengetahui keislamannya. Mereka menyiksa Bilal dengan siksaan yang berat.

Kedudukan Bilal

Derap langkah Bilal terdengar di surga: Dalam sebuah hadits shahih yang diriwayatkan Imam Muslim dari Abu Hurairah berkata,

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ لِبِلاَلٍ عِنْدَ صَلاَةِ الْغَدَاةِ يَا بِلاَلُ حَدِّثْنِي بِأَرْجَى عَمَلٍ عَمِلْتَهُ عِنْدَكَ فِي اْلإِسْلاَمِ مَنْفَعَةً فَإِنِّي سَمِعْتُ اللَّيْلَةَ خَشْفَ نَعْلَيْكَ بَيْنَ يَدَيَّ فِي الْجَنَّةِ قَالَ بِلاَلٌ مَا عَمِلْتُ عَمَلاً فِي اْلإِسْلاَمِ أَرْجَى عِنْدِيْ مَنْفَعَةً مِنْ أَنِّي لاَ أَتَطَهَّرُ طُهُوْرًا تَامًّا فِي سَاعَةٍ مِنْ لَيْلٍ وَلاَ نَهَارٍ إِلاَّ صَلَّيْتُ بِذَلِكَ الطُّهُوْرِ مَا كَتَبَ اللَّهُ لِيْ أَنْ أُصَلِّيَ (رواه مسلم)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Rasulullah bersabda kepada Bilal setelah menunaikan shalat subuh, ‘Wahai Bilal, beritahukanlah kepadaku tentang perbuatan-perbuatanmu yang paling engkau harapkan manfaatnya dalam Islam! Karena sesungguhnya tadi malam aku mendengar suara terompahmu di depanku di surga.’ Bilal radhiyallahu ‘anhu menjawab, ‘Tidak ada satu perbuatan pun yang pernah aku lakukan, yang lebih kuharapkan manfaatnya dalam Islam dibandingkan dengan (harapanku terhadap) perbuatanku yang senantiasa melakukan shalat (sunat) yang mampu aku lakukan setiap selesai bersuci (wudhu) dengan sempurna di waktu siang ataupun malam.’ (HR. Muslim).

Orang pertama yang mengumandangkan adzan: Dari Zaid bin Arqam berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

نعم المرء بلال، هو سيد المؤذنين، ولا يتبعه إلا مؤذن، والمؤذنون أطول الناس أعناقًا يوم القيامة

“Iya, orang itu adalah Bilal, pemuka para muadzin dan tidaklah mengikutinya kecuali para muadzin. Para muadzin adalah orang-orang yang panjang lehernya di hari kiamat.”

Orang pertama yang menampakkan keislaman: Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu berkata, “Ada tujuh orang yang pertama-tama menampakkan keislamannya: (1) Rasulullah, (2) Abu Bakar (3) Ammar dan, (4) ibunya Sumayyah, (5) Shuhaib, (6) Bilal, (7) Miqdad. Rasulullah dilindungi oleh pamannya dan Abu Bakar dilindungi oleh kaumnya. Adapun selain keduanya disiksa oleh orang-orang musyrik Quraisy, mereka dipakaikan pakaian dari besi lalu dijemur di terik matahari. Mereka semua yang disiksa akhirnya menuruti apa yang diinginkan kafir Quraisy (mengucapkan kalimat kufur walaupun keimanan tetap berada di hati mereka) kecuali Bilal, ia menundukkan dirinya di jalan Allah…”

Wafatnya Bial

Ketika ajal telah dekat, Bilal memanggil istrinya dan berkata, “Alangkah gembiranya aku, besok aku akan berjumpa dengan kekasihku, Rasulullah dan sahabatnya.”

Bilal wafat di Damaskus pada tahun 20 H. Saat itu ia berusia 60 sekian tahun.

Semoga Allah merahmati dan meridhaimu wahai muadzin Rasulullah..