Kisah Ummu Rumman – Istri dari Ash-Shiddiq dan Ibunda dari Ash-Shiddiqah

Madrasah Muslimah – Beliau adalah putri dari Amir bin Uwaimar bin Abdi Syams bin Itab bin Adzinah bin Subai’ bin Dahman bin Haris bin Ghanam bin Malik bin Kinanah. Tentang nama asli beliau, ada perbedaan pendapat; ada yang mengatakan Zainab, ada pula yang mengatakan Da’ad.

Ummu Rumman tumbuh di Jazirah Arab, di satu daerah yang disebut “As-Sarah”. Beliau adalah seorang wantia yang cantik, memiliki adab, dan fasih lidahnya. Pada mulanya, beliau dinikahi oleh seorang pemuda yang terpandang pada kaumnya, yang bernama Al-Haris bin Sakhirah Al-Azdi, kemudian melahirkan seorang anak yang bernama Thufail.

Suami beliau ingin tinggal menetap di Mekkah maka dia melakukan perjalanan dengan beliau dan juga putranya menuju ke sana. Telah menjadi kebiasaan bangsa Arab bahwa Al-Haris harus mengikuti perjanjian dengan salah satu orang yang terpandang yang akan melindungi dirinya, maka dia mengikat perjanjian dengan Abdullah bin Abi Quhafah (Abu bakar Ash-Shiddiq). Hal itu terjadi sebelum datangnya Islam.

Setelah berlalu beberapa lama, wafatlah Al-Haris bin Sakhirah, maka tiada yang dilakukan oleh Abu Bakar melainkan melamar Ummu Rumman sebagaimana yang menjadi kebiasaan ketika itu sebagai bukti memuliakan sahabatnya setelah kematiannya. Ummu Rumman menerima lamaran Abu Bakar sebagai suami yang mulia yang mau menjaganya setelah suaminya yang pertama wafat.

Sebelumnya, Abu Bakar telah menikah dan telah memiliki anak bernama Abdullah dan Asma’, kemudian pernikahannya dengan Ummu Rumman melahirkan dua orang anak yang bernama Abdurrahman dan Aisyah Ummul Mukminin.

Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus, Abu Bakar adalah laki-laki pertama yang beriman kepada beliau. Selanjutnya, melalui perantaraan dakwahnya, berimanlah beberapa laki-laki. Kemudian, beliau juga mendakwahi istrinya. Ummu Rumman yang mana beliau berdialog dengannya dan mengajaknya kepada kebaikan yang diinginkan pula oleh jiwanya, maka berimanlah Ummu Rumman bersama beliau. Akan tetapi, beliau meminta agar Ummu Rumman merahasiakan urusan tersebut hingga datangnya keputusan dari Allah tentang urusan tersebut.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sering mondar-mandir ke rumah Abu Bakar Ash-Shiddiq dari waktu ke waktu, maka Ummu Rumman dapat menjumpainya dengan gembira dan senang hati, beliau menjamunya dengan sebaik-baik jamuan dan menyediakan untuk beliau segala sarana istirahat dan bersenang-senang.

Begitulah, rumah Abu Bakar menjadi tempat tinggal yang mulia bagi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan rumah yang islami dan baik. Adapun Ummu Rumman adalah profil wanita salehah yang berdiri di samping suaminya untuk meringankan penderitaannya, membantunya di saat-saat sulit, dan melewati rintangan keras yang menimpa kaum muslimin pada permulaan. Bahkan, beliau secara maksimal membantu suaminya dengan mendorong semangatnya dan mendorong agar suaminya mencurahkan segenap kemampuannya di jalan dakwah Islam untuk memenangkan kebenaran serta berjuang demi memerdekakan kebanyakan kaum muslimin yang tertindas.

Dilihat dari sisi lain, Ummu Rumman adalah ibu yang penuh kasih dalam mendidik putra-putrinya, yakni Abdurrahman dan Aisyah, dengan didikan terbaik dan menjaga keduanya dengan sebaik-baiknya.

Tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam datang untuk melamar Aisyah sebagai tanda ketaatan terhadap perintah Allah ta’ala maka bergembiralah Ummu Rumman dengan kebahagiaan yang tiada tara karena mendapatkan hubungan mertua dan menantu yang mulia, dan tidak ada kemuliaan yang lebih darinya.

Bersamaan dengan semakin kerasnya gangguan dari kaum musyrikin terhadap kaum muslimin dan memuncaknya kekejaman serta kezhaliman mereka maka Allah subhanahu wa ta’ala mengizinkan kaum muslimin untuk hijrah ke Madinah. Lalu, tinggallah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama keluarga dan para sahabat serta Abu Bakar yang bersama keluarganya yang menunggu perintah dari Allah subhanahu wa ta’ala untuk berhijrah.

Kemudian datanglah perintah dan kemudian berhijrahlah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan ditemani Abu Bakar. Setelah itu, yang masih tinggal di Mekkah di antaranya adalah Ummu Rumman yang memikul tanggung jawab yang besar dengan menanggung kesombongan orang-orang jahiliah yang juga mengancam dan menakut-nakuti dirinya. Asma’ binti Abu Bakar berkata, “Tatkala Abu Jahal bin Hisyam keluar kemudian berdiri di depan pintu, aku pun keluar menemui mereka. Mereka berkata, ‘Di manakah bapakmu, wahai anak Abu bakar?’ Aku (Asma’) menjawab, ‘Aku tidak tahu keberadaan ayahku.’ Maka Abu Jahal yang dikenal bengis dan kejam mengangkat tangannya kemudian menampar pipiku hingga jatuhlah anting-antingku.”

Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sahabatnya sampai dan menetap di Madinah, beliau mengutus Zaid bin Haritsah bersama Abu Rafi’, dan Abu Bakar mengutus Abdullah bin Uraiqath untuk menjemput keluarganya. Kebetulan, mereka berpapasan dengan Thalhah yang hendak berhijrah. Akhirnya, mereka bersama-sama hijrah ke Madinah. Mereka bertemu dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan juga orang-orang yang beriman di Madinah.

Di Madinah itulah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tinggal seatap dengan Aisyah. Adanya ikatan perkawinan yang baru tersebut merupakan salah satu penyebab kuatnya hubungan antara dua rumah tangga yang mulia, dan hal itu juga membesarkan hati Ummu Rumman karena beliau melihat betapa sayang dan cintanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Aisyah, begitu pula menjadi leluasa bagi beliau untuk kembali ke rumah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menambah bekal dari mata air nubuwwah yang jernih.

Kesedihan Ummu Rumman atas putrinya

Hari-hari berputar hingga terjadilah suatu peristiwa yang di luar perhitungan, yaitu tatkala Aisyah Ummul Mukminin Ash-Shiddiqah binti Ash-Shiddiq dituduh dengan tuduhan dusta. Fitnah tersebut –yang disebarkan oleh seorang pendusta dan pesuruh munafik yang bernama Ibnul Salul– kemudian tersebar dari mulut ke mulut hingga Ummu Rumman mendengar dusta yang mereka katakan dan berita yang tersebat tersebut. Bahkan, beliau pingsan karena hebohnya isu yang beliau dengar. Akan tetapi, tatkala beliau tersadar, beliau merahasiakan kabar tentang putrinya tersebut karena kasih sayangnya dan beliau memohon kepada Allah agar melepaskan tuduhan yang ditujukan kepada putrinya.

Tatkala Allah menghendaki Aisyah mengetahui isu yang telah tersebar dari mulut ke mulut –beliau mendengar dari Ummu Masthah bin Atsatsah– beliau langsung kembali ke rumah ayahnya untuk mengadukan dan menangis serta menyalahkan ibunya karena menyembunyikan urusan itu.

Berkatalah Ummu Rumman, sedangkan di pipinya menetes air mata, “Wahai putriku, ringankanlah urusan ini bagimu …. Demi Allah, tiada seorang wanita pun yang bersuamikan seseorang yang mencintainya sedangkan dia memiliki madu, melainkan pastilah akan banyak cobaan dari manusia.”

Maka Allah menjawab suara hati dari seorang mukminah dan shadiqah tersebut, hingga turunlah ayat yang membebaskan Ash-Shiddiqah Ummul Mukminin dari tuduhan dusta. Ayat yang senantiasa dibaca dan bernilai ibadah bagi siapa saja yang membacanya hingga hari kiamat,

إِنَّ الَّذِينَ جَاؤُوا بِالْإِفْكِ عُصْبَةٌ مِّنكُمْ لَا تَحْسَبُوهُ شَرّاً لَّكُم بَلْ هُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ

“Sesungguhnya, orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga. Janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu, bahkan ia adalah baik bagi kamu ….” (Q.s. An-Nur:11)

Sungguh, masa tersebut adalah masa yang paling pahit yang dialami oleh Ummu Rumman dalam hidupnya, sehingga hal itu berpengaruh besar pada diri beliau yang menyebabkan beliau sakit, maka Aisyah merawatnya selama beberapa waktu untuk berkhidmat kepada beliau, hingga Allah subhanahu wa ta’ala melewatkannya.

Rasulullah mengunjungi kuburnya dan memohonkan ampun kepada Allah baginya kemudian berdoa,

اَللَّهُمَّ إِنَّكَ تَعْلَمُ مَا لَقِيَتْ أُمُّ رُ وْمَانٍ فِيْك وَفِي رَسُولِك

“Ya Allah, sesungguhnya Engkau Mahatahu apa yang telah dikerjakan oleh Ummu Rumman karena-Mu dan Rasul-Mu.”

Semoga Allah meridhai Ummu Rumman karena beliau termasuk rombongan pertama yang masuk Islam, menegakkan seluruh hal yang menjadi konsekuensi iman. Beliau berhijrah, bersabar dan menghadapi ujian dakwah karena Allah.

Kisah Raja Najasyi (Ashhamah bin Jabar)

Kisah Raja Najasyi (Ashhamah bin Jabar)

Najasyi bisa dikatakan tabi’in, bisa juga dikatakan sebagai sahabat. Hubungannya dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berlangsung melalui surat-menyurat. Ketika beliau wafat, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat gaib untuknya, shalat yang belum pernah beliau lakukan sebelumnya.

Dialah Ashhamah bin Abjar yang dikenal dengan sebutan “An-Najasyi“. Marilah, pada kesempatan yang penuh berkah ini, sejenak kita telusuri kehidupan seorang tokoh besar kaum muslimin ini.

Ayah Ashamah adalah raja negeri Habasyah, dan dia tidak memiliki anak melainkan beliau. Kondisi ini dipandang kurang baik untuk masa depan negeri itu. Sebagian tokoh Habasyah saling berbisik, “Raja kita hanya memiliki seorang putra. Dia hanya menyusahkan. Dia akan mewarisi takhta bila raja wafat dan mengantar kita ke arah kebinasaan. Lebih baik, kita bunuh Sang Raja dan kita angkat saudaranya menjadi raja baru. Dia memiliki 12 putra yang membelanya semasa hidup dan menjadi pewarisnya bila meninggal.”

Dengan gencar, setan membisik dan memprovokasi mereka hingga mereka membunuh raja dan mengangkat saudaranya untuk menggantikannya.

Kini, Ashamah diasuh oleh pamannya. Dia tumbuh menjadi pemuda yang cerdas, penuh semangat, ahli berargumen, dan berkepribadian luhur. Ia menjadi andalan pamannya dan diutamakan, lebih daripada anak-anaknya sendiri.

Namun, setan kembali memprovokasi para pembesar Habasyah. Mereka kembali berembuk. Di antara mereka berkata, “Kita khawatirkan bila kerajaan ini jatuh ke tangan pemuda itu, pastilah dia akan membalas dendam atas kematian ayahandanya dahulu.”

Akhirnya, mereka menghadap raja dan berkata, “Tuanku, kami tidak bisa merasa aman dan tenteram bila Tuan belum membunuh Ashamah atau menyingkirkannya dari sini. Dia telah beranjak dewasa dan kami khawatir dia akan balas dendam.”

Mendengar permintaan tersebut, Raja sangat murka dan berkata, “Sejahat-jahat kaum adalah kalian! Dahulu kalian membunuh ayahnya dan sekarang kalian memintaku untuk membunuhnya pula. Demi Allah, aku tak akan melakukannya!”

Mereka berkata, “Kalau begitu kami akan mengasingkannya dari negeri ini.” Sang Raja tak berdaya menghadapi tekanan dan paksaan para pejabat yang jahat itu.

Tak lama setelah diusirnya Ashamah, tiba-tiba terjadi peristiwa di luar dugaan. Badai mengamuk disertai guntur dan hujan lebat. Sebatang pilar istana roboh menimpa Sang Raja yang sedang berduka akibat kepergian keponakannya. Beberapa waktu kemudian, dia wafat.

Rakyat Habasyah berunding untuk memilih raja baru. Mereka mengharapkan salah satu dari dua belas putra Raja, namun ternyata tak ada satu pun dari mereka yang layak menduduki takhta. Mereka menjadi cemas dan gelisah, terlebih setelah mendapati bahwa negeri-negeri tetangga menunggu kesempatan untuk menyerang. Kemudian, ada salah seorang di antara mereka berkata: “Demi Allah, tak ada yang patut menjadi pemimpin kalian kecuali pemuda yang kalian usir itu. Jika kalian memang peduli dengan negeri Habasyah, carilah dia dan pulangkanlah dia!”

Mereka pun bergegas mencari Ashamah dan membawanya pulang ke negerinya. Lalu, mereka meletakkan mahkota di atas kepalanya dan membai’atnya sebagai raja. Mereka memanggilnya dengan Najasyi. Dia memimpin negeri secara baik dan adil. Kini, Habasyah diliputi kebaikan dan keadilan setelah sebelumnya didominasi oleh kezaliman dan kejahatan.

