Biografi Khalid bin Walid radhiyallahu’anhu

Biografi Khalid bin Walid radhiyallahu’anhu

Segala puji hanya bagi Allah, shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada baginda Rasulullah, dan aku bersaksi bahwa tiada Tuhan yang berhak disembah dengan sebenarnya selain Allah yang Maha Esa dan tiada sekutu bagi-Nya dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya.. Amma Ba’du:

Tulisan ini adalah bagian kecil dari biografi seorang tokoh terkemuka umat ini, dia salah seorang pahlawan dan kesatria umat ini, dia salah seorang tokoh shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia, dan dari perjalanan hidupnya ini kita akan menggali berbagai pelajaran dan ibroh.

Shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini masuk Islam pada tahun kedelapan hijriyah dan telah terjun dalam puluhan peperangan.

Para sejarawan mencatat, dia tidak pernah kalah dalam satu peperanganpun baik pada saat jahiliyah atau setelah masuk Islam, dia berkata tentang dirinya, “Sungguh dengan tanganku ini telah terpotong sembilan pedang pada saat peperangan Mu’tah sehingga tidak tertinggal di tanganku kecuali sebuah pedang yang berasal dari Yaman.”

Hal ini membuktikan tentang keberaniannya yang brilian dan kekuatan besar yang telah dianugrahkan baginya oleh Allah pada jasadnya. Dan beliau adalah komando pasukan kaum muslimin pada perang yang masyhur yaitu perang Yamamah dan Yarmuk, dan beliau telah melintasi perbatasan  negeri Iraq menuju ke Syam dalam lima malam bersama para tentara yang mengikutinya. Inilah salah satu keajaiban komandan perang ini. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menggelarinya dengan sebutan pedang Allah yang terhunus, dan beliau memberitahukan bahwa dia adalah salah satu pedang Allah terhadap orang-orang musyrik dan kaum munafiq.

Dia adalah seorang kesatria, Khalid bin Walid bin Al-Mugiroh Al-Qurasy Al-Makhzumy Al-Makky, anak saudari ummul mukminin Maimunah binti Al-Harits radhiallahu ‘anhu, dia seorang lelaki yang kekar, berpundak lebar, bertubuh kuat, sangat menyerupai Umar bin Al-Khattab radhiallahu ‘anhu. Shahabat memiliki sikap kepahlawanan besar yang mencerminkan dirinya sebagai seorang pemberani dalam  membela agama ini, di antara cerita tentang kepahlawanan beliau adalah apa yang terjadi pada perang Mu’tah, pada tahun ke delapan hijriyah, pada tahun dia memeluk Islam. Jumlah tentara kaum muslimin pada saat itu sekitar tiga ribu personil sementara bangsa Romawi memilki dua ratus ribu personil, melihat tidak adanya keseimbangan jumlah tentara kaum muslimin di banding musuh mereka, terkuaklah sikap kesatria dan kepahlawanan kaum muslimin pada peperangan ini. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan agar pasukan dipimpin oleh Zaid bin Haritsah, dan jika dia terbunuh maka kepeminpinan berpindah kepada Ja’far bin Abi Thalib, dan jika terbunuh maka kepeminpinan digantikan oleh Abdullah bin Rawahah. Semua pemimpin di atas mati syahid pada peperangan ini, lalu bendera diambil alih oleh Tsabit bin Aqrom, dan dia berkata kepada kaum muslimin: Pilihlah seorang lelaki sebagai pemimpin kalian, maka mereka memilih Khalid bin Walid, maka pada peristiwa inilah tampak jelas keberanian dan kejeniusannya. Dia kembali mengatur para pasukan, maka dia merubah strategi dengan menjadikan pasukan sayap kanan berpindah ke sayap kiri dan sebaliknya pasukan sayap kiri berpindah ke sebelah kanan, kemudian sebagian pasukan diposisikan agak mundur, setelah beberapa saat mereka datang seakan pasukan batuan  yang baru datang, hal ini guna melemahkan semangat berperang musuh kemudian kesatuan tentara kaum muslimin terlihat menjadi besar atas pasukan kaum Romawi sehingga menyebabkan mereka mundur dan semangat mereka melemah. Dia radhiyallahu ‘anhu telah memperlihatkan berbagai macam bentuk keberanian dan kepahlawanan yang  tidak bisa tandingi oleh semangat para pahlawan. Selain itu, dengan keahliannya dan kecerdasannya dia mulai mengarahkan pasukan kaum muslimin untuk mundur secara teratur dengan cara yang unik, dan cukuplah  dengan pukulan yang seperti itu, dan beliau melihat agar pasukan kaum muslimin tidak terserang pada sebuah peperangan yang tidak sebanding. Dan Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut hal itu sebagai kemenangan dan beliau bersabda pada saat menyebut ketiga komandan yang gugur syahid kemudian bendera akan diambil oleh salah satu pedang Allah sehingga Allah memberikan kemenangan bagi kaum muslimin atas musuhnya.

Khalid juga ikut serta dalam peperangan melawan kaum yang murtad, beliau juga ikut berperang menuju Iraq, dan para ulama berbeda pendapat tentang  sebab dipecatnya Khalid sebagai komando perang di Syam, dan semoga yang benar adalah apa yang dikatakan oleh Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhu: Tidak, aku akan memecat Khalid sehingga masyarakat mengetahui bahwa sesungguhnya Allah membela agamanya tidak dengan Khalid.

Di antara ungkapannya yang agung adalah tidaklah sebuah malam di mana aku bersama seorang pengantin yang aku cintai lebih aku sukai dari sebuah malam yang dingin lagi bersalju dalam sebuah pasukan kaum muhajirin guna menyerang musuh.

Dia pernah menulis sebuah surat kepada kaisar Persia yang mengatakan, “Sungguh aku telah telah datang kepada kalian dengan pasukan yang lebih mencintai kematian sebagaimana orang-orang Persia menyenangi minum khamr.”

Qais bin Hazim berkata,  “Aku telah mendengar Khalid berkata, ‘Berjihad telah menghalangiku mempelajari Al-Qur’anul Karim.’”

Abu Zannad berkata, “Pada saat Khalid akan meninggal dunia dia menangis dan berkata, ‘Aku telah mengikuti perang ini dan perang ini bersama pasukan, dan tidak ada satu jengkalpun dari bagian tubuhku kecuali padanya terdapat bekas pukulan pedang atau lemparan panah atau tikaman tombak dan sekarang aku mati di atas ranjangku terjelembab sebagaimana matinya seekor unta. Janganlah mata ini terpejam seperti mata para pengecut. ‘“

Sungguh Khalaid mengharapkan mati syahid dan semoga Allah menyampaikannya pada derajat yang dicita-citakannya.

Dari Sahl bin Abi Umamah bin Hanif dari bapaknya dari kakeknya dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang meminta kepada Allah mati syahid dengan sebenarnya maka Allah akan menyampaikannya kepada derajat orang-orang yang mati syahid sekalipun dirinya mati di atas ranjangnya.”

Lalu pada saat wafat, dia tidak meninggalkan kecuali kuda, senjata dan budaknya yang dijadikannya sebagai sedekah dijalan Allah, pada saat berita kematian tersebut sampai kepada Amirul Mu’minin, Umar bin Al-Kattab dia berkata, “Semoga Allah meberikan rahmatnya kepada Abu Sulaiman, sesungguhnya dia seperti apa yang kami perkirakan.”

Dan disebutkan  di dalam hadits riwayat Umar bin Al-Khattab tentang zakat bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Adapun Khalid maka dia telah menyimpan baju besinya dan perlengkapan berperangnya di jalan Allah.”

Dia wafat pada tahun 21 H. di Himsh pada usia 52 tahun, semoga Allah memberikan kepada Khalid balasan yang lebih baik dan semoga Allah mempertemukan kita dengannya surga yang mulia, dan segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam, semoga shalawat dan salam tetap tercurahkan kepada Nabi kita Muhammad dan kepada keluarga, shahabat serta seluruh pengikut beliau.

Biografi Abu Bakar radiyallahu ‘anhu, Ash-Shiddiqul Akbar

Abu Bakar radiyallahu ‘anhu

Biografi Abu Bakar radiyallahu ‘anhu, Ash-Shiddiqul Akbar

Beliau adalah Abdullah bin Utsman bin Amir bin Amr bin Ka’ab bin Sa’ad bin Taim bin Murrah bin Ka’ab bin Luay bin Ghalib Al-Qurasyi At-Taimy. Nasab beliau bertemu dengan nasabnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada kakek keenam yaitu Murrah bin Ka’ab.

Bapak beliau, Utsman bin Amir, akrab dipanggil Abu Quhafah. Ibu beliau adalah Ummul Khair yaitu Salma binti Shohr bin Amir. Berarti sang ibu adalah putrid pamannya (sepupu) bapak. Beliau dilahirkan dua tahun enam bulan setelah Tahun Gajah.

Di masa jahiliah Abu Bakar dikenal sebagai seorang yang jujur, berakhlak mulia, dan mahir dalam berdagang. Hal ini diketahui oleh semua manusia sehingga beliau sering didatangi para pemuda Quraisy untuk diminta keterangan tentang ilmu pengetahuan, strategi berdagang, dan sopan santunnya. Selain itu, beliau juga termasuk salah satu dari ahli nasab Quraisy hingga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengatakan,

“Sesungguhnya Abu Bakar adalah seorang Quraisy yang paling mengetahui tentang nasab mereka.” (HR. Muslim, 2490)

Bahkan Abu Bakar tidak pernah meminum Khamer sampaipun di masa jahiliah. Tatkala beliau ditanya, beliau menjawab, “Aku adalah orang yang menjaga kehormatan dan menjaga muru’ah, siapa yang meminum Khamer maka berarti dia telah melalaikan kehormatan dan muru’ahnya.” (Lihat Tarikh Al-Khaulafa, 49)

Ketika cahaya Islam menerangi bumi Makkah dibawa oleh seorang Al-Amin (yakni Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam), maka Abu Bakar radiyallahu ‘anhu menyambut baik hidayah Islam, bahkan beliau adalah orang pertama yang masuk Islam dari kalangan kaum laki-laki yang merdeka.

Sahabat Ammar bin Yasir bercerita, “Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  di Makkah dan tidakkah bersamanya kecuali lima orang budak, dua wanita, dan Abu Bakar.” (HR. Bukhari, 3857)

Setelah mengikrarkan keislamannya, Abu Bakar Radiyallahu ‘anhu mengajak sahabat-sahabatnya untuk masuk Islam, sehingga dengan sebab dakwahnya banyak para pemuda Makkah yang menyatakan keislamannya. Beliau pun banyak menginfakkan hartanya di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Bahkan beliau pernah menginfakkan seluruh hartanya hingga sahabat Umar tidak dapat mengalahkannya dalam berinfak. Selain itu, Abu Bakar radiyallahu ‘anhu memerdekakan para budak dan tidak mengharapkan dari hal itu semua kecuali wajah Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Aisyah radiyallahu ‘anha bercerita, “Abu Bakar pernah memerdekakan tujuh budak yang telah disiksa di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala, di antara mereka adalah Bilal dan Amir bin Fuhairah.” (HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak, 3/321)

Ahlus sunnah wal Jama’ah sepakat bahwa manusia terbaik setelah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah para sahabat dan sebaik-baik sahabat adalah Abu Bakar dan Umar atas seluruh para sahabat.” (Kitabul I’tiqad, 192)

Berkata Al-Imam asy-Syafi’i, “Tidak ada seorang pun yang berselisih dari kalangan para sahabat dan tabi’in tentang keutamaan Abu Bakar dan Umar atas seluruh para sahabat.” (Kitabul I’tiqad, 192)