Saat yang bersamaan dengan naiknya Najasyi menduduki takhta di Habasyah, di tempat lain, Allah subhanahu wa ta’ala mengutus Nabi-Nya, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk membawa agama yang penuh hidayah dan kebenaran, satu per satu assabiqunal-awwalun memeluk agama ini.

Kaum muslimin meminta suaka ke Raja Najasyi
Orang-orang Quraisy mulai mengganggu dan menganiaya mereka. Ketika Mekkah sudah terasa sesak bagi kaum muslimin karena gencarnya tekanan-tekanan musyrikin Quraisy, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Di negeri Habasyah bertakhta seorang raja yang tidak suka berlaku zalim terhadap sesama. Pergilah kalian ke sana dan berlindunglah di dalam pemerintahannya, sampai Allah subhanahu wa ta’ala membukakan jalan keluar dan membebaskan kalian dari kesulitan ini.”

Maka, berangkatlah rombongan muhajirin pertama dalam Islam yang berjumlah 80 orang ke Habasyah. Di negeri baru itu, mereka mendapatkan ketenangan dan rasa aman, bebas menikmati manisnya takwa dan ibadah tanpa gangguan.

Akan tetapi, pihak Quraisy tidak tinggal diam setelah mengetahui bahwa kaum muslimin bisa hidup tenang di Habasyah. Mereka segera berunding menyusun makar untuk menghabisi kaum muhajirin atau menarik mereka kembali ke Mekkah.

Mereka mengirimkan dua orang utusannya kepada Najasyi di Habasyah. Keduanya orang pilihan dan pandai berdiplomasi, yaitu Amru bin Ash dan Abdullah bin Abi Rabi’ah. Mereka berangkat dengan membawa hadiah-hadiah dalam jumlah besar untuk Najasyi dan para pejabat tinggi Habasyah yang dikenal menyukai barang-barang dari Mekkah.

Sesampainya di Habasyah, keduanya terlebih dahulu menjumpai para pejabat sambil menyuap mereka dengan hadiah-hadiah yang dibawa. Keduanya berkata, “Di negeri Anda, telah tinggal sejumlah pengacau dari kota kami. Mereka keluar dari agama nenek moyang dan memecah belah persatuan kami. Maka, jika nanti kami menghadap Najasyi dan membicarakan masalah ini, kami mohon Anda semua mendukung kata-kata kami untuk menentang agama mereka, tanpa bertanya. Kami adalah kaum mereka. Kami lebih mengenal siapakah mereka dan mengharapkan agar kalian sudi menyerahkan mereka kepada kami.”

Setelah memilih saat yang tepat, Amru bin Ash dan Abdullah bin Abi Rabi’ah menghadap Najasyi. Mereka terlebih dahulu sujud menyembah seperti yang biasa dilakukan orang-orang Habsyi. Najasyi menyambut keduanya dengan baik karena sebelumnya dia telah mengenal Amru bin Ash. Kemudian, tokoh Quraisy itu memberikan hadiah-hadiah yang indah disertai titipan salam dari para pemuka Quraisy yang dipimpin oleh Abu Sufyan.

Raja Najasyi menghargai hadiah-hadiah pemberian mereka. Kemudian, Amru mulai bicara, “Tuan, telah tiba di negeri Anda beberapa orang pengacau dari kaum kami. Mereka telah keluar dari agama kami dan tidak pula menganut agama Anda. Mereka mengikuti agama baru yang kami tidak mengenalnya begitu pula Anda. Kami berdua diutus oleh pemimpin kaum kami untuk meminta agar Tuanku mengembalikan mereka kepada kaumnya, karena kaumnyalah yang lebih tahu akibat yang dimunculkan oleh agama yang baru itu, berupa fitnah dan kekacauan yang mereka timbulkan.”

Najasyi menoleh kepada para penasihat istana dan meminta pendapat mereka. Mereka berkata, “Benar, Tuanku. Kita tidak tahu tentang agama baru itu dan tentunya kaum mereka lebih paham akan hal itu daripada kita.”

Najasyi berkata, “Tidak, demi Allah! Aku tidak akan menyerahkan mereka kepada siapa pun sebelum mendengarkan keterangan mereka sendiri dan mencari tahu tentang kepercayaan mereka. Bila mereka dalam kejahatan maka aku tidak keberatan untuk menyerahkan mereka kepada kalian. Namun kalau mereka dalam kebenaran, aku akan melindungi dan memelihara mereka selama mereka ingin tinggal di negeri ini. Demi Allah, aku tidak akan melupakan karunia Allah subhanahu wa ta’ala kepada diriku yang telah mengembalikan aku ke negeri ini karena ulah orang-orang yang keji.”

Kaum muslimin yang hijrah itu pun dipanggil Najasyi ke istana. Mereka menjadi bertanya-tanya, lalu saling bertukar pikiran sebelum berangkat. Di antara mereka ada yang berkata, “Apa jawaban kita nanti jika ditanya tentang agama kita?”

Yang lain menjawab, “Kita katakan saja perkara yang difirmankan Allah dalam kitab-Nya dan kita jelaskan segala yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang Rabb-nya.”

Berangkatlah mereka menuju istana. Di sana, mereka melihat Amru bin Ash dan Abdullah bin Abi Rabi’ah, sementara uskup-uskup Najasyi duduk berkeliling dengan pakaian kebesaran mereka dengan kitab-kitab yang terbuka di tangan. Kaum muslimin duduk di tempat yang telah disediakan setelah memberi salam secara Islam.

Amru bin Ash menoleh kepada mereka dan bertanya, “Mengapa kalian tidak sujud kepada Raja?” Mereka pun menjawab, “Kami tidak sujud kecuali kepada Allah subhanahu wa ta’ala.”

Najasyi menggeleng-gelengkan kepala karena kagum dengan jawaban itu. Dia memerhatikan mereka dengan pandangan simpati, lalu berkata, “Apa sebenarnya agama yang kalian anut? Kalian meninggalkan agama nenek moyang kalian dan tidak pula mengikuti agama kami.”

Setelah memohon izin, Ja’far menjawab, “Wahai Raja, sesungguhnya kami sama sekali tidak menciptakan agama baru. Akan tetapi, Muhammad bin Abdullah telah diutus oleh Rabb-nya untuk menyebarkan agama dan petunjuk yang benar serta mengeluarkan kami dari kegelapan menuju cahaya terang-benderang. Pada awalnya, kami adalah kaum yang hidup dalam kebodohan. Kami menyembah api, memutuskan hubungan keluarga, memakan bangkai, berlaku zalim, tidak menyayangi tetangga, dan yang kuat selalu menekan yang lemah. Dalam kondisi demikian, Allah subhanahu wa ta’ala mengutus rasul yang kami ketahui asal-usulnya, kami percayai kejujurannya, amanah, dan kesuciannya untuk menyeru kami kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan mengajak kami melakukan ibadah dan mengesakan-Nya. Dia memerintahkan agar kami menegakkan shalat, membayar zakat, berpuasa pada bulan Ramadan dan meninggalkan penyembahan terhadap berhala dan batu-batu. Beliau memerintahkan kepada kami agar senantiasa jujur dalam berbicara, menunaikan amanah, menyambung persaudaraan, dan menghargai darah. Beliau melarang kami berzina, bersaksi palsu, dan memakan harta anak yatim. Maka kami beriman dan mengikuti risalahnya serta menjalankan petunjuk yang beliau bawa.

Sekarang, kami hanya beribadah kepada Allah saja –tiada sekutu bagi-Nya–, mengharamkan segala sesuatu yang diharamkan bagi kami dan menghalalkan segala sesuatu yang dihalalkan. Akan tetapi, kaum kami memusuhi dan menyiksa kami agar kami kembali kepada agama nenek moyang, agar kami kembali menyembah patung-patung berhala setelah menyembah Allah subhanahu wa ta’ala. Mereka berlaku zalim dan menghalangi kami menjalankan agama, sehingga kami lari kemari untuk mencari tempat berlindung. Kami memilih negeri Anda dengan harapan tidak mendapatkan perlakuan yang zhalim di sini.”

Najasyi bertanya kepada Ja’far bin Abi Thalib, “Apakah kalian membawa sesuatu yang dibawa oleh Nabi itu tentang Rabb-nya?” Beliau menjawab, “Ya, ada.” Najasyi berkata, “Tolong bacakan untuk kami”

Najasyi bertanya kepada Ja’far bin Abi Thalib, “Apakah kalian membawa sesuatu yang dibawa oleh Nabi itu tentang Rabb-nya?” Beliau menjawab, “Ya, ada.” Najasyi berkata, “Tolong bacakan untuk kami”

Lalu Ja’far membacakan surat Maryam,

وَاذْكُرْ فِي الْكِتَابِ مَرْيَمَ إِذِ انتَبَذَتْ مِنْ أَهْلِهَا مَكَاناً شَرْقِيّاً. فَاتَّخَذَتْ مِن دُونِهِمْ حِجَاباً فَأَرْسَلْنَا إِلَيْهَا رُوحَنَا فَتَمَثَّلَ لَهَا بَشَراً سَوِيّاً. قَالَتْ إِنِّي أَعُوذُ بِالرَّحْمَن مِنكَ إِن كُنتَ تَقِيّاً. قَالَ إِنَّمَا أَنَا رَسُولُ رَبِّكِ لِأَهَبَ لَكِ غُلَاماً زَكِيّاً. قَالَتْ أَنَّى يَكُونُ لِي غُلَامٌ وَلَمْ يَمْسَسْنِي بَشَرٌ وَلَمْ أَكُ بَغِيّاً. قَالَ كَذَلِكِ قَالَ رَبُّكِ هُوَ عَلَيَّ هَيِّنٌ وَلِنَجْعَلَهُ آيَةً لِلنَّاسِ وَرَحْمَةً مِّنَّا وَكَانَ أَمْراً مَّقْضِيّاً. فَحَمَلَتْهُ فَانتَبَذَتْ بِهِ مَكَاناً قَصِيّاً. فَأَجَاءهَا الْمَخَاضُ إِلَى جِذْعِ النَّخْلَةِ قَالَتْ يَا لَيْتَنِي مِتُّ قَبْلَ هَذَا وَكُنتُ نَسْياً مَّنسِيّاً. فَنَادَاهَا مِن تَحْتِهَا أَلَّا تَحْزَنِي قَدْ جَعَلَ رَبُّكِ تَحْتَكِ سَرِيّاً

“Dan ceritakanlah (kisah) Maryam di dalam Alquran, yaitu ketika ia menjauhkan diri dari keluarganya ke suatu tempat di sebelah timur, maka ia mengadakan tabir (yang) melindunginya dari mereka; lalu Kami mengutus ruh Kami kepadanya maka ia menjelma di hadapannya (dalam bentuk) manusia yang sempurna. Maryam berkata, ‘Sesungguhnya aku berlindung kepada Rabb yang Maha Pemurah, jika kamu seorang yang bertakwa.’ Ia (Jibril) berkata, ‘Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang utusan Rabb-mu, untuk memberimu seorang anak laki-laki yang suci.’ Maryam berkata, ‘Bagaimana akan ada bagiku seorang anak laki-laki, sedang tidak pernah seorang manusia pun menyentuhku dan aku bukan (pula) seorang pezina?’ Jibril berkata, ‘Demikianlah. Rabb-mu berfirman, ‘Hal itu adalah mudah bagi-Ku; dan agar dapat Kami menjadikannya suatu tanda bagi manusia dan sebagai rahmat dari Kami; dan hal itu adalah suatu perkara yang sudah diputuskan.” Maka Maryam mengandungnya, lalu ia menyisihkan diri dengan kandungannya itu ke tempat yang jauh. Maka rasa sakit akan melahirkan anak memaksa ia (bersandar) pada pangkal pohon kurma; ia berkata, ‘Aduhai, alangkah baiknya aku mati sebelum ini, dan aku menjadi sesuatu yang tidak berarti, lagi dilupakan.’ Maka Jibril menyerunya dari tempat yang rendah, ‘Janganlah kamu bersedih hati, sesungguhnya Rabb-mu telah menjadikan anak sungai di bawahmu.’” (Q.s. Maryam:16–24)

Tampaklah, Najasyi menangis terharu mendengarnya, demikian pula uskup-uskup yang hadir di situ hingga kitab-kitab mereka basah oleh tetesan air mata.

Najasyi berkata kepada utusan Quraisy tersebut, “Apa yang mereka bacakan kepada kami dan apa yang dibawa oleh Isa ‘alaihissalam berasal dari sumber yang sama. Demi Allah, aku tidak akan menyerahkan mereka sama sekali kepada kalian selama aku masih hidup.” Kemudian dia bangkit dari singgasana dan pertemuan itu pun dibubarkan.

Keluarlah Amru bin Ash dengan gusar. Ia berkata kepada kawannya, “Demi Allah, Aku akan menghadap Najasyi lagi besok. Akan aku katakan sesuatu yang bisa membangkitkan amarahnya sampai ke dasar hatinya sehingga dia menghabisi mereka.”

Abdullah bin Abi Rabi’ah yang lebih lunak sikapnya berusaha mencegah, “Janganlah engkau melakukannya, wahai Amru! Bagaimana pun, mereka masih sanak famili kita meskipun berbeda paham dengan kita.”

Namun, Amru berkata, “Demi Allah, aku akan katakan bahwa mereka telah menyebutkan sesuatu yang buruk tentang Isa bin Maryam, mereka menyembunyikan sesuatu, mereka telah menuduh Isa, dan mengatakan bahwa Isa hanyalah seorang hamba.”

Sesuai yang direncakan, esok harinya Amru bin Ash menghadap kepada Najasyi dan berkata, “Tuanku, kemarin mereka telah menguraikan sesuatu tetapi menyembunyikan banyak hal lainnya. Mereka juga mengatakan bahwa Isa adalah hamba.”

Kaum muslimin kembali dipanggil ke istana. Mereka ditanya, “Apa yang kalian katakan tentang Isa bin Maryam?”

Ja’far menjawab, “Kami mengatakan sebagaimana yang dikatakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.”

Najasyi berkata, “Bagaimana kata-katanya?”

Ja’far menjawab, “Beliau berkata bahwa Isa adalah hamba dan utusan Allah. Dia merupakan kalimatullah yang diletakkan pada diri Maryam, seorang perawan suci.”

Najasyi berkata, “Demi Allah, tidak ada pendapat kalian yang salah tentang Isa ‘alaihis salam seujung rambut pun.“

Terdengar bisikan-bisikan para uskup yang terkesan mengingkarinya. Najasyi memandang mereka dengan tajam lalu berkata tegas, “Aku tidak peduli dengan apa yang kalian bisikkan!” Beliau berkata kepada Ja’far dan kawan-kawannya, “Kalian boleh tinggal dengan aman di negeriku. Barang siapa berani menganggu kalian, akan aku tindak dengan tegas. Aku tidak sudi disuap dengan segunung emas untuk menganggu seorang pun di antara kalian.”

Beliau perintahkan kepada pengawalnya, “Kembalikan hadiah-hadiah dari Amru bin Ash dan kawannya itu! Aku tidak membutuhkannya. Allah tidak menerima suap dariku ketika aku dikembalikan ke negeriku. Untuk apa aku menerima suap dari mereka ini?”

Hampir saja terjadi pertumpahan darah dengan keputusan najasyi
Negeri Habasyah bergolak. Para uskup yang tidak puas dengan keputusan itu menyebarkan isu bahwa Najasyi telah meninggalkan agamanya dan mengikuti agama baru. Mereka juga menghasut rakyat agar menggulingkan rajanya. Beberapa lama, rakyat Habasyah diguncang oleh dilema besar tersebut. Bahkan beberapa orang ingin membatalkan bai’atnya kepada Najasyi.

Melihat hal itu, Najasyi mengabarkan situasi negeri kepada Ja’far bin Abi Thalib dan menyerahkan dua buah kapal. Setelah siap menghadapi para pembangkang, dikatakannya kepada kaum muslimin, “Naiklah kalian ke kapal itu, amati perkembangannya. Bila aku kalah, pergilah ke mana kalian suka. Akan tetapi, kalau aku menang, kalian boleh kembali dalam perlindungan seperti semula.”

Selanjutnya, Najasyi mengambil sehelai kulit kijang dan menuliskan di atasnya, “Aku bersaksi bahwa tidak ada Ilah yang berhak disembah kecuali Allah dan Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya yang terakhir. Aku juga bersaksi bahwa Isa adalah hamba-Nya dan utusan-Nya, ruh-Nya, dan kalimat-Nya yang ditiupkan kepada Maryam.” Dipakainya tulisan itu di dada, kemudian dia mengenakan pakaian perangnya dan pergi bersama para prajuritnya.

Berdirilah Najasyi menghadapi para penentang-penentangnya. Dia berkata, “Wahai rakyat Habasyah, katakanlah, bagaimana perlakuanku terhadap kalian?” Mereka menjawab, “Sangat baik, Tuanku.” Najasyi berkata, “Lalu mengapa kalian menentangku?”

Mereka berkata, “Karena Anda telah keluar dari agama kita dan mengatakan bahwa Isa adalah seorang hamba.” Najasyi berkata, “Bagaimana menurut kalian sendiri?” Mereka menjawab, “Dia adalah putra Allah.”

Maka Najasyi mengeluarkan tulisan yang dipakainya di dada diletakkan di atas meja dan berkata: “Aku bersaksi bahwa Isa bin Maryam tidaklah lebih dari yang tertulis di sini.” Di luar dugaan, ternyata rakyat menerima dengan senang pernyataan Najasyi. Mereka membubarkan diri dengan lega.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam semakin percaya kepada Najasyi. Penghargaan Najasyi terhadap Muhajirin yang datang ke negerinya dan membuat mereka aman dalam perlindungannya, menggembirakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Apalagi setelah mendengar kecondongannya kepada Islam dan keyakinannya akan kebenaran Alquran. Hubungan Najasyi dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam semakin erat.

Memasuki tahun baru 7 Hijriah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkehendak untuk berdakwah kepada enam orang pemimpin negeri tetangga agar mau masuk agama Islam. Beliau menulis untuk mengingatkan mereka akan iman serta menasihatkan tentang bahaya syirik dan kekufuran. Maka beliau menyiapkan enam orang sahabat.

Terlebih dahulu, mereka mempelajari bahasa kaum yang hendak didatangi agar dapat menyelesaikan tugas dengan sempurna. Setelah siap, keenam shahabat tersebut berangkat pada hari yang sama. Di antara mereka ada Amru bin Umayah Adh-Dhamari yang diutus kepada Najasyi di negeri Habasyah.

Sampailah Amru bin Umayah Adh-Dhamari di hadapan Najasyi. Dia memberi salam secara Islam dan Najasyi menjawabnya dengan lebih indah serta menyambutnya dengan baik.

Setelah dipersilakan duduk di majelis Habasyah, Amru bin Umayah memberikan surat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Najasyi dan langsung dibacanya. Di dalamnya tertulis ajakan kepada Islam, disertai beberapa ayat Alquran. Najasyi menempelkan surat itu di kepala dan matanya dengan penuh hormat. Setelah itu, dia turun dari singgasana dan menyatakan keislamannya di depan hadirin. Selesai mengucapkan syahadat, dia berkata, “Kalau saja aku mampu untuk mendatangi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam niscaya aku akan duduk di hadapan beliau dan membasuh kedua kakinya.” Kemudian beliau menulis surat jawaban pendek kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berisi pernyataan menerima dakwahnya dan keimanan atas kenabiannya.

Selanjutnya, Amru bin Umayah menyodorkan surat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang kedua. Dalam surat itu Rasulullah minta agar Najasyi bertindak sebagai wakil untuk pernikahan beliau dengan Ramlah binti Abu Sufyan yang termasuk rombongan Muhajirin ke Habasyah.

Sepintas tentang Ummu Habibah

Sedangkan Ramlah –yang biasa dipanggil Ummu Habibah itu– memiliki lika-liku hidup yang berakhir dengan kebahagiaan. Meski sepintas, marilah kita simak perjalanannya.

Ramlah binti Abu Sufyan adalah salah satu penentang kepercayaan ayahnya, Sang Pemuka Quraisy itu. Dia menyatakan keimanannya kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya bersama suaminya, Ubaidullah bin Jahsy. Oleh karena itu, pasangan suami-istri ini termasuk yang mendapat gangguan dari orang-orang Quraisy.

Keduanya ikut dalam rombongan Muhajirin yang berlindung kepada Najasyi di Habasyah, demi mempertahankan dinullah. Seperti yang telah disaksikan, para Muhajirin itu mendapat pelayanan yang baik dan jaminan keamanan dari Najasyi sehingga terbayang dalam angan Ummu Habibah bahwa semua deritanya akan segera berlalu. Dia tidak tahu perihal sesuatu yang disembunyikan takdir untuknya.

Allah subhanahu wa ta’ala berkehendak menguji Ummu Habibah dengan ujian berat yang mampu mengguncang akal. Tidak disangka, Ubaidullah bin Jahsy menjadi murtad. Dia masuk agama Nasrani dan berbalik memusuhi Islam serta kaum muslimin. Pekerjaannya hanya duduk-duduk di tempat maksiat dan menjadi pemabuk berat. Bahkan, dia memberikan tawaran kepada Ummu Habibah, ikut agama Masehi seperti dirinya atau diceraikan.

Di hadapan Ummu Habibah, ada tiga pilihan yang sulit. Pertama, mengikuti suami dan menjadi seorang Nasrani, yang dengan demikian, dia akan dikutuk dunia dan akhirat. Kedua, kembali kepada ayahnya di Mekkah yang masih hidup dalam kemusyrikan. Ketiga, tetap di Habasyah, seorang diri dalam pengasingan bersama putrinya, Habibah.

Akhirnya, beliau mengutamakan ridha Allah subhanahu wa ta’ala di atas segala masalah dan bertekad tetap tinggal di Habasyah bersama Muhajirin lainnya sampai Allah subhanahu wa ta’ala menunjukkan jalan keluar.

Tak berselang lama, beliau merasakan duka cita, suaminya mati dalam keadaan mabuk. Setelah masa iddah-nya habis, datanglah pertolongan Allah untuknya.

Pagi itu amat cerah, saat terdengar suara ketukan di pintu rumah Ummu Habibah. Ketika dibuka, seorang wanita utusan Najasyi memberi salam dan berkata, “Tuanku Najasyi mengirimkan salamnya untuk Anda dan berpesan bahwa Muhammad Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah meminang Anda. Baginda Najasyi ditunjuk sebagai wakil untuk akad nikah. Maka bila Anda menerima pinangan itu, bersiaplah segera menunjuk pihak yang menjadi wali Anda.”

Betapa tidak terukur kebahagiaan Ummu Habibah. Beliau berkata kepada utusan tersebut, “Semoga Anda mendapatkan kebagiaan dari Allah, semoga Anda mendapatkan kebahagiaan dari Allah.” Kemudian Ummu Habibah berkata, “Aku menunjuk Khalid bin Sa’id bin Ash sebagai waliku karena dialah kerabatku yang terdekat di negeri ini.”

Begitulah, hari itu, istana Najasyi tampak semarak. Seluruh sahabat yang ada di Habasyah hadir untuk menyaksikan pernikahan Ummu Habibah dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Setelah segalanya siap, Najasyi mengucapkan tahmid dan berkata, “Amma ba’du, saya penuhi permintaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menikah dengan Ramlah binti Abu Sufyan. Saya berikan mahar sebagai wakil Rasulullah berupa empat ratus dinar emas berdasarkan sunnatullah dan sunah Rasul-Nya.”

Khalid bin Sa’id bin Ash sebagai wali Ummu Habibah berkata, “Saya terima permintaan Rasulullah dan saya nikahkan Ramlah binti Abu Sufyan yang memberi saya perwakilan dengan Rasulullah. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala memberkahi Rasul dan istrinya. “Selamat untuk Ramlah atas anugerah yang agung tersebut.”

Kerinduan ‘tuk berjumpa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam

Kemudian, Najasyi mempersiapkan dua buah kapal untuk mengantarkan Ummul Mukminin Ramlah binti Abi Sufyan dan putrinya, Habibah, beserta sisa-sisa kaum muslimin yang ada di Habasyah. Sejumlah rakyat Habasyah yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya turut bersama mereka. Mereka rindu untuk berjumpa langsung dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan shalat di belakang beliau. Rombongan tersebut dipimpin oleh Ja’far bin Abi Thalib.

Najasyi juga memberikan hadiah-hadiah kepada Ummu Habibah berupa wewangian mahal milik istri-istrinya, juga beberapa bingkisan untuk Rasulullah, di antaranya ada tiga batang tongkat Habasyah yang terbuat dari kayu-kayu pilihan. Di kemudian hari, satu tongkat itu dipakai oleh beliau sendiri, dan yang lain dihadiahkan kepada Umar bin Khathab dan Ali bin Abi Thalib. Bilal selalu membawanya bila berjalan di muka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tongkat tersebut juga biasa didirikan di hadapan Nabi (sebagai sutrah) ketika ditegakkan shalat. Yakni tatkala tempat-tempat yang tidak ada masjid atau bangunan lainnya atau di dalam perjalanan, dalam shalat-shalat id dan shalat istisqa.

Pada masa kekhalifahan Abu Bakar Ash-Shiddiq, Bilal yang memegang tongkat itu. Lalu pada zaman Umar bin Khathab dan Utsman bin Affan, tongkat tersebut beralih ke tangan Sa’ad Al-Qarazhi. Begitu seterusnya, berganti setiap pergantian khalifah.

Ada juga hadiah perhiasan-perhiasan, di antaranya ada cincin emas. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menerimanya tetapi tidak dipakai sendiri melainkan diberikan kepada Umamah, cucu dari putri beliau, Zainab, “Pakailah ini, wahai cucuku.”

Tidak berselang lama sebelum Fathu Makkah, Najasyi wafat, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil para sahabat untuk melakukan shalat ghaib. Padahal, Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam belum pernah shalat ghaib sebelum kematian Najasyi dan tidak pula setelahnya. Semoga Allah meridhai Najasyi dan menjadikan surga-Nya yang kekal sebagai tempat kembalinya. Sungguh, dia telah menguatkan kaum muslimin di saat mereka lemah, memberikan rasa aman di saat mereka ketakutan dan dia melakukan hal itu semata-mata karena mencari ridha Allah ta’ala.

Kisah Sumayyah binti Khayyat – Wanita Syahidah Pertama dalam Islam

Dialah Sumayyah binti Khayyat, hamba sahaya dari Abu Hudzaifah bin Mughirah. Beliau dinikahi oleh Yasir, seorang pendatang yang kemudian menetap di Mekkah, sehingga tak ada kabilah yang dapat membelanya, menolongnya, dan mencegah kezaliman atas dirinya. Dia hidup sebatang kara, sehingga posisinya sulit di bawah aturan yang berlaku pada masa jahiliah.

Begitulah Yasir mendapati dirinya menyerahkan perlindungannya kepada Bani Makhzum. Beliau hidup dalam kekuasaan Abu Hudzaifah, yang dia dinikahkan dengan budak wanita bernama Sumayyah, tokoh yang kita bicarakan ini, dan beliau hidup bersamanya serta tenteram bersamanya. Tidak berselang lama dari pernikahannya, lahirnya anak mereka berdua yang bernama Ammar dan Ubaidullah.

Tatkala Ammar hampir menjelang dewasa dan sempurna sebagai seorang laki-laki, beliau mendengar agama baru yang didakwahkan oleh Muhammad bin Abdullah kepada beliau. Berpikirlah Ammar bin Yasir sebagaimana yang dipikirkan oleh penduduk Mekkah, sehingga kesungguhan beliau dalam berpikir dan lurusnya fitrah beliau, menggiringnya untuk memeluk dinul Islam.