Berkata Al-Hafizh Ibnu Katsir, “(Orang yang) paling mulia di antara para sahabat bahkan paling mulia di antara seluruh makhluk setelah para Nabi adalah Abu Bakar, kemudian setelahnya Umar bin Khaththab, kemudian Utsman bin Affan, dan kemudian Ali bin Abi Thalib.” (Al-Ba’itsul Hatsis, 183)

Di antara hal yang menunjukkan kemuliaan Abu Bakar radiyallahu ‘anhu adalah peristiwa bersejarah yang telah dicatat oleh Alquran dan akan selalu dikenang oleh seluruh kaum muslimin hingga hari kiamat yaitu peristiwa besar hijrahnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari kota Makkah ke kota Madinah. Orang-orang kafir Quraisy tidak begitu saja membiarkan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar dari kota Makkah dalam keadaan aman. Mereka telah menyiapkan pasukan berkuda untuk menyusul dan membawa kembali Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam baik hidup atau mati. Begitulah keadaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di tengah beratnya safar panjang di bawah terik matahari, di atas kerikil panas padang pasir yang luas seakan lautan tak bertepi, ditambah lagi di belakang sana ada serambongan serigala padang pasir dengan bersenjata lengkap semakin mendekat.

Namun, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak sendiri. Beliau ditemani oleh Sahabat setianya yang selalu berbagi baik dalam suka dan duka, dialah Abu Bakar Ash-Shiddiq radiyallahu ‘anhu, manusia pertama yang beriman dan membenarkan kenabian Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hingga akhirnya keduanya dapat berlindung di sebuah gua menyelamatkan diri dari kejaran musuh-musuh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabadikan peristiwa besar tersebut di dalam firman-Nya,

“Jikalau kamu tidak menolongnya (Muhammad) maka sesungguhnya Alah telah menolongnya (yaitu) ketika orang-orang kafir (musyrikin Makkah) mengeluarkannya (dari Makkah) sedang dia salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua, di waktu dia berkata kepada temannya, ‘Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah beserta kita.’ Maka Allah menurunkan ketenangan-Nya kepada (Muhammad).” (Q.S. At-Taubah, 40)

Anas bin Malik radiyallahu ‘anhu mengatakan, “Sahabat Abu Bakar telah menceritakan kepadaku, beliau (Abu Bakar) mengatakan, ‘Aku melihat ke arah kaki-kaki kaum musyirikin yang berada tepat di atas kami, sedangkan kami berada di dalam gua, maka aku katakan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, seandainya salah satu di antara mereka mau melihat ke arah kakinya maka pasti mereka di bawah kaki-kaki mereka. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memenangkan beliau seraya mengatakan,

“Wahai Abu Bakar, bagaimana menurutmu kalau Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah yang ketiga dari kita berdua.” (HR. Bukhari, 4386 dan Muslim, 2381)

Beliau adalah shiddiqul akbar yaitu seorang yang selalu membenarkan berita yang dibawa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam semustahil apa pun menurut manusia. Peristiwa Isra’ dan Mi’raj adalah bukti nyata bahwa beliau adalah shiddiqul akbar. Tatkala manusia datang beramai-ramai sambil mengolok-olok Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam karena ceritanya tersebut, tetapi apa yang diucapkan oleh sahabat Abu Bakar? Beliau justru mengatakan, “Apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengatakan hal itu, maka sungguh dia telah benar.”

Karena itu, tidak berlebihan bila beliau di sebut sebagai Ash-Shiddiq. Bahkan yang menggelari beliau Ash-Shiddiq adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri.

Suatu hari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam naik ke Gunung Uhud dan bersama beliau ada Abu Bakar, Umar, dan Utsman. Maka Uhud bergetar, lantas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memenangkannya seraya mengatakan,

“Tenang wahai Uhud, karena di atasmu ada seorang Nabi, Shiddiq dan dua orang Syahid.” (HR. Bukhari, 3472)

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

“Dan orang yang membawa kebenaran (Muhammad) dan membenarkannya mereka itulah orang-orang yang bertaqwa.” (Q.S. Az-Zumar, 33)

Al-Imam Ibnu Jarir mengatakan bahwa yang dimaksud adalah Muhammad dan Abu Bakar. (Jami’ul Bayan, 24/3)

Abu Bakar radiyallahu ‘anhu adalah sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sangat berhati-hati dalam hal makanan. Aisyah radiyallahu ‘anhu menceritakan bahwa suatu waktu Abu Bakar memiliki seorang budak yang setiap harinya budak tersebut memberi beliau hasil usaha kesehariannya. Abu Bakar pun memakan dari hasil usaha budaknya tersebut. Suatu hari budak tersebut membawa makanan dan Abu Bakar memakan sebagian dari makanan tersebut. Lantas budak tersebut mengatakan kepadanya, “Wahai tuanku, tahukan Anda dari mana makanan ini?” Abu Bakar menjawab, “Dari mana engkau dapat makanan ini?” Budak itu menjawab, “Dahulu saya pernah berlagak seperti orang pintar (dukun) kepada seseorang, padahal saya sama sekali tidak tahu tentang ilmu perdukunan. Saya hanya menipunya dan ia memberikan upah kepadaku, termasuk apa yang engkau makan tadi.” Mendengar hal itu Abu Bakar Radiyallahu ‘anhu langsung memasukkan jari ke mulutnya dan memuntahkan semua makanan yang tadi ia makan. (HR. Bukhari, 3629)