Ammar kembali ke rumah dan menemui kedua orang tuanya dalam keadaan merasakan lezatnya iman yang telah terpatri dalam jiwanya. Beliau menceritakan kejadian yang beliau alami hingga pertemuannya dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian menawarkan kepada keduanya untuk mengikuti dakwah yang baru tersebut. Ternyata, Yasir dan Sumayyah menyahut dakwah yang penuh berkah tersebut dan bahkan mengumumkan keislamannya. Sumayyah pun menjadi orang ketujuh yang masuk Islam.

Dari sinilah dimulainya sejarah yang agung bagi Sumayyah binti Khayyat, yang bertepatan dengan permulaan dakwah Islam dan sejak fajar terbit untuk yang pertama kalinya.

Penyiksaan kaum kafir Quraisy kepada Sumayyah binti Khayyat
Bani Makhzum mengetahui akan hal itu, karena Ammar dan keluarganya tidak memungkiri bahwa mereka telah masuk Islam, bahkan mereka mengumumkan keislamannya dengan kuat sehingga orang-orang kafir tidak menanggapinya melainkan dengan pertentangan dan permusuhan.

Bani Makhzum segera menangkap keluarga Yasir dan menyiksa mereka dengan bermacam-macam siksaan agar mereka keluar dari din mereka, mereka memaksa dengan cara mengeluarkan mereka ke padang pasir tatkala keadaannya sangat panas dan menyengat. Mereka membuang Sumayyah ke sebuah tempat dan menaburinya dengan pasir yang sangat panas, kemudian meletakkan di atas dadanya sebongkah batu yang berat. Akan tetapi, tiada terdengar rintihan atau pun ratapan, melainkan ucapan, “Ahad … Ahad ….” Sumayyah binti Khayyat ulang-ulang kata tersebut sebagaimana yang dilakukan oleh Yasir, Ammar, dan Bilal.

Suatu ketika, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyaksikan keluarga muslim tersebut yang tengah disiksa dengan kejam, maka beliau menengadahkan ke langit dan berseru,

صَتْرًاآلَ يَاسِرٍفَإِ نِّ مَوْعِدَكُمُ الْجَنَّةُ

“Bersabarlah, wahai keluarga Yasir, karena sesungguhnya tempat kembali kalian adalah surga.”

Sumayyah binti Khayyat mendengar seruan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka beliau bertambah tegar dan optimis. Dengan kewibawaan imannya, dia mengulang-ulang dengan berani, “Aku bersaksi bahwa engkau adalah Rasulullah dan aku bersaksi bahwa janjimu adalah benar.”

Begitulah, Sumayyah binti Khayyat telah merasakan kelezatan dan manisnya iman sehingga bagi beliau kematian adalah sesuatu yang remeh dalam rangka memperjuangkan akidahnya. Hatinya telah dipenuhi kebesaran Allah subhanahu wa ta’ala, maka dia menganggap kecil setiap siksaan yang dilakukan oleh para tagut yang zalim; mereka tidak kuasa menggeser keimanan dan keyakinannya, sekalipun hanya satu langkah semut.

Sementara Yasir telah mengambil keputusan sebagaimana yang dia lihat dan dia dengar dari istrinya,Sumayyah binti Khayyat pun telah mematrikan dalam dirinya untuk bersama-sama dengan suaminya meraih kesuksesan yang telah dijanjikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Tatkala para tagut telah berputus asa mendengar ucapan yang senantiasa diulang-ulang oleh Sumayyah binti Khayyat maka musuh Allah Abu Jahal melampiaskan keberangannya kepada Sumayyah dengan menusukkan sangkur yang berada dalam genggamannya kepada Sumayyah binti Khayyat. Terbanglah nyawa beliau dari raganya yang beriman dan suci bersih. Beliau adalah wanita pertama yang syahid dalam Islam. Beliau gugur setelah memberikan contoh baik dan mulia bagi kita dalam hal keberanian dan keimanan, beliau telah mengerahkan segala yang beliau miliki dan menganggap remeh kematian dalam rangka memperjuangkan imannya. Beliau telah mengorbankan nyawanya yang mahal, dalam rangka meraih keridhaan Rabbnya. Mendermakan jiwa adalah puncak tertinggi dari kedermawanan.

Kisah ‘Amr bin Al-Jamuh

Kisah ‘Amr bin Al-Jamuh

Buah-buah perjuangan Islam mulai tampak di Madinah. Inilah Mush’ab bin Umair radhiyAllahu ‘anhu dikerubungi sejumlah pemuda Yatsrib yang menjadi kota yang baik dan bersinar, tidak seperti sebelumnya, buruk dan gelap. Lebih-lebih menjadi kota Rasulullah ShallAllahu ‘alaihi wasallam.

Disekitar Mush’ab, duduklah Khallad, Mu’adz, dan Mu’awwadz, anak-anak ‘Amr bin Al-Jamuh, tuan bani Salamah. Diantara mereka juga terdapat Mu’adz bin Jabal radhiyAllahu ‘anhu. Mereka mendengarkan Mush’ab bin Umair mengajarkan agama Islam dan membaca Alquran. Akan tetapi, anak-anak ‘Amr bin Al-Jamuh merasa sedih karena ayah mereka (‘Amr bin Al-Jamuh), tuan bani Salamah, masih berada dalam kekafirannya. Ia menyembah berhala yang dinamakannyya Manaf. Ia tidak hanya mencintai berhalanya bahkan sangat perhatian kepadanya. Ia menjadikan temapat khusus baginya di salah satu pojok rumah. Tidak boleh ada yang masuk tempat khusus itu, kecuali dirinya sendiri.

Setiap ingin melakukan sesuatu ia masuk di tempat khusus tersebut, bersujud dan meminta berkah darinya.

Melihat keadaanya seperti itu, .anak-anaknnya ingin menunjukkannya jalan yang benar dan mengajaknya masuk agama Islam. Ibu mereka sebenarnya telah masuk Islam, namun secara sembunyi-sembunyi: dan Allah mengabulkan keinginan mereka ini, namun dengan cara yang lembut, indah, dan menakjubkan.

‘Amr bin Al-Jamuh adalah tuan diantara sejumlah tuan di Yatsrib yang masih kafir. Anak-anak dan istrinya merahasiakan Islam yang telah mereka pegang. ‘Amr mendengar apa yng dikatakan Mush’ab dan yang di dakwahkannya, maka ‘Amr mengutus seseorang untuk bertanya kepada Mush’ab : “ Apa yang kamu bawa kepada kami?”

Mush’ab berkata : “ Jika kamu mau, maka kami akan datang  kepadamu dan memperdengarkan kepadamu.” Mereka pun membuat perjanjian untuk bertemu pada suatu hari.

Pertemuan antara Mush’ab dan ‘Amr pada awalnya tampak kering dan keras. Akan tetapi, Mush’ab bersabar, karena ia hanya berniat menunjukkan manusia pada jalan yang lurus. Mush’ab membaca surat Yusuf :

“ Alif lam ra. Ini adalah ayat-ayat kitab (Alquran) yang nyata (dari Allah). Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Alquran dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya.”(QS. Yusuf [12]: 1-2)

Ayat ini membuat ‘Amr bin Al-Jamuh takjub. Akan tetapi, ia masih mencintai berhalanya dan tidak memutuskan suatu perkara pun tanpa terlepas darinya. Oleh karena itu, Mush’ab berkata : “ Sesungguhnya aku memiliki cara yang tepat untuk membuatnya takluk pada Islam.”

‘Amr bin Al-Jamuh kembali pada berhalanya, lalu bersujud kepadanya. Ia berkata : “ Wahai Manaf, kamu  mengetahui apa yang diinginkan orang-orang terhadapku, apakah kamu menolaknya?”

‘Amr bin Al-Jamuh meletakkan pedangnya di atas berhalanya. Kemudian meninggalkannya. Mu’adz, anaknya mengambil pedang tersebut dan menyembunnyikannya. Tujuannya agar ayahnya mengetahui bahwa berhala ini itdak menimbulkan manfaat atau mudharat, tidak juga menguasai  dirinya sendiri.

‘Amr bin Al-Jamuh datang. Setelah melihat pedang tidak ada, ia berkata : “ Dimanakah pedangku, wahai Manaf ? Celaka kamu! Kambing yang lemah saja mampu membela dirinya.”

Selanjutnya ia berkata lagi : “ Sesungguhnya aku besok akan pergi untuk melihat hartakku yang berada Alya, Madinah.” Ia berpesan kepada keluarganya agar memperlakukan berhalanya dengan baik.

Ia pun pergi ke Alya, maka anak-anaknya mendatangi berhala. Mereka mengikatnya dengan tali dan meletakkanya di lobang tanah yang digunakann penduduk Yatsrib sebagai tempat sampah dan kotoran mereka.

Beberapa lama kemudian ‘Amr bin Al-Jamuh pulang. Ia menuju berhalanya. Akan tetapi, betapa terkejutnya ketika berhala tersebut tidak ditemukannya, maka ia berteriak kepada keluarganya : “ Dimana Manaf ? Dimana Tuhanku yang aku cintai?” Namun tidak ada seorang pun yang menjawabnya.

‘Amr bersungguh-sungguh mencari berhalanya yang raib. Setiap sudut rumah dan tempat yang dicurigainya diamatinya dengan baik. Tidak ketinggalan juga rumah-rumah disekitarnya. Ia selalu menanyakan orang disekelilingnya : “  Tahukah kamu, dimana berhalaku? “ Akhirnya, ia menemukan sesembahannya itu tergeletak di tempat sampah. Baginya ini adalah hal yang tragis dan sangat menyedihkan.

‘Amr bin Al-Jamuh Masuk Islam

Ia mengambilnya, memandikannya, dan mengembalikannya ke tempat semula. Setelah itu ia bersujud kepadanya seraya berkata : “ Jika aku tahu orang yang melakukan perbuatan ini, maka aku akan membunuhnya.”

Pada malam ketiga, anak-anaknya mendatangi lagi berhala tersebut. Mereka mengikatnya dengan tali-tali pada bangkai anjing dan melemparkannya di sumur Bani Salamah yang menjadi tempat pembuangan kotoran dan sampah mereka. Untuk ketiga kalinya, ‘Amr bertanya kepada anak-anaknya : “ Bagaimana keadaan kalian ?”

Mereka menjawab : “ Baik, Allah telah meluaskan rumah kami dan mensucikannya dari kotoran.”

Selanjutnya, ‘Amr bin Al-Jamuh mendatangi berhalanya, namun dijumpai berhalanya tidak ada, lalu ia bertanya : “ Dimanakah ia?”

Merka menjawab : “ Ia berada disana. Lihatlah  di dalam sumur itu.”

‘Amr bin Al-Jamuh melihat berhalanya terlumuri kotoran lagi dan tidak mampu menolak gangguan terhadap dirinya, maka ‘Amr bin Al-Jamuh pun yakin bahwa berhalanya hanyalah batu yang tidak dapat mendatangkan manfaat atau menolak mudharat. Ia menjadi tahu bahwa keimanan lebih baik daripada kekufuran.

Ia berkata kepada anak-anaknya : “ Apakah kalian bersamaku ?”

Mereka menjawab :” Ya, engkau adalah tuan kami.”

‘Amr berkata : “ Sesungguhnya aku bersaksi di hadapan kalian bahwa aku beriman dengan apa yang diturunkan kepada Muhammad Shallallahu ‘alaihi wassallam.”

Lalu ia membaca syair :

Segala puji bagi Allah Yang Maha tinggi dan memiliki karunia

Sang Pemberi karunia dan rizqi

Dan Sang Pemilik agama ini

Dialah Yang menyelamatkanku

Sebelum aku berada dalam gelapnya kuburan

Demi Allah jika kamu Tuhan, kamu tidak akan mungkin tergeletak bersama anjing di dalam sumur bertahun-tahun

Setelah berada di Madinanh, Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam menngetahui ‘Amr sebagai orang yang terhormat dan punya pendapat yang baik. Pada suatu hari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Wahai Bani Salamah, siapakah tuanmu ?”

Mereka menjawab : “ Jadd bin Qais, tetapi kami melihatnya seorang yang kikir.”

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Penyakit apakah yang lebih buruk daripada kikir ? Tuanmu adalah orang yang putih, ‘Amr bin Al-Jamuh. Sesungguhnya sebaik-baik manusia dalam jahiliyah adalah sebaik-baik manusia dalam Islam.” Dengan demikian, ‘Amr bin Al-Jamuh radhiyallahu ‘anhu telah menjadi seorang tuan, baik sebelum maupun setelah masuk Islam.

‘Amr bin Al-Jamuh adalah seorang yang pincang. Karena itu, ia tidak dapat hadir dalam perang Badar bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Setelah pasukan Islam kembali dari perang, maka kisah-kisah kepahlawanan menambah kerinduan yang meluap-luap dalam hati orang-orang Islam untuk berperang. Orang-orang yang tidak ikut perang Badar ingin menambal ketertinggalannya itu, maka perang Uhud adalah tempat mereka memperoleh ganti apa yang sebelumnya mereka terlewatkan.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berseru kepada kaum muslimin : “ Bangkitlah menuju surga yang luasnya seluas langit dan bumi, disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa.”

‘Amr ingin keluar dalam perang Uhud, namun anak-anaknya melarang. Mereka berkata : “ Allah memaafkanmu.”

‘Amr datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata kepadanya : “ Sesungguhnya anak-anakku menahanku agar aku tidak keluar berrsamamu dalam perang. Demi Allah, aku ingin menginjak surga dengan kepincanganku ini.”

Rasulullah Shallllahu ‘alaihi wasallam bersabda : “ Adapun kamu, maka Allah telah memaafkan: tiada kewajiban jihad bagimu.”

Karena permintaan yang terus menerus dari ‘Amr, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pun bersabda kepada anak-anaknya : “ Tidak ada alasan bagi kalian untuk menghalanginya, karena barangkali Allah akan mengaruniakannya mati syahid. Karenanya, tinggalkan ia.”

Sementara itu istrinya, Hindun binti ‘Amr bin Hizam, berkata : “ Sungguh ia telah mengambil perisainya, kemudian berdoa kepada Allah : “ Ya Allah,, janganlah Engkau kembalikan aku dalam keluargaku.”

Demikian ‘Amr bin Al-Jamuh berangkat bersama dengan saudara kandung istrinya, ‘Abdullah bin ‘Amr bin Haram. Ikut bersama mereka berdua Khallad bin ‘Amr bin Al-Jamuh.

Pada awal perang, medan perang dikuasai pasukan Islam karena mereka taat pada perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan perintah pemimpin pasukan mereka, ‘Abdullah bin Jubair. Akan tetapi, para pemanah tidak menaati Rasulullah dan ‘Abddullah bin Jubair, sehingga pasukan Islam terdesak dan barisan Islam pun menjadi kacau tak terkendali.

Ketika itu ‘Amr bin Al-Jamuh berteriak : “ Demi Allah, sungguh aku rindu kepada surga.”  Ia bersama anaknya, Khallad, ikut menceburkan diri dalam peperangan yang hebat hingga keduanya mati syahid.

‘Amr bin Al-Jamuh menginjak surga  dengan kepincangannya seperti yang dia inginkan. Ia tidak kembali kepada keluarganya sebagaimana yang telah ia mohon  dari Allah sebelumnya dan Allah pun kini mengabulkannya.

Setelah perang, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam  melihatnya mati syahid dan tergeletak disamping jasad ‘Abdullah bin ‘Amr bin Hizam. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “ Kuburlah ;Amr bin Al-Jamuh bersama ‘Abdullah bin ‘Amr, karena keduanya telah salimg mencintai dengan tulus di dunia.”

Suatu saat pada masa pemerintahan Muawiyah, ada banjir bandang yang merusak kubur ‘Amr bin Al-Jamuh dan ‘Abdullah bin ‘Amr, maka orang-orang membuat kubur lain agar keduanya ditempatkan disitu. Jabir bin ‘Abdillah bin ‘Amr bin Hizam datang untuk melihat kedua mayat itu. Ia melihatnya seolah ‘Amr bin Al-Jamuh dan ‘Abdullah bin ‘Amr baru meninggal kemarin. Jasadnya tidak berubah sama sekali. Salah satu diantara keduanya ketika meninggal dalam keadaan terluka, sehingga tangannya menutupi lukanya dan dikuburkan  dalam keadaan yang seperti itu. Ketika tangan tersebut diangkat, tangan itu kembali lagi seperti semula menutupi luka di tubuh layaknya tangan orang yang masih hidup, padahal jarak antara perang Uhud dan waktu kejadian ini adalah empat puluh enam tahun.

Sesungguhnya kejadian di atas adalah fakta, bukan ilusi. Jasad orang-orang yang mati syahid tidak di makan tanah. Mereka hidup dan mendapatkan rizqi disisi Tuhannya.

Kisah Perang Mu’tah

Kisah Perang Mu’tah

Ketangguhan tiga panglima perang Mu’tah
Singkatnya, pasukan Islam yang berjumlah 3000 personel diberangkatkan. Ketika mereka sampai di daerah Ma’an, terdengar berita bahwa Heraklius mempersiapkan 100 ribu pasukannya. Selain itu, kaum Nasrani dari beberapa suku Arab pun telah siap dengan jumlah yang sama. Mendengar kabar demikian, sebagian sahabat mengusulkan supaya meminta bantuan pasukan kepada Rasulullah atau beliau memutuskan suatu perintah.

Abdullah bin Rawahah lantas mengobarkan semangat juang para Sahabat pada waktu itu dengan perkataannya, “Demi Allah, sesungguhnya perkara yang kalian tidak sukai ini adalah perkara yang kamu keluar mencarinya, yaitu syahadah (gugur di medan perang di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala). Kita itu tidak berjuang karena jumlah pasukan atau kekuatan. Kita berjuang untuk agama ini yang Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memuliakan kita dengannya. Bergeraklah. Hanya ada salah satu dari dua kebaikan: kemenangan atau gugur (syahid) di medan perang.”

Orang-orang menanggapi dengan berkata, “Demi Allah, Ibnu Rawahah berkata benar.”

Zaid bin Haritsah, panglima pertama yang ditunjuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian membawa pasukan ke wilayah Mu’tah. Dua pasukan berhadapan dengan sengit. Komandan pertama ini menebasi anak panah-anak panah pasukan musuh sampai akhirnya tewas terbunuh di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Bendera pun beralih ke tangan Ja’far bin Abi Thalib. Sepupu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ini berperang sampai tangan kanannya putus. Bendera beliau pegangi dengan tangan kiri, dan akhirnya putus juga oleh senjata musuh. Dalam kondisi demikian, semangat beliau tak mengenal surut, saat tetap berusaha mempertahankan bendera dengan cara memeluknya sampai beliau gugur oleh senjata lawab. Berdasarkan keterangan Ibnu Umar, salah seorang saksi mata yang ikut dalam perang itu, terdapat tidak kurang 90 luka di bagian tubuh depan beliau baik akibat tusukan pedang dan maupun anak panah.

Giliran Abdullah bin Rawahah pun datang. Setelah menerjang musuh, ajal pun menjemput beliau di medan peperangan.

Tsabit bin Arqam mengambil bendera yang telah tak bertuan itu dan berteriak memanggil para sahabat Nabi agar menentukan pengganti yang memimpun kaum muslimin. Maka, pilihan mereka jatuh pada Khalid bin Walid. Dengan kecerdikan dan kecemerlangan siasat dan strategi –setelah taufik dari Allah Subhanahu wa Ta’ala—kaum muslimin berhasil memukul Romawi hingga mengalami kerugian banyak.

Jumlah syuhada perang Mu’tah
Menyaksikan peperangan yang tidak seimbang antara kaum muslimin dengan kaum kuffar, yang merupakan pasukan aliansi antara kaum Nashara Romawi dan Nashara Arab, secara logis, kekalahan bakal dialami oleh para Sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Imam Ibnu katsir mengungkapkan ketakjubannya terhadap kekuasaan Allah Subhanahu wa Ta’ala melalui hasil peperangan yang berakhir dengan kemenangan kaum muslimin dengan berkata, “Ini kejadian yang menakjubkan sekali. Dua pasukan bertarung, saling bermusuhan dalam agama. Pihak pertama pasukan yang berjuang di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala, dengan kekuatan 3000 orang. Dan pihak lainnya, pasukan kafir yang berjumlah 200 ribu pasukan. 100 ribu orang dari Romawi dan 100 ribu orang dari Nashara Arab. Mereka saling bertarung dan menyerang. Meski demikian sengitnya, hanya 12 orang yang terbunuh dari pasukan kaum muslimin, padahal, jumlah korban tewas dari kaum musyirikin sangat banyak.” Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Allah berkata, “Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah? Dan Allah beserta orang-orang yang sabar.” (Q.S. Al-Baqarah: 249)

Para ulama sejarah tidak bersepakat pada satu kata mengenai jumlah syuhada Mu’tah. Namun, yang jelas jumlah mereka tidak banyak. Hanya berkisar pada angka belasan, menurut hitungan yang terbanyak. Padahal, peperangan Mu’tah sangat sengit. Ini dapat dibuktikan bahwa Khalid bin Walid menghabiskan 9 pucuk pedang dalam perang tersebut. Kesembilan pedang itu patah. Hanya satu pedang yang tersisa, hasil buatan Yaman.

Khalid berkata, “Telah patah sembilan pedang di tanganku. Tidak tersisa kecuali pedang buatan Yaman.” (HR. Al-Bukhari 4265-4266)

Menurut Imam Ibnu Ishaq – imam dalam ilmu sejarah Islam –, syuhada perang Mu’tah hanya berjumlah 8 sahabat saja. Secara terperinci, yaitu Ja’far bin Abi Thalib, dan mantan budak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam Zaid bin Haritsah Al-Kalbi, Mas’ud bin Al-Aswad bin Haritsah bin Nadhlah Al-Adawi, Wahb bin Sa’d bin Abi Sarh.

Sementara dari kalangan kaum Anshar, Abdullah bin Rawahah, Abbad bin Qais Al-Khazarjayyan, Al-Harits bin an-Nu’man bin Isaf bin Nadhlah an-Najjari, Suraqah bin Amr bin Athiyyah bin Khansa Al-mazini.

Di sisi lain, Imam Ibnu Hisyam dengan berlandaskan keterangan Az-Zuhri, menambahkan empat nama dalam deretan Sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang gugur di medan perang Mu’tah. Yakni, Abu Kulaib dan Jabir. Dua orang ini saudara sekandung. Diitambah Amr bin Amir putra Sa’d bin Al-Harits bin Abbad bin Sa’d bin Amir bin Tsa’labah bin Malik bin Afsha. Mereka juga berasal dari kaum Anshar. Dengan ini, jumlah syuhada bertambah menjadi 12 jiwa.

Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memudahkan kita untuk meneladani semangat juang mereka di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Meskipun kondisi berat lantaran jumlah personel yang sedikit, namun hal itu tidak mengendurkan langkah mereka untuk terus berjihad di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Wallahu a’lam.

Kisah Terbunuhnya Jin ‘Uzza

Kisah Terbunuhnya Jin ‘Uzza

أَخْبَرَنَا عَلِي بْنِ الْمُنْذِرِ قَالَ حَدَثَنَا بْن فُضَيْلٍ قَالَ حَدَثَنَا الْوَلِيْدُ بْنُ جميعٍ عَنْ أَبِي الطُفَيْلِ قَالَ : لمَاَّ فَتَحَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَمَّ مَكَّةَ بَعَثَ خَالِدَ بْنَ الْوَلِيْدِ إِلَى نخَلْةَ ٍوَكَانَتْ بِهَا الْعُزَّى فَأَتَاهَا خَالِدٌ وَكَانَتْ عَلَى ثَلَاثِ سَمُرَاتٍ فَقَطَعَ السَّمُرَاتِ وَهَدَمَ الْبَيْتَ الَّذِي كَانَ عَلَيْهَا ثُمَّ أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ فَأَخْبَرَهُ فَقَالَ ارْجِعْ فَإِنَّكَ لَمْ تَصْنَعْ شَيْئًا فَرَجَعَ خَالِدٌ فَلَمَّا أَبْصَرَتْ بِهِ السدنة وَهُمْ حجبتها أَمْعَنُوْا فِي الْجَبَلِ وَهُمْ يَقُوْلُوْنَ يَا عُزَّى فَأَتَاهَا خَالِدٌ فَإِذَا هِيَ امْرَأَةٌ عُرْيَانَةٌ ناَشِرَةُ شَعْرِهَا تَحْتَفِنُ التُّرَابَ عَلَى رَأْسِهَا فَعَمَمَهَا بِالسَّيْفِ حَتَّى قَتَلَهَا ثُمَّ رَجَعَ إِلَى النَّبِيِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ فَأَخْبَرَهُ فَقَالَ تِلْكَ العُزَّى

Dari Abu Al-Thufail, beliau bercerita, “Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menaklukkan kota Mekah, beliau mengutus Khalid bin al Walid ke daerah Nakhlah, tempat keberadaan berhala ‘Uzza. Akhirnya Khalid mendatangi ‘Uzza, dan ternyata ‘Uzza adalah tiga buah pohon Samurah. Khalid pun lantas menebang ketiga buah pohon tersebut. Ketiga buah pohon tersebut terletak di dalam sebuah rumah. Khalid pun menghancurkan bangunan rumah tersebut. Setelah itu Khalid menghadap Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan melaporkan apa yang telah dia kerjakan. Komentar Nabi, ‘Kembalilah karena engkau belum berbuat apa-apa.’ Akhirnya kembali. Tatkala para juru kunci ‘Uzza melihat kedatangan Khalid, mereka menatap ke arah gunung yang ada di dekat lokasi sambil berteriak, “Wahai ‘Uzza. Wahai ‘Uzza.” Khalid akhirnya mendatangi puncak gunung, ternyata ‘Uzza itu berbentuk perempuan telanjang yang mengurai rambutnya. Dia ketika itu sedang menuangkan debu ke atas kepalanya dengan menggunakan kedua telapak tangannya. Khalid pun menyabetkan pedang ke arah jin perempuan ‘Uzza sehingga berhasil membunuhnya. Setelah itu Khalid kembali menemui Nabi dan melaporkan apa yang telah dia kerjakan. Komentar Nabi, “Nah, itu baru ‘Uzza.” (HR. An-Nasa’I, Sunan Kubro no. 11547, jilid 6 hal. 474, terbitan Darul Kutub Ilmiyyah Beirut, cetakan pertama 1411 H.).

Banyak pelajaran penting yang bisa kita petik dari kisah di atas. Di antara bentuk dakwah adalah mengubah kemungkaran dengan tangan semisal dengan merusak simbol-simbol kemusyrikan dan paganisme. Kewenangan merusak tempat-tempat kemaksiatan dan kemusyrikan dengan senjata tajam adalah kewenangan penguasa yang memiliki otoritas dan kekuasan, bukan kewenangan rakyat sipil. Dalam kisah di atas kita jumpai Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam selaku penguasa menugasi Khalid bin Al-Walid untuk menghancurkan pusat kemaksiatan yang paling maksiat yaitu tempat kemusyrikan. Oleh karena itu, tindakan sebagian rakyat sipil yang kecemburuan dengan agamanya -namun sayang kurang terbimbing ajaran Islam yang benar- yang melakukan berbagai aksi kekerasan dengan senjata untuk menghancurkan berbagai tempat-tempat kemaksiatan adalah tindakan yang kurang tepat. Tentu tidaklah tepat menyamakan tindakan tersebut dengan tindakan Khalid bin Al-Walid di atas. Khalid memang mendapatkan mandat dan kewenangan dari penguasa –dalam hal ini adalah Nabi- untuk menghancurkan pusat kemaksiatan. Hal ini tentu berbeda dengan rakyat sipil.