Zaid bin Arqam radiyallahu ‘anhu bercerita, “Salah satu budak Abu Bakar radiyallahu ‘anhu pernah melakukan ghulul dan darinya ia membawa makanan kepada Abu Bakar. Setelah Abu Bakar selesai makan, budak tersebut mengatakan, ‘Wahai Tuanku, biasanya setiap malam engkau bertanya kepadaku tentang setiap hasil usahaku, tetapi mengapa malam ini engkau tidak bertanya terlebih dahulu?’ Abu Bakar menjawab, ‘Yang menyebabkan hal itu tidak lain adalah karena rasa lapar. Memangnya dari mana harta tersebut?’ Maka budak tersebut menceritakan usahanya. Serta-merta Abu Bakar menjawab, ‘Hampir saja engkau membunuhku.’ Lalu Abu Bakar memasukkan tangannya ke mulut dan berusaha memuntahkan setiap suapan makanan yang tertelan, tetapi usahanya tidak berhasil, kemudian dikatakan, ‘Sesungguhnya makanan itu tidak dapat keluar kecuali dengan air.’ Maka beliau meminta segelas air lalu meminumnya dan memuntahkannya hingga keluar semua makanan yang tadi beliau makan. Lalu dikatakan kepada beliau, ‘Engkau lakukan ini hanya karena ingin memuntahkan makanan yang telah engkau makan?’ Beliau menjawab, ‘Seandainya ia tidak keluar kecuali bila harus bersama jiwaku maka akan aku lakukan’.” (Lihat Shafwatush Shafwah 1/252, Hilyatul Auliya 1/31)

Allahu Akbar, wahai Shiddiq Umar ini, sungguh inilah sikap wara’ yang sangat tinggi, yang hampir-hampir tidak dijumpai lagi di zaman akhir seperti zaman ini. Inilah ketaqwaan. Inilah keimanan. Aku bersaksi bahwa engkau adalah orang yang termulia setelah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Maka hendaklah bertakwa kepada Allah Shallallahu ‘alaihi wa sallam orang-orang yang selalu memakan harta yang haram baik siang maupun malam, hingga jasadnya dan jasad anak-anaknya tumbuh dari hasil yang haram.

Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmati para wanita salaf, di mana tatkala sang suami akan keluar ke pasar, ia memegang pundaknya seraya berpesan, “Wahai suamiku, bertaqwalah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dari apa yang engkau berikan kepada kami. Jangan engkau berikan kepada kami barang yang haram. Sesungguhnya kami dapat bersabar dari beratnya rasa lapar, tetapi kami tidak dapat bersabar dari panasnya api neraka Jahannam.”!!!

Mutiara faidah dari kisah Abu Bakar Ash-Shidiq
Demikianlah perjalanan hidup manusia terbaik setelah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Darinya kita dapat memetik teladan yang sangat banyak, di antaranya,

– Seorang muslim hendaklah berhias dengan akhlak yang mulia dan meninggalkan perkara-perkara yang dapat menghilangkan kemuliaan dan muru’ah-nya.
– Anjuran untuk berinfak dan bersedekah di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Harta yang diinfakkan dan disedekahkan oleh seseorang itulah harta yang akan bermanfaat baginya.
– Merupakan adab dan kewajiban seorang mukmin adalah membenarkan semua kabar dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena beliau tidak berbicara melainkan dari wahyu Allah Subhanahu wa Ta’ala.
– Sesama muslim adalah bersaudara, hendaklah mereka saling ta’awun ‘alal birri wat taqwa (tolong-menolong dalam kebaikan dan takwa), saling meringankan beban saudaranya sesuai dengan kadar yang ia mampu.
– Wara’ dari memakan barang yang haram adalah sifat khusus seorang muslim, karena jasad yang tumbuh dari harta yang haram maka nerakalah tempat yang pantas untuknya. Hampir-hampir sifat wara’ ini hilang dari diri kaum muslimin kecuali orang-orang yang dirahmati oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Biografi Sa’id bin Zaid radhiallahu ‘anhu

Sa’id bin Zaid radhiallahu ‘anhu

Aku serahkan diriku kepada Dzat
yang kepada-Nya bumi juga telah berserah diri
dengan memikul batu-batu yang berat
Dzat yang telah menjadikan bumi bulat
Dzat yang telah menciptakan bumi dengan sempurna
Dzat yang telah memancangkan gunung-gunung
dengan kokoh di atasnya
Aku serahkan diriku kepada Dzat
yang kepada-Nya awan-awan telah menyerahkan diri
dengan membawa air yang tawar
Ketika awan-awan itu dibawa ke suatu negeri, dia akan taat
lalu dia akan menurunkan hujan di atasnya…

Zaid bin ‘Amr bin Nufail (ayah Sa’id bin Zaid radhiallahu ‘anhu) mendendangkan dan melagukan bait-bait syair tersebut, lalu dia memandang ke arah Ka’bah seraya berucap, “Aku datang untuk memenuhi panggilan-Mu, wahai Tuhanku. Aku datang untuk memenuhi panggilan-Mu dengan sebenar-benarnya.”

Zaib bin ‘Amr bin Nufail merupakan putra dari paman ‘Umar bin Khaththab radhiallahu ‘anhu. Dia hidup sebelum Islam datang dan sebelum diutusnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dengan fitrah atau tabiatnya yang lurus, dia pun mendapat petunjuk untuk menyembah Allah, sehingga dia tidak pernah menyembah berhala-berhala ataupun menyembelih binatang untuk dipersembahkan kepada berhala-berhala itu seperti yang biasa dilakukan oleh kaum musyrikin di Makkah pada saat itu.

Dia pernah berkata kepada penduduk Makkah, “Wahai kaum Quraisy, Allah telah menurunkan hujan untuk kalian, menumbuhkan tanaman untuk kalian, dan menciptakan kambing untuk kalian, tetapi mengapa kalian menyembelih binatang-binatang ini untuk selain Allah? Bagaimana hal ini bisa terjadi?”

Mendengar ini, Khaththab bin ‘Amr bin Nufail pun berdiri dan memukul wajahnya, lalu dia berkata  kepadanya: ”Celakalah kamu, sungguh kita sudah terlalu bersabar terhadapmu.”

Selanjutnya, Khaththab menyiksanya dengan siksaan yang pedih, hingga akhirnya Zaid pun terpaksa keluar dari Makkah. Dia tidak pernah kembali ke Makkah, kecuali dengan sembunyi-sembunyi. Hal itu karena dia merasa takut kepada pamannya, Khaththab ayah ‘Umar radhiallahu ‘anhu.

Di Makkah Zaid bin ‘Amr mengadakan pertemuan dengan Waraqah bin Naufal, ‘Abdullah bin Jahsy, dan Umaimah binti Harits (bibi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam). Selain mereka, dalam pertemuan itu ada juga ‘Ustman bin Huwairits.

Zaid berkata kepada mereka, “Demi Allah, kalian semua telah mengetahui bahwa kaum kalian telah menyimpang dari ajaran –ajaran agama Ibrahim. Mengapa kita berthawaf mengelilingi batu yang tidak bisa mendengar dan melihat serta tidak dapat memberikan mudharat dan juga manfaat ? Wahai kaum, carilah agama untuk kalian semua. Demi Tuhan, kita bukanlah apa-apa.”

Mereka kemudian berpencar ke segala penjuru negeri untuk mencari agama yang benar. Adapun Waraqah bin Naufal telah memeluk agama Masehi, sementara ‘Abdullah bin Jahsy dan ‘Utsman bin Huwairits masih melanjutkan pencarian terhadap agama yang benar itu, hingga akhirnya datanglah Islam. ‘Abdullah bin Jahsy radhiallahu ‘anhu pun beriman dan masuk Islam, hingga akhirnya dia terbunuh sebagai syahid dalam perang Uhud, lalu dia dijuluki dengan julukan Asy-Syahid Al-Mujadda’ (syahid yang tangannya terpotong).

Tinggalah Zaid bin ‘Amr yang telah pergi ke negeri Syam untuk mencari agama Ibrahim ‘alaihissalam, hingga akhirnya dia bertemu dengan seorang pendeta di Syam. Dia menceritakan hal itu kepada pendeta tersebut. Sang pendeta pun berkata, “Sesungguhnya kamu sedang mencari agama yang sudah tidak ada. Oleh karena itu, pulanglah ke Makkah, karena sesungguhnya Allah akan mengutus kepada kalian orang yang memperbaharui agama Ibrahim itu. Pergilah, lalu berimanlah kepadanya dan ikutilah dia!”

Ketika Zaid masih berada dalam perjalanan menuju Makkah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam telah diutus sebagai rasul. Saat itu Zaid belum mengetahui bahwa Rasulullah telah diutus. Sayangnya, kematian telah lebih dulu menjemputnya sebelum dia beriman. Dia telah dibunuh oleh sebagian orang Badui (Arab pedalaman).

Ketika kisah ini diceritakan kepada nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau pun menceritakan tentang sosok Zaid, “ Sesungguhnya dia akan dibangkitkan pada hari kiamat (nanti) seorang diri sebagai satu umat (yang terpisah).”

Menjelang hembusan nafas terakhirnya, Zaid berkata, “Ya Allah, jika Engkau memang tidak menghendaki kebaikan ini (agama Islam) untukku, maka janganlah Engkau halangi anakku (Sa’id) darinya.”

Doa Zaid ini masih menggantung di antara langit dan bumi, hingga pada suatu hari ketika Sa’id sedang berada di Makkah, dia mengetahui bahwa Rasulullah telah diutus. Karenanya, dia beserta istrinya, Fatimah binti Khaththab, yang merupakan saudara perempuan ‘Umar bin Khaththab, segera beriman kepada Rasulullah  Shallallahu ‘alaihi wasallam.

Keislaman mereka berdua itu terjadi pada awal munculnya Islam, sebelum masuknya Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wasallam ke dalam rumah Arqam bin Abi Arqam (Daarul Arqam).

Sa’id masih merahasiakan keimanannya dan dia sangat sabar menghadapi siksaan yang berasal dari kaumnya, sehingga dia pun tidak diusir dari Makkah,s eperti yang dialami  sebelumnya oleh orang tuanya. Akan tetapi kemudian, ‘Umar mengetahui keimanan Sa’id. ‘Umar pun bermaksud membunuhnya, lalu dia memukulnya hingga darah mengalir dari wajah Sa’id . Akan tetapi, kesabaran Sa’id dalam menghadapi sikap ‘Umar inilah yang menjadi salah satu faktor penyebab masuknya ‘Umar radhiallahu ‘anhu ke dalam Islam, *seperti yang telah kami sebutkan pada kisah masuknya ‘Umar ke dalam Islam.*

Sa’id pergi berhijrah ke Madinah bersama istrinya, Fathimah. Sebelum terjadinya perang Badar, Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wasallam telah memilihnya dan mengutusnya untuk pergi bersama Thalhah bin Ubaidillah dengan tujuan agar dia mengetahui jumlah pasukan kaum musyrikin dan mematai gerak-gerik mereka. Oleh karena itu, Sa’id pun tidak ikut serta dalam peperangan Badar. Akan tetapi, Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wasallam telah memberinya bagian  ghanimah (harta rampasan) yang diperoleh dalam perang tersebut. Dia dianggap seperti orang yang ikut serta dalam perang itu.

Setelah itu Sa’id ikut serta dalam setiap peperangan bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dia bertempur dengan menggunakan pedangnya dan beriman dengan menggunakan hatinya. Bahkan pada suatu hari dia pernah berada bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di gua Hira’ dengan para shahabat lainnya. Ketika itu tiba-tiba gunung  Hira’ bergetar, maka nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “ Tenanglah, wahai Hira’, karena sungguhnya tidak ada yang berada di atasmu, kecuali seorang nabi, seorang yang sangat jujur (ash-shiddiq), dan seorang syahid.”

Ketika orang-orang bertanya kepada Sa’id, “Siapa sajakah yang bersamamu pada saat itu ?”