Kisah di atas juga menunjukkan bahwa di antara tugas dan kewajiban seorang penguasa muslim adalah menghancurkan tempat dan pusat-pusat kemaksiatan, bukan malah melindunginya, terlebih lagi jika tempat tersebut adalah tempat kemaksiatan yang paling besar. Itulah kemusyrikan, sebuah dosa besar yang paling besar yang tidak akan Allah ampuni siapa saja yang mati dengan membawa dosa tersebut. Inilah di antara tugas dan kewajiban penguasa. Setiap penguasa muslim pasti akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah pada hari Kiamat. Apakah anda telah melaksanakan tugas anda untuk menghancurkan tempat-tempat kemaksiatan dan pusat-pusat kemusyrikan ataukah anda malah melindungi dan melestarikan tempat-tempat tersebut. Jawaban apakah yang telah anda siapkan, wahai para penguasa. Moga Allah memberi kami dan anda taufik untuk melakukan apa yang dicintai dan diridhai oleh-Nya.
Sungguh indah realita yang diceritakan oleh Imam Syafii,

عَنْ طَاوُسٍ: إِنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى أَنْ تُبْنَى القُبُوْرُ أَوْ تُجصَصُ (قَالَ الشََّافِعِيُّ) وَقَدْ رَأَيْتُ مِن الْوُلَاةِ مَنْ يَهْدِمُ بِمَكَّةَ مَا يُبْنَى فِيْهَا فَلَمْ أَرَ الْفُقَهَاءَ يُعِيْبُوْنَ ذَلِكَ

“Dari Thawus, sesungguhnya Rasulullah melarang membuat bangunan di atas kubur dan melarang mengapur kubur. Imam Syafii mengatakan, “Sungguh aku melihat sebagian penguasa yang menghancurkan bangunan yang dibangun di atas kubur di Mekah. Aku tidak melihat adanya ulama yang mencela tindakan para penguasa tersebut.” (Al-Ummu , Imam Syafii, jilid 1, hal. 316).
Kisah di atas menunjukkan bahwa setelah kaum muslimin memegang kekuasaan di suatu daerah dan penduduk daerah tersebut pun masuk Islam sebagaimana penduduk Mekah paska penaklukan kota Mekah, maka simbol-simbol kemusyrikan yang ada di daerah tersebut seharusnya dihancurkan, bukan malah dilestarikan dan dijadikan cagar budaya dengan alasan memelihara warisan nenek moyang agar anak cucu mengetahui dan masih bisa menyaksikan nilai peradaban leluhur kita. Dalam kisah di atas Nabi tidak melestarikan rumah ‘Uzza yang merupakan warisan nenek moyang Nabi sendiri namun Nabi malah memerintahkan untuk menghancurkannya dan meratakannya dengan tanah.

Kisah di atas menunjukkan bahwa jin itu bisa dibunuh oleh manusia dengan senjata tajam sebagaimana yang dilakukan oleh Khalid terhadap jin perempuan penunggu pohon ‘Uzza. Jika jin bisa terbunuh dengan pedang, apalagi jika dibunuh dengan menggunakan senjata api, pistol atau yang lainnya. Oleh karena itulah tidak benar pelajaran akidah yang diajarkan oleh televisi di negeri. Televisi mengajarkan bahwa jin adalah makhluk super sakti yang tidak bisa mati meski dengan AK 47 sekalipun. Ini adalah pelajaran akidah sesat yang diajarkan oleh televisi. Betapa banyak pemirsa yang menelan mentah-mentah akidah sesat ini. Sebuah akidah yang diajarkan oleh berbagai stasiun televisi di negeri kita.

Kisah di atas menunjukkan bahwa bentuk real dari ‘Uzza adalah pohon yang dikeramatkan. Bentuk mengeramatkannya adalah dengan membuat bangunan yang mengelilingi ketiga pohon keramat tersebut. Demikian pula, orang-orang Quraisy mengeramatkan dan memuja pohon tersebut dengan memberinya kelambu dan menghiasinya dengan berbagai tali dan kapas. (Fathul Majid li Syarh Kitab at Tauhid, jilid 1, hal 255-256).

Dengan demikian, tidaklah benar anggapan yang ada di benak banyak orang. Itulah anggapan bahwa ‘Uzza itu berbentuk patung. Oleh karena itu, berbagai pohon yang dipuja dan dikeramatkan oleh sebagian orang yang mengaku sebagai muslim pada hakikatnya adalah ‘Uzza-’Uzza zaman ini yang ada di sekeliling kita.

Kisah di atas menunjukkan bahwa adanya juru kunci untuk tempat-tempat yang dikeramatkan adalah sunah warisan jahiliah. Dalam kisah di atas termaktub bagi pohon keramat ‘Uzza itu memiliki beberapa juru kunci.
Seorang muslim yang baik seharusnya tidak memiliki rasa takut sedikit pun untuk menebang dan menghancurkan pohon keramat jika dia memiliki kekuasaan untuk menebang pohon keramat. Lihat bagaimana Khalid dengan gagah berani menebang dan menghancurkan pohon keramat ‘Uzza. Sehingga perasaan takut untuk menebang dan menghancurkan pohon kemusyrikan adalah suatu hal yang seharusnya tidak dimiliki oleh orang yang benar-benar beriman yang meneladani keimanan para sahabat. Allah pun telah mewajibkan kita dalam Al Quran untuk meneladani keimanan para sahabat Nabi radhiyallahu anhum. Kisah di atas adalah di antara contoh nyata keimanan para sahabat.

Adanya pohon yang dihuni oleh jin tertentu adalah suatu hal yang tidak kita ingkari sebagaimana ada jin perempuan yang menjadi penghuni pohon ‘Uzza. Namun tidak berarti kita memperlakukan secara khusus pohon semacam itu. Bahkan jika pohon tersebut pada akhirnya menjadi pohon sesembahan maka pohon tersebut seharusnya dihancurkan.

Biografi Khalid bin Walid radhiyallahu’anhu

Biografi Khalid bin Walid radhiyallahu’anhu

Segala puji hanya bagi Allah, shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada baginda Rasulullah, dan aku bersaksi bahwa tiada Tuhan yang berhak disembah dengan sebenarnya selain Allah yang Maha Esa dan tiada sekutu bagi-Nya dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya.. Amma Ba’du:

Tulisan ini adalah bagian kecil dari biografi seorang tokoh terkemuka umat ini, dia salah seorang pahlawan dan kesatria umat ini, dia salah seorang tokoh shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia, dan dari perjalanan hidupnya ini kita akan menggali berbagai pelajaran dan ibroh.

Shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini masuk Islam pada tahun kedelapan hijriyah dan telah terjun dalam puluhan peperangan.

Para sejarawan mencatat, dia tidak pernah kalah dalam satu peperanganpun baik pada saat jahiliyah atau setelah masuk Islam, dia berkata tentang dirinya, “Sungguh dengan tanganku ini telah terpotong sembilan pedang pada saat peperangan Mu’tah sehingga tidak tertinggal di tanganku kecuali sebuah pedang yang berasal dari Yaman.”

Hal ini membuktikan tentang keberaniannya yang brilian dan kekuatan besar yang telah dianugrahkan baginya oleh Allah pada jasadnya. Dan beliau adalah komando pasukan kaum muslimin pada perang yang masyhur yaitu perang Yamamah dan Yarmuk, dan beliau telah melintasi perbatasan  negeri Iraq menuju ke Syam dalam lima malam bersama para tentara yang mengikutinya. Inilah salah satu keajaiban komandan perang ini. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menggelarinya dengan sebutan pedang Allah yang terhunus, dan beliau memberitahukan bahwa dia adalah salah satu pedang Allah terhadap orang-orang musyrik dan kaum munafiq.

Dia adalah seorang kesatria, Khalid bin Walid bin Al-Mugiroh Al-Qurasy Al-Makhzumy Al-Makky, anak saudari ummul mukminin Maimunah binti Al-Harits radhiallahu ‘anhu, dia seorang lelaki yang kekar, berpundak lebar, bertubuh kuat, sangat menyerupai Umar bin Al-Khattab radhiallahu ‘anhu. Shahabat memiliki sikap kepahlawanan besar yang mencerminkan dirinya sebagai seorang pemberani dalam  membela agama ini, di antara cerita tentang kepahlawanan beliau adalah apa yang terjadi pada perang Mu’tah, pada tahun ke delapan hijriyah, pada tahun dia memeluk Islam. Jumlah tentara kaum muslimin pada saat itu sekitar tiga ribu personil sementara bangsa Romawi memilki dua ratus ribu personil, melihat tidak adanya keseimbangan jumlah tentara kaum muslimin di banding musuh mereka, terkuaklah sikap kesatria dan kepahlawanan kaum muslimin pada peperangan ini. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan agar pasukan dipimpin oleh Zaid bin Haritsah, dan jika dia terbunuh maka kepeminpinan berpindah kepada Ja’far bin Abi Thalib, dan jika terbunuh maka kepeminpinan digantikan oleh Abdullah bin Rawahah. Semua pemimpin di atas mati syahid pada peperangan ini, lalu bendera diambil alih oleh Tsabit bin Aqrom, dan dia berkata kepada kaum muslimin: Pilihlah seorang lelaki sebagai pemimpin kalian, maka mereka memilih Khalid bin Walid, maka pada peristiwa inilah tampak jelas keberanian dan kejeniusannya. Dia kembali mengatur para pasukan, maka dia merubah strategi dengan menjadikan pasukan sayap kanan berpindah ke sayap kiri dan sebaliknya pasukan sayap kiri berpindah ke sebelah kanan, kemudian sebagian pasukan diposisikan agak mundur, setelah beberapa saat mereka datang seakan pasukan batuan  yang baru datang, hal ini guna melemahkan semangat berperang musuh kemudian kesatuan tentara kaum muslimin terlihat menjadi besar atas pasukan kaum Romawi sehingga menyebabkan mereka mundur dan semangat mereka melemah. Dia radhiyallahu ‘anhu telah memperlihatkan berbagai macam bentuk keberanian dan kepahlawanan yang  tidak bisa tandingi oleh semangat para pahlawan. Selain itu, dengan keahliannya dan kecerdasannya dia mulai mengarahkan pasukan kaum muslimin untuk mundur secara teratur dengan cara yang unik, dan cukuplah  dengan pukulan yang seperti itu, dan beliau melihat agar pasukan kaum muslimin tidak terserang pada sebuah peperangan yang tidak sebanding. Dan Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut hal itu sebagai kemenangan dan beliau bersabda pada saat menyebut ketiga komandan yang gugur syahid kemudian bendera akan diambil oleh salah satu pedang Allah sehingga Allah memberikan kemenangan bagi kaum muslimin atas musuhnya.

Khalid juga ikut serta dalam peperangan melawan kaum yang murtad, beliau juga ikut berperang menuju Iraq, dan para ulama berbeda pendapat tentang  sebab dipecatnya Khalid sebagai komando perang di Syam, dan semoga yang benar adalah apa yang dikatakan oleh Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhu: Tidak, aku akan memecat Khalid sehingga masyarakat mengetahui bahwa sesungguhnya Allah membela agamanya tidak dengan Khalid.

Di antara ungkapannya yang agung adalah tidaklah sebuah malam di mana aku bersama seorang pengantin yang aku cintai lebih aku sukai dari sebuah malam yang dingin lagi bersalju dalam sebuah pasukan kaum muhajirin guna menyerang musuh.

Dia pernah menulis sebuah surat kepada kaisar Persia yang mengatakan, “Sungguh aku telah telah datang kepada kalian dengan pasukan yang lebih mencintai kematian sebagaimana orang-orang Persia menyenangi minum khamr.”

Qais bin Hazim berkata,  “Aku telah mendengar Khalid berkata, ‘Berjihad telah menghalangiku mempelajari Al-Qur’anul Karim.’”

Abu Zannad berkata, “Pada saat Khalid akan meninggal dunia dia menangis dan berkata, ‘Aku telah mengikuti perang ini dan perang ini bersama pasukan, dan tidak ada satu jengkalpun dari bagian tubuhku kecuali padanya terdapat bekas pukulan pedang atau lemparan panah atau tikaman tombak dan sekarang aku mati di atas ranjangku terjelembab sebagaimana matinya seekor unta. Janganlah mata ini terpejam seperti mata para pengecut. ‘“

Sungguh Khalaid mengharapkan mati syahid dan semoga Allah menyampaikannya pada derajat yang dicita-citakannya.

Dari Sahl bin Abi Umamah bin Hanif dari bapaknya dari kakeknya dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang meminta kepada Allah mati syahid dengan sebenarnya maka Allah akan menyampaikannya kepada derajat orang-orang yang mati syahid sekalipun dirinya mati di atas ranjangnya.”

Lalu pada saat wafat, dia tidak meninggalkan kecuali kuda, senjata dan budaknya yang dijadikannya sebagai sedekah dijalan Allah, pada saat berita kematian tersebut sampai kepada Amirul Mu’minin, Umar bin Al-Kattab dia berkata, “Semoga Allah meberikan rahmatnya kepada Abu Sulaiman, sesungguhnya dia seperti apa yang kami perkirakan.”

Dan disebutkan  di dalam hadits riwayat Umar bin Al-Khattab tentang zakat bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Adapun Khalid maka dia telah menyimpan baju besinya dan perlengkapan berperangnya di jalan Allah.”

Dia wafat pada tahun 21 H. di Himsh pada usia 52 tahun, semoga Allah memberikan kepada Khalid balasan yang lebih baik dan semoga Allah mempertemukan kita dengannya surga yang mulia, dan segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam, semoga shalawat dan salam tetap tercurahkan kepada Nabi kita Muhammad dan kepada keluarga, shahabat serta seluruh pengikut beliau.