Sa’id pun menjawab, “Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman, ‘Ali, Zubair, Thalhah, ‘Abdur Rahman bin ‘Auf, dan Sa’ad bin Malik.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda tentang Sa’id, “Sa’id bin Zaid di surga.”

Sa’id merupakan salah satu dari sepuluh orang yang mendapat kabar gembira bakal masuk surga. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala meridhoinya. Dia memegang teguh janjinya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk memerangi kaum musyrikin di negeri Persia, sehingga melalui tangannya dan juga tangan shahabat-shahabatnya, Allah pun memadamkan api yang  menjadi sesembahan kaum Majusi ; dan berkat perjuangannya pula para penduduk Persia beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Setelah penaklukan terhadap negeri Persia selesai, Sa’id tidak tinggal diam. Dia mengangkat pedang dan barang-barangnya untuk pergi ke negeri-negeri lain yang sedang di perangi oleh kaum muslimin. Kali ini sasarannya adalah negeri Syam dimana pada saat itu sedang berlangsung pertempuran yang sangat menentukan antara kaum  muslimin dengan bangsa Romawi, yaitu perang Yarmuk.

Di atas kertas, nampaknya kemenangan lebih dekat kepada pasukan Romawi, karena jumlah mereka sangat banyak, sementara jumlah kaum muslimin sangat sedikit.

Kekalahan bangsa Romawi berarti jatuhnya negeri Syam secara keseluruhan ke tangan kaum muslimin. Karenanya, kedua pasukan itu pun sama-sama mempersiapkan dirinya sebaik mungkin untuk menghadapi pertempuran ini. Pasukan Romawi datang dengan jumlah personel seratus dua puluh ribu pasukan, sedangan jumlah pasukan kaum muslimin hanya dua puluh empat ribu pasukan saja. Kedua pasukan ini saling berhadap-hadapan.

Para pendeta dan uskup datang sambil membawa salib-salib mereka sambil mengeraskan suara mereka untuk membaca doa-doa. Ketakutan pun merasuk ke dalam hati kaum muslimin ketika pasukan Romawi mengulang-ulang doa-doa tersebut. Suara mereka laksana gunung-gunung yang bergeser dari tempatnya.

Pemimpin kaum muslimin yang bernama Abu Ubaidah bin Jarrah berdiri untuk memberikan khutbah kepada kaum muslimin. Dia berkata, “Wahai hamba-hamba Allah, tolonglah Allah, niscaya Allah akan menolong kalian dan meneguhkan kaki-kaki kalian. Bersabarlah, sesungguhnya kesabaran akan menyelamatkan kalian dari kekufuran dan akan menyebabkan kalian diridhai oleh Tuhan. Tetaplah kalian diam sampai aku memberikan perintah kepada kalian. Ingatlah selalu kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.”

Diantara kaum muslimin, keluarlah seorang laki-laki. Dia berkata kepada Abu Ubaidah, “Wahai Abu Ubaidah, sekarang aku akan pergi dengan harapan aku dapat gugur sebagai syahid dan aku akan keluar untuk memerangi mereka. Apakah kamu mempunyai pesan yang akan kamu kirimkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ?”

Abu Ubaidah menjawab, “Ya. Kirimkan salam dari kami untuk beliau, dan katakan kepada beliau bahwa kami telah mengetahui bahwa apa yang dijanjikan oleh Tuhan kami kepada kami adalah benar.”

Melihat itu, Sa’id bin Zaid radhiallahu ‘anhu pun berkata, “Ketika aku melihat lelaki tersebut telah menaiki kudanya, menghunus pedangnya, dan melesat menuju musuh-musuh Allah guna memerangi mereka, aku pun meletakkan lututku ke tanah, lalu aku melemparkan anak panahku ke arah seorang anggota pasukan berkuda dari bangsa Romawi. Saat itu Allah menghilangkan rasa takut dari dalam hatiku. Maka, aku pun langsung masuk menembus barisan musuh. Aku memerangi mereka hingga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan kemenangan kepada kami.”

Abu Ubaidillah telah mengetahui dengan baik kesungguhan keimanan Sa’id. Karenanya Abu Ubaidillah pun menyerahkan misi penaklukan Damaskus kepada Sa’id, lalu dia menjadikan Sa’id sebagai wali (gubernur) disana. Ketika semua orang yang hidup pada masanya sudah berpulang keharibaan  Allah, Sa’id bin Zaid masih tetap hidup sampai masa Dinasti Bani Umayyah.

Masa-masa akhir hayat Sa’id bin Zaid radhiallahu ‘anhu
Pada masa Dinasti Bani Umayyah, Sa’id bin Zaid menangisi shahabat-shahabat Islam yang telah meninggal sebelumnya. Tinggalah dia seorang diri menyaksikan terjadinya fitnah (kerusuhan) dan menyaksikan bagaimana kehidupan dunia dengan segala macam perhiasannya telah masuk ke dalam hati kaum muslimin, maka Sa’id pun lebih memilih untuk kembali ke Madinah dan tinggal disana. Pada waktu itu yang menjadi gubernur di Madinah adalah Marwan bin Hakam bin ‘Ash.

Saat itu seorang wanita yang bernama Arwa binti Uwais keluar, lalu dia berkata, “Sesungguhnya Sa’id telah mencuri tanahku dan telah memasukkannya ke bagian tanahnya.” Sungguh perkataan itu sangat menyakitkan hati Sa’id bin Zaid, shahabat Rasulullah dan salah satu dari sepuluh orang yang mendapat kabar gembira berupa surga. Karenanya, Sa’id pun berkata, “Ya Allah, jika dia berbohong, maka hilangkanlah penglihatannya dan bunuhlah ia di tanahnya sendiri.”

Seketika itu pula hujan turun dari langit sampai diperbatasan tanah yang menurut wanita itu Sa’id telah melampaui batas tersebut. Seketika mata wanita itupun menjadi buta dan hanya selang beberapa hari, wanita itu terjatuh dalam sebuah lubang  yang  berada di tanah miliknya hingga dia meninggal dunia. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengabulkan doa Sa’id bin Zaid yang terzhalimi dan telah dituduh sebagai seorang pembohong dan pendusta.

Pada suatu pagi penduduk Madinah dikagetkan oleh suara seorang pelayat yang menangisi kepergian Sa’id bin Zaid radhiallahu ‘anhu. Peristiws itu terjadi pada masa kekhalifahan Muawiyah bin  Abi Sufyan, tepatny a pada tahun ke-50 Hijriyah. Dia di kuburkan oleh Sa’ad bin Abi Waqqash radhiallahu ‘anhu dan ‘Abdullah bin ‘Umar radhiallahu ‘anhu. Salam sejahtera baginya.

Biografi 20 Shahabiyah Rasulullah

Muslimah Cantik Indonesia

💐🌸 / Biografi 20 Shahabiyah Rasulullah yang Asing di Telinga Kita / 🌸💐
.
#MuslimahNewsID — Jika menyebut para shahabiyah Rasulullahﷺ tentu Anda akrab dengan nama-nama Asma binti Abu Bakar, Asma Binti Umais, Sumayyah binti Khayyath dan sebagainya. Lalu, bagaimana dengan para shahabiyah yang jarang Anda dengar namanya?
.
Di bawah ini adalah para Shahabiyah Rasulullah ﷺ yang asing di telinga Anda, dengan penjelasan biografi singkatnya.
.
/ 1. Arwa binti Abdul Muthalib (wafat 15 H) /
.
Bibi Rasulullah ini, termasuk wanita yang terpandang pada masa Jahiliah dan masa Islam. Beliau memiliki ide-ide yang jernih dan profesional melantunkan syair.
.
/ 2. Fatimah binti Qais bin Khalid (wafat 50 H) /
.
Sahabat wanita yang berpandangan luas ini termasuk rombongan yang pertama berhijrah. Di tempat kediamannyalah diselenggarakan pertemuan tokoh-tokoh Islam (ahli syura) untuk memusyawarahkan pengganti khalifah sepeninggal Umar.
.
/ 3. Gazalah Al-Haruriah (wafat 77 H) /
.
Istri Syabib bin Yazid Al-Haruri ini terkenal sebagai wanita pemberani dan tangkas. Beliau ikut berperang dalam beberapa kali pertempuran sebagaimana pahlawan lainnya. Terdapat sebuah cerita populer tentang dirinya yaitu larinya Hajjaj karena tidak mampu menghadapinya dalam sebuah pertempuran.
.
/ 4. Hindun binti Utbah bin Rabiah (wafat 14 H) /
.
Sahabat wanita dari suku Quraisy yang terkenal dengan kefasihan kelantangan, ide-ide yang gemilang dan tegas ini, cukup professional dalam membacakan syair. Sebelum masuk Islam dia sering membangkitkan semangat kaum musyrikin untuk menghantam kaum muslimin. Dia masuk Islam pada waktu penaklukan Kota Mekah dan berkesempatan pula mengikuti Perang Yarmuk serta aktif membangunkan semangat kaum muslimin dalam melawan tentara Romawi.
.
/ 5. Juwairiah binti Abu Sofyan (wafat 54 H) /
.
Seorang sahabat dan pejuang wanita yang turut menggempur musuh secara langsung pada Perang Yarmuk. Beliau juga ikut dalam berbagai pertempuran lainnya yang membuktikan bahwa dia adalah wanita pionir yang tangkas.
.

/ 6. Khaulah binti Azwar Al-Asadi (wafat 35 H) /
.
Penyair wanita yang termasuk pemberani ini mirip dengan Khalid bin Walid dalam aktifitas kemiliterannya. Dia mempunyai kumpulan cerita tentang penaklukan negeri-negeri Syam. Syair-syairnya dianggap sebagai syair yang melukiskan kemuliaan dan kemegahan.
.
/ 7. Laila Al-Gifariah (wafat 40 H) /
.
Sahabat wanita yang terpandang ini sering mengikuti Rasulullah ke medan tempur untuk mengobati pejuang yang sakit dan terluka. Pada waktu Perang “Jamal” ia ikut berangkat ke Basrah berperang di barisan Ali bin Abu Thalib.
.
/ 8. Lubabah Kubra (Lubabah binti Harits Al-Hilali) (wafat 30 H) /
.
Istri Abbas bin Abdul Muthalib ini, termasuk wanita terhormat yang melahirkan banyak tokoh. Beliau masuk Islam di Mekah setelah Khadijah, dengan demikian dia adalah wanita kedua masuk Islam.
.
/ 9. Muazah binti Abdullah Al-Adawiah (wafat 83 H) /
.
Wanita ini adalah pakar hadis yang banyak meriwayatkan hadis dari Aisyah dan Ali bin Abu Thalib radhiyallahu anhu. Dia termasuk perawi yang terpercaya yang mencapai tingkat siqah dan hujjah dalam ilmu hadis.
.
/ 10. Qatilah binti Harits bin Kaldah (wafat 20 H) /
.
Penyair wanita ranking pertama ini, adalah saudara kandung Nadhar yang sering menghalang-halangi orang-orang yang ingin menemui Nabi . Beliau berhasil menawan dan membunuh saudaranya pada Perang Badar, seraya melantunkan sebuah syair yang dianggap merupakan sebab Rasulullah. melarang membunuh tawanan Quraisy. Beliau masuk Islam dan meriwayatkan hadis-hadis dari Rasulullah.
.
/ 11. Rabayi` binti Mi`waz bin Harits Al-Anshariah (wafat 45 H) /
.
Sahabat wanita yang terkemuka ini sempat membaiat Rasulullah pada waktu Baiat Ridwan dan turut dalam berbagai pertempuran bersama Rasulullah . Dia bertugas mensuplai minuman kepada para pejuang dan merawat serta mengobati mereka serta mentransportasikan pahlawan yang gugur dan yang luka-luka ke Madinah.
/ 12. Rufaidah Al-Anshariah (wafat 35 H) /
.
Sahabat wanita juru rawat tentara yang luka-luka ini telah mengabdikan dirinya untuk melayani para pejuang Islam dan dianggap sebagai juru rawat pertama dalam sejarah Islam. Dialah yang membalut luka Saad bin Abu Waqash ketika dibawa ke kemahnya sewaktu Perang Khandaq.
.
/ 13. Rumaisha binti Milhan (wafat 30 H) /
.
Sahabat wanita terpandang, ibu Anas bin Malik ini, ikut dalam beberapa kali pertempuran. Pada waktu Perang Uhud, dia bertugas sebagai pensuplai minuman para pejuang dan mengobati yang cedera.
.
Pada waktu Perang Hunain dia bersama Aisyah bertugas mengambil air dan membawanya dengan kantong-kantong kulit untuk diberikan kepada kaum muslimin di saat perang sedang berkecamuk, setelah itu mereka kembali lagi mengambil air dan membawanya ke barisan kaum muslimin.
.
/ 14. Subaiah binti Harits /
.
Subaiah binti Harits Al-Aslamiah ini, adalah seorang sahabat wanita yang pernah kawin dengan Saad bin Khaulah dari suku Bani Amir yang berasal dari Bani Luai. Saad, suaminya, sempat ikut dalam Perang Badar dan wafat ketika melaksanakan haji wada. Umar bin Abdullah bin Arqam meriwayatkan hadis yang berkenaan dengan talak dari sahabat wanita ini.
.
/ 15. Syifa binti Abdullah Al-Adawiah Al-Qurasyiah (wafat 20 H) /
.
Sahabat wanita yang terkemuka ini, pada zaman Jahiliah sudah pandai tulis-baca dan setelah Islam dia mengajari Hafsah (istri Rasulullah.) tulis-baca. Rasulullah memberikan kepadanya sebuah rumah di Madinah. Umar bin Khattab selalu mengutamakan pendapatnya.
.
/ 16. Ummu Athiyah Al-Anshariah (Nasibah binti Harits) (wafat 8 H) /
.
Sahabat wanita terkemuka ini, sempat berbaiat kepada Rasulullah, meriwayatkan hadis-hadis dari beliau dan mengikuti beliau berperang sebanyak tujuh kali peperangan. Dia bertugas membuat makanan untuk pejuang muslimin, mengobati tentara yang terluka dan merawat yang sakit.
.
/ 17. Ummu Darda (Khairah binti Abu Hadrad Al-Aslami) (wafat 30 H) /
.
Sahabat wanita yang terkemuka dan memiliki ide-ide yang cemerlang ini berhasil menghafal banyak hadis Rasulullah . Banyak tabiin yang meriwayatkan hadis dari beliau, seperti Sofwan bin Abdullah. Beliau berdomisili di Madinah dan meninggal di negeri Syam (Suriah).
.
/ 18. Ummu Kulsum binti Uqbah bin Muit (wafat 40 H) /
.
Sahabat wanita yang masuk Islam di Mekah ini adalah wanita yang ikut berhijrah dalam priode pertama. Beliau berjalan kaki dari Mekah menuju ke Madinah.
.
Ummu Qais binti Mihsan. Nama aslinya adalah Aminah binti Mihsan Al-Asadiah, seorang sahabat wanita yang telah memeluk Islam dari sejak dini dan ikut berhijrah dan membaiat Nabi . Dialah wanita yang datang menyerahkan bayinya kepada Nabi yang kemudian oleh Nabi diletakkan di atas pangkuannya, bayi tersebut buang air kecil, Nabi menyuruh mengambil air dan menyiramkannya ke atas bagian pakaian yang terkena air kencing tanpa dicuci.
.
/ 19. Ummu Waraqah binti Abdullah bin Harits (wafat 15 H) /
.
Sahabat wanita yang sempat berbaiat kepada Rasulullah ini, adalah hafal dan mempunyai koleksi Alquran. Beliau sempat mengikuti,Perang Badar, di saat itu dia aktif mengobati tentara yang terluka dan merawat yang sakit.
.
/ 20. Zainab binti Ali bin Abu Talib (wafat 62 H) /
.
Dia adalah saudara kandung Hasan dan Husain yang sempat ikut bersama saudaranya Husain dalam Perang Karbela. Dia dikenal dengan kewibawaan dan kepandaian berpidato dengan gaya bahasa yang menarik. []
.

Biografi Buya Hamka

HAMKA adalah sebuah singkatan sekaligus nama pena dari Haji Abdul Malik Karim Amrullah. Namanya harum sebagai ulama, sastrawan, wartawan, pengajar, dan aktivis politik di Indonesia.

Beliau mendapat nama panggilan “Buya” yang diambil daripada perkataan Arab ‘Abi’ atau ‘Abuya’ yang membawa maksud ayah atau seseorang yang amat dihormati. Inilah rekam jejak perjalanan Buya Hamka yang telah berjuang di jalan kebaikan demi tanah air kita, Indonesia.

Abdul Malik, nama kecil Hamka, lahir pada 17 Februari 1908 di sebuah dusun Nagari Sungai Batang yang letaknya di tepian Danau Maninjau, Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Ia lahir sebagai anak pertama dari tujuh orang bersaudara dan dibesarkan dalam keluarga yang taat melaksanakan ajaran agama Islam.

Ayahnya bernama Abdul Karim Amrullah, ulama pembaru Islam di Minangkabau yang akrab dipanggil dengan sebutan Haji Rasul, sementara ibunya, yakni Sitti Shafiyah, berasal dari keturunan seniman di Minangkabau. Adapun