Biografi Abu Bakar radiyallahu ‘anhu, Ash-Shiddiqul Akbar

Abu Bakar radiyallahu ‘anhu

Biografi Abu Bakar radiyallahu ‘anhu, Ash-Shiddiqul Akbar

Beliau adalah Abdullah bin Utsman bin Amir bin Amr bin Ka’ab bin Sa’ad bin Taim bin Murrah bin Ka’ab bin Luay bin Ghalib Al-Qurasyi At-Taimy. Nasab beliau bertemu dengan nasabnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada kakek keenam yaitu Murrah bin Ka’ab.

Bapak beliau, Utsman bin Amir, akrab dipanggil Abu Quhafah. Ibu beliau adalah Ummul Khair yaitu Salma binti Shohr bin Amir. Berarti sang ibu adalah putrid pamannya (sepupu) bapak. Beliau dilahirkan dua tahun enam bulan setelah Tahun Gajah.

Di masa jahiliah Abu Bakar dikenal sebagai seorang yang jujur, berakhlak mulia, dan mahir dalam berdagang. Hal ini diketahui oleh semua manusia sehingga beliau sering didatangi para pemuda Quraisy untuk diminta keterangan tentang ilmu pengetahuan, strategi berdagang, dan sopan santunnya. Selain itu, beliau juga termasuk salah satu dari ahli nasab Quraisy hingga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengatakan,

“Sesungguhnya Abu Bakar adalah seorang Quraisy yang paling mengetahui tentang nasab mereka.” (HR. Muslim, 2490)

Bahkan Abu Bakar tidak pernah meminum Khamer sampaipun di masa jahiliah. Tatkala beliau ditanya, beliau menjawab, “Aku adalah orang yang menjaga kehormatan dan menjaga muru’ah, siapa yang meminum Khamer maka berarti dia telah melalaikan kehormatan dan muru’ahnya.” (Lihat Tarikh Al-Khaulafa, 49)

Ketika cahaya Islam menerangi bumi Makkah dibawa oleh seorang Al-Amin (yakni Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam), maka Abu Bakar radiyallahu ‘anhu menyambut baik hidayah Islam, bahkan beliau adalah orang pertama yang masuk Islam dari kalangan kaum laki-laki yang merdeka.

Sahabat Ammar bin Yasir bercerita, “Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  di Makkah dan tidakkah bersamanya kecuali lima orang budak, dua wanita, dan Abu Bakar.” (HR. Bukhari, 3857)

Setelah mengikrarkan keislamannya, Abu Bakar Radiyallahu ‘anhu mengajak sahabat-sahabatnya untuk masuk Islam, sehingga dengan sebab dakwahnya banyak para pemuda Makkah yang menyatakan keislamannya. Beliau pun banyak menginfakkan hartanya di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Bahkan beliau pernah menginfakkan seluruh hartanya hingga sahabat Umar tidak dapat mengalahkannya dalam berinfak. Selain itu, Abu Bakar radiyallahu ‘anhu memerdekakan para budak dan tidak mengharapkan dari hal itu semua kecuali wajah Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Aisyah radiyallahu ‘anha bercerita, “Abu Bakar pernah memerdekakan tujuh budak yang telah disiksa di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala, di antara mereka adalah Bilal dan Amir bin Fuhairah.” (HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak, 3/321)

Ahlus sunnah wal Jama’ah sepakat bahwa manusia terbaik setelah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah para sahabat dan sebaik-baik sahabat adalah Abu Bakar dan Umar atas seluruh para sahabat.” (Kitabul I’tiqad, 192)

Berkata Al-Imam asy-Syafi’i, “Tidak ada seorang pun yang berselisih dari kalangan para sahabat dan tabi’in tentang keutamaan Abu Bakar dan Umar atas seluruh para sahabat.” (Kitabul I’tiqad, 192)

Berkata Al-Hafizh Ibnu Katsir, “(Orang yang) paling mulia di antara para sahabat bahkan paling mulia di antara seluruh makhluk setelah para Nabi adalah Abu Bakar, kemudian setelahnya Umar bin Khaththab, kemudian Utsman bin Affan, dan kemudian Ali bin Abi Thalib.” (Al-Ba’itsul Hatsis, 183)

Di antara hal yang menunjukkan kemuliaan Abu Bakar radiyallahu ‘anhu adalah peristiwa bersejarah yang telah dicatat oleh Alquran dan akan selalu dikenang oleh seluruh kaum muslimin hingga hari kiamat yaitu peristiwa besar hijrahnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari kota Makkah ke kota Madinah. Orang-orang kafir Quraisy tidak begitu saja membiarkan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar dari kota Makkah dalam keadaan aman. Mereka telah menyiapkan pasukan berkuda untuk menyusul dan membawa kembali Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam baik hidup atau mati. Begitulah keadaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di tengah beratnya safar panjang di bawah terik matahari, di atas kerikil panas padang pasir yang luas seakan lautan tak bertepi, ditambah lagi di belakang sana ada serambongan serigala padang pasir dengan bersenjata lengkap semakin mendekat.

Namun, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak sendiri. Beliau ditemani oleh Sahabat setianya yang selalu berbagi baik dalam suka dan duka, dialah Abu Bakar Ash-Shiddiq radiyallahu ‘anhu, manusia pertama yang beriman dan membenarkan kenabian Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hingga akhirnya keduanya dapat berlindung di sebuah gua menyelamatkan diri dari kejaran musuh-musuh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabadikan peristiwa besar tersebut di dalam firman-Nya,

“Jikalau kamu tidak menolongnya (Muhammad) maka sesungguhnya Alah telah menolongnya (yaitu) ketika orang-orang kafir (musyrikin Makkah) mengeluarkannya (dari Makkah) sedang dia salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua, di waktu dia berkata kepada temannya, ‘Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah beserta kita.’ Maka Allah menurunkan ketenangan-Nya kepada (Muhammad).” (Q.S. At-Taubah, 40)

Anas bin Malik radiyallahu ‘anhu mengatakan, “Sahabat Abu Bakar telah menceritakan kepadaku, beliau (Abu Bakar) mengatakan, ‘Aku melihat ke arah kaki-kaki kaum musyirikin yang berada tepat di atas kami, sedangkan kami berada di dalam gua, maka aku katakan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, seandainya salah satu di antara mereka mau melihat ke arah kakinya maka pasti mereka di bawah kaki-kaki mereka. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memenangkan beliau seraya mengatakan,

“Wahai Abu Bakar, bagaimana menurutmu kalau Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah yang ketiga dari kita berdua.” (HR. Bukhari, 4386 dan Muslim, 2381)

Beliau adalah shiddiqul akbar yaitu seorang yang selalu membenarkan berita yang dibawa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam semustahil apa pun menurut manusia. Peristiwa Isra’ dan Mi’raj adalah bukti nyata bahwa beliau adalah shiddiqul akbar. Tatkala manusia datang beramai-ramai sambil mengolok-olok Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam karena ceritanya tersebut, tetapi apa yang diucapkan oleh sahabat Abu Bakar? Beliau justru mengatakan, “Apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengatakan hal itu, maka sungguh dia telah benar.”

Karena itu, tidak berlebihan bila beliau di sebut sebagai Ash-Shiddiq. Bahkan yang menggelari beliau Ash-Shiddiq adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri.

Suatu hari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam naik ke Gunung Uhud dan bersama beliau ada Abu Bakar, Umar, dan Utsman. Maka Uhud bergetar, lantas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memenangkannya seraya mengatakan,

“Tenang wahai Uhud, karena di atasmu ada seorang Nabi, Shiddiq dan dua orang Syahid.” (HR. Bukhari, 3472)

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

“Dan orang yang membawa kebenaran (Muhammad) dan membenarkannya mereka itulah orang-orang yang bertaqwa.” (Q.S. Az-Zumar, 33)

Al-Imam Ibnu Jarir mengatakan bahwa yang dimaksud adalah Muhammad dan Abu Bakar. (Jami’ul Bayan, 24/3)

Abu Bakar radiyallahu ‘anhu adalah sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sangat berhati-hati dalam hal makanan. Aisyah radiyallahu ‘anhu menceritakan bahwa suatu waktu Abu Bakar memiliki seorang budak yang setiap harinya budak tersebut memberi beliau hasil usaha kesehariannya. Abu Bakar pun memakan dari hasil usaha budaknya tersebut. Suatu hari budak tersebut membawa makanan dan Abu Bakar memakan sebagian dari makanan tersebut. Lantas budak tersebut mengatakan kepadanya, “Wahai tuanku, tahukan Anda dari mana makanan ini?” Abu Bakar menjawab, “Dari mana engkau dapat makanan ini?” Budak itu menjawab, “Dahulu saya pernah berlagak seperti orang pintar (dukun) kepada seseorang, padahal saya sama sekali tidak tahu tentang ilmu perdukunan. Saya hanya menipunya dan ia memberikan upah kepadaku, termasuk apa yang engkau makan tadi.” Mendengar hal itu Abu Bakar Radiyallahu ‘anhu langsung memasukkan jari ke mulutnya dan memuntahkan semua makanan yang tadi ia makan. (HR. Bukhari, 3629)

Zaid bin Arqam radiyallahu ‘anhu bercerita, “Salah satu budak Abu Bakar radiyallahu ‘anhu pernah melakukan ghulul dan darinya ia membawa makanan kepada Abu Bakar. Setelah Abu Bakar selesai makan, budak tersebut mengatakan, ‘Wahai Tuanku, biasanya setiap malam engkau bertanya kepadaku tentang setiap hasil usahaku, tetapi mengapa malam ini engkau tidak bertanya terlebih dahulu?’ Abu Bakar menjawab, ‘Yang menyebabkan hal itu tidak lain adalah karena rasa lapar. Memangnya dari mana harta tersebut?’ Maka budak tersebut menceritakan usahanya. Serta-merta Abu Bakar menjawab, ‘Hampir saja engkau membunuhku.’ Lalu Abu Bakar memasukkan tangannya ke mulut dan berusaha memuntahkan setiap suapan makanan yang tertelan, tetapi usahanya tidak berhasil, kemudian dikatakan, ‘Sesungguhnya makanan itu tidak dapat keluar kecuali dengan air.’ Maka beliau meminta segelas air lalu meminumnya dan memuntahkannya hingga keluar semua makanan yang tadi beliau makan. Lalu dikatakan kepada beliau, ‘Engkau lakukan ini hanya karena ingin memuntahkan makanan yang telah engkau makan?’ Beliau menjawab, ‘Seandainya ia tidak keluar kecuali bila harus bersama jiwaku maka akan aku lakukan’.” (Lihat Shafwatush Shafwah 1/252, Hilyatul Auliya 1/31)

Allahu Akbar, wahai Shiddiq Umar ini, sungguh inilah sikap wara’ yang sangat tinggi, yang hampir-hampir tidak dijumpai lagi di zaman akhir seperti zaman ini. Inilah ketaqwaan. Inilah keimanan. Aku bersaksi bahwa engkau adalah orang yang termulia setelah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Maka hendaklah bertakwa kepada Allah Shallallahu ‘alaihi wa sallam orang-orang yang selalu memakan harta yang haram baik siang maupun malam, hingga jasadnya dan jasad anak-anaknya tumbuh dari hasil yang haram.

Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmati para wanita salaf, di mana tatkala sang suami akan keluar ke pasar, ia memegang pundaknya seraya berpesan, “Wahai suamiku, bertaqwalah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dari apa yang engkau berikan kepada kami. Jangan engkau berikan kepada kami barang yang haram. Sesungguhnya kami dapat bersabar dari beratnya rasa lapar, tetapi kami tidak dapat bersabar dari panasnya api neraka Jahannam.”!!!

Mutiara faidah dari kisah Abu Bakar Ash-Shidiq
Demikianlah perjalanan hidup manusia terbaik setelah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Darinya kita dapat memetik teladan yang sangat banyak, di antaranya,

– Seorang muslim hendaklah berhias dengan akhlak yang mulia dan meninggalkan perkara-perkara yang dapat menghilangkan kemuliaan dan muru’ah-nya.
– Anjuran untuk berinfak dan bersedekah di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Harta yang diinfakkan dan disedekahkan oleh seseorang itulah harta yang akan bermanfaat baginya.
– Merupakan adab dan kewajiban seorang mukmin adalah membenarkan semua kabar dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena beliau tidak berbicara melainkan dari wahyu Allah Subhanahu wa Ta’ala.
– Sesama muslim adalah bersaudara, hendaklah mereka saling ta’awun ‘alal birri wat taqwa (tolong-menolong dalam kebaikan dan takwa), saling meringankan beban saudaranya sesuai dengan kadar yang ia mampu.
– Wara’ dari memakan barang yang haram adalah sifat khusus seorang muslim, karena jasad yang tumbuh dari harta yang haram maka nerakalah tempat yang pantas untuknya. Hampir-hampir sifat wara’ ini hilang dari diri kaum muslimin kecuali orang-orang yang dirahmati oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Kisah Ikrimah bin Abu Jahal radhiallahu ‘anhu

Ikrimah bin Abu Jahal radhiallahu ‘anhu

Siapakah diantara kita yang tidak mengenal nama ini, Abu Jahal ‘Amr bin Hisyam, lelaki yang dihormati kaumnya sebelum baligh? Memang benar jika kita mengatakan bahwa dia adalah junjungan  bagi kaumnya, lelaki yang terhormat, ditaati, dan mempunyai pangkat dan kekuasaan.

Akan tetapi, dia telah mengubur dirinya dalam pasir-pasir kekafiran, padahal jika dia menghendaki, dia dapat menghidupkan dirinya itu  dengan menggunakan cahaya iman. Karena itulah, ia berhak untuk mendapatkan laknat Tuhan daripada keridhaan-Nya.

Abu Jahal adalah Fir’aun umat ini. Ia hidup di Makkah sebagai musuh Allah dan Rasul-Nya. Ia selalu berusaha membunuh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia melihat sejumlah ayat (tanda kekuasaan) Allah dan sejumlah mukjizat, tetapi mata hatinya telah lebih dulu buta sebelum mata kepalanya. Karenanya,ia pun menjadi seperti setan yang sangat pembangkang.

Sering kali Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya merasakan gangguan dan pengingkarannya. Akan tetapi, suatu hari beliau berharap dia masuk Islam. Beliau bersabda:

“Ya Allah, kuatkanlah Islam dengan ‘Amr bin Hisyam atau ‘Umar bin Khattab.”

Allah mengabulkan doa Rasulullah ini, sehingga orang yang paling baik diantara kedua itu adalah ‘Umar bin Khattab yang pada akhirnya dia masuk Islam, sedangkan orang yang paling jahat diantara keduanya adalah Abu Jahal yang senantiasa memusuhi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Sesungguhnya Abu Jahal adalah pengatur siasat perang Badar bagi musuh Islam. Ia berkeinginan memberikan pelajaran bagi umat Islam. Akan tetapi, ia telah tertipu setannya bahwa ia akan mengalahkan nabi dan para sahabatnya dan tiba-tiba ia mati terbunuh berlumuran darah; dan sebelum mati, ia sempat berkata: “Bagi siapakah kemenangan hari ini?” Maka dikatakan kepadanya: “Bagi Allah dan Rasul-Nya.”

Mendengar itu, Abu Jahal mencela kaum muslimin dan bertambah kafir. Hal ini membuat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya Fir’aun umat ini lebih parah daripada Fir’aun Musa.”

Memang benar, Fir’aun musa beriman saat akan meninggal dunia meskipun Allah tidak menerimanya. Adapun Fir’aun arab ini mati dalam keadaan kafir dan mencela Allah dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dalam kondisi yang buruk penuh dengan kedengkian terhadap Islam dan nabi-Nya, tumbuh seorang remaja yang bernama Ikrimah. Ikrimah melihat ayahnya di Makkah tidak henti-hentinya memusuhi umat Islam, kemudian melihat kaumnya kalah dalam perang Badar. Ia kembali ke Makkah tanpa disertai ayahnya seperti ketika dia berangkat ke Badar. Ia membiarkan ayahnya tewas di tangan pasukan Islam, bahkan sampai penguburannya pun ia membiarkannya.

Adapun dalam perang Uhud kondisi sedikit berbeda. Pasukan Quraisy keluar dengan membawa pasukan kuda dan kebesarannya. Ikrimah berada dalam pasukan inti bersama Khalid bin Walid yang menjadi pemimpin pasukan sayap kanan. Bahkan Ikrimah membawa istrinya, Ummu Hakim, yang bertugas menabuh rebana bersama dengan Hindun binti ‘Utbah. Saat itu, Ummu Hakim mendendangkan syair:

Ayolah, wahai bani ‘Abdid Dar

Ayolah, para pembela kaumnya

Pukulah musuhmu dengan pedang

Para pasukan kafir ini menjadi bersemangat. Ikrimah mengendarai kudanya yang dikendalikan setan dan kedengkiannya untuk memusuhi Allah dan Rasul-Nya. Tetapi, Ikrimah meletakkan di depan matanya peristiwa tewasnya sang ayah di tangan kaum muslimin pada perang Badar. Sampai akhirnya peperangan berakhir dengan kemenangan di tangan pasukan kafir. Akan tetapi, kemenangan mereka itu merupakan kemenangan  yang tidak sempurna, sebab mereka takut serangan kaum muslimin, sehingga mereka lari menuju kota Makkah.

Dalam perang Khandaq atau Al-Ahzab, Ikrimah adalah salah satu dari ribuan anggota pasukan kafir yang mengepung kota Madinah, kota Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang-oranng Islam. Akan tetapi, mereka tercengang ketika melihat parit besar yang belum pernha mereka lihat sebelumnya. Parit ini membuat senjata-senjata di tangan mereka tidak berguna. Mereka tidak tahu apa yang harus dilakukan.

Pengepungan pun berlangsung lama. Ikrimah tidak sabar, maka ia keluar bersama dengan ‘Amr bin Wud untuk mengajak pasukan Islam melakukan pertandingan jawara (duel satu lawan satu) dari kedua pasukan. ‘Ali radhiyAllahu ‘anhu keluar menanggapi ajakan ini. ‘Ali melawan ‘Amr bin Wud dan memperoleh kemenangan karena berhasil memenggal kepala ‘Amr bin Wud dan melemparkannya pada pasukan musyrik.

Melihat kejadian ini, Ikrimah takut sehingga ia lari seperti tikus yang ketakutan. Ikrimah meninggalkan peralatan perang dan barang-barang lainnya. Oleh karena itu, ‘Ali radhiyAllahu ‘anhu mengambilnya dan memberikannya sebagai hadiah untuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Allah memenangkan Islam dan kaum muslimin. Mereka berhasil menaklukkan kota Makkah. Akan tetapi, kemenangan ini tidak terlepas dari perlawanann  kecil. Ikrimah bersama dengan Shafwan bin Umayyah, Suhail bin ‘Amr, dan seorang lelaki dari bani Bakar (namanya Hammas bin Qais) melakukan perlawanan terhadap kaum muslimin.

Ketika melihat apa yang dilakukan Qais, istrinya berkata: “Wahai Hammas, apa yang kamu persiapkan?”

“Aku mempersiapkannya untuk Muhammad,” ujar Hammas.

“Demi Allah, kamu tidak akan mampu melawan Muhammad dan para sahabatnya,” tukas istrinya.

Dengan sombong Hammas berkata: “Kami akan membunuh mereka dan kamu akan mempunyai pembantu dari mereka.”

Sementara itu Ikrimah bersama teman-temannya berkumpul di tempat yang dinamakan Al-Khandamah mereka ingin melakukan permusuhan dan perlawanan terhadap kaum muslimin. Akan tetapi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meladeni mereka dengan mengajukan pedanngnya yang terhunus, yaitu Khalid bin walid (yang mempunyai julukan Saifullah wa Rasulihi Al-Maslul yang berarti pedang Allah dan Rasul-Nya yang terhunus). Maka mereka kalah dan lari tunggang langgang, termasuk juga Hammas. Oleh karena itu, Hammas masuk ke rumahnya dan menutup pintunya, kemudian dia mengucapkan syair:

Sungguh andai kamu menyaksikan hari Al-Khandamah

Saat Shafwan dan Ikrimah lari kalah

Kami disambut pedang-pedang muslim

Yang memotong-motong setiap tengkorak kepala dan tangan

Pelarian Ikrimah bin Abu Jahal
Ikrimah lari, sementara Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengizinkan untuk membunuhnya bersama sembilan orang lainnya. Melihat ancaman mati dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini, Ikrimah melarikan diri ke Yaman. Pada saat itu istrinya yang bernama Ummu Hakim masuk Islam dan meminta perlindungan dan keamanan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk Ikrimah, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya: “Dia aman”

Ummu Hakim melakukan perjalanan untuk mengembalikan suaminya ke Makkah. Dalam perjalanannya ini, ia ditemani seorang lelaki Romawi. Lelaki ini melihat adanya kesempatan untuk berbuat mesum karena mereka hanya berdua saja, sementara jarak perjalanan sangat jauh. Akan tetapi, Ummu Hakim menolaknya hingga akhirnya mereka berdua sampai di suatu pantai. Disinilah takdir menundukkan Ikrimah.

Ikrimah berkata kepada salah satu seorang nahkoda kapal: “Bawalah aku sampai ke Yaman dan aku akan memberikan apa yang kamu inginkan.”

Nahkoda kapal berkata, “Tidak, kecuali kamu ikhlas.”

“Bagaimana cara berikhas?” Tanya Ikrimah.

“Kamu bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah dan Muhammad utusan Allah.” Jawab nahkoda kapal.

Dengan kesal Ikrimah berrkata: “Ini adalah Tuhan Muhammad yang kami diajak kepada-Nya.”  Ikrimah mengetahui bahwa tidak ada Tuhan selain Allah. Ia berputar. Ia kaget, karena di depannya terdapat istrinya. Istrinya berkata: “Aku datang kepadamu dari manusia yang paling baik, mannusia yang paling penyayang, manusia yang paling santun, dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku telah meminta perlindungan dan keamanan untukmu darinya. Beliau telah menjamin keamananmu, maka janganlah kamu binasakan dirimu sendiri! Kembalilah, karena sesungguhnya kamu akan aman.”

Ummu Hakim menceritakan hal ihwal pemuda Romawi yang bersamanya. Ia telah meminta bantuan kepada sebagian orang-orang pedalaman dan mereka mau memberikan bantuan. Ia masih tetap bersama dengan pemuda ini, sehingga nafsu pemuda ini tertuju kepadanya. Maka dalam perjalanan menuju Makkah, Ikrimah pun membunuh pemuda tersebut.

Saat diajak berduaan oleh Ikrimah, Ummu Hakim berkata: “Wahai Ikrimah, sesungguhnya kamu musyrik, sedang aku muslimah. Allah telah mengharamkan diriku atasmu.” Kata-kata yang seperti panah ini telah menancap di hati Ikrimah, sehingga hati Ikrimah pun terluka dan pikirannya menjadi kacau balau.

Sementara di Makkah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri diantara para sahabatnya sambil bersabda: “Sesungguhnya Ikrimah bin Abi Jahal akan datang kepadamu dalam keadaan beriman dan berhijrah, maka janganlah kamu mencela ayahnya, karena mencela orang yang sudah mati dapat menyakitkan orang yang masih hidup, walaupun celaan itu tidak sampai kepada orang yang sudah mati.”

Masuk islamnya Ikrimah bin Abu Jahal
Ikrimah pun datang. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Selamat datang, pengendara yang berhijrah.”Beliau berdiri kepadanya, meluaskan kain untuknya, dan menyambutnya dengan sebaik-baik sambutan.

Ikrimah berkata: “Aku mendengar bahwa engkau telah menjamin keamananku, wahai Muhammad ?”

“Ya sungguh kamu aman,” jawab Rasul

“Untuk apa kamu menngajakku ?” tanya Ikrimah.

“Untuk menyembah Allah Yang Maha Esa, tiada sekutu  bagi-Nya, melaksanakan shalat, membayar zakat, menunaikan puasa, dan berhaji di Baitullah,” kata Rasul.

Ikrimah berkata: “Demi Allah, engkau tidak mengajakku, kecuali kepada kebenaran; dan engkau tidak memerintahku, kecuali kepada kebaikan.” Ikrimah mengulur tangannya dan bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah.

Ikrimah berkata: “Wahai Rasulullah, aku memohon kepadamu untuk mengampuniku atas setiap permusuhanku terhadapmu, setiap jejak langkahku, setiap kesempatan aku bertemu denganmu, dan setiap perktaan yang aku ucapkan dihadapanmu atau tidak dihadapanmu.”

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa untuk Ikrimah:

“ Ya Allah ampunilah setiap permusuhan yang dilakukannya terhadapku, setiap jejak langkahnya yang ia inginkan untuk memadamkan cahaya-Mu. Ampunilah perkataan yang diucapkan guna merendahkan martabatku, baik ketika dia berada di hadapanku maupun tidak dihadapanku.”

Ikrimah berkata: “Wahai Rasulullah, tidaklah aku mengeiuarkan satu hartapun yang telah aku gunakan untuk memusuimu, kecuali aku juga akan menginfakkan harta yang sama di jalan Allah.”

Setelah masuk Islam, Ikrimah bersumpah: “Demi Dzat yang telah menyelamatkanku saat perang Badar.” Ia bersyukur kepada Tuhannya karena ia tidak mati terbunuh dalam perang Badar (karena pada waktu itu Ikrimah masih dalam keadaan kafir, red). Ia masih tetap hidup sampai akhirnya Allah pun memuliakannya dengan Islam. Ia selalu membawa mushaf sambil menangis: “Kitab Tuhanku ! Kitab Tuhanku !“

Syahidnya Ikrimah bin Abu Jahal
Pada saat perang Yarmuk meletus dengan hebatnya dan pasukan Romawi hampir mengalahkan pasukan Islam, maka singa buas Ikrimah pun bangkit dan berkata: “Minggirlah, wahai Khalid bin Walid, biarkan aku menebus apa yang telah aku dan ayahku lakukan. Dulu aku memusuhi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Apakah sekarang aku akan lari dari pasukan Romawi ? Demi Allah tidak, selamanya tidak akan terjadi !”

Ikrimah berteriak: “Siapa yang akan membaiatku untuk mati ? “

Pamannya Harits bin Hisyam, dan juga Dhirar bin Al-Azwar berdiri untuk membaiatnya. Ikut bersama mereka 400 pasukan muslim. Mereka memasuki arena peperangan hingga mereka dapat mengalahkan pasukan Romawi, dan Allah pun memberikan kemenangan dan kemuliaan bagi pasukan-Nya.

Perang pun selesai. Ikrimah tergeletak terkena 70 tikaman di dadanya, sedang disampingnya adalah Al-Harits bin Hisyam dan Ayyasy bin Abi Rabi’ah. Al-Harits memanggil-manggil meminta air namun ia melihat Ikrimah sangat kehausan maka ia berkata: “Berikanlah air kepada Ikrimah.” Ikrimah melihat Ayyasy bin Abi Rabi’ah juga sangat kehausan, lalu ia berkata: “Berikanlah air kepada Ayyasy.” Ketika air hampir diberikan, Ayyasy sudah tidak bernyawa. Para pemberi air dengan cepat menuju Ikrimah dan Al-Harits, namun keduanya pun sudah tiada untuk meminum air surga dan sungai-sungainya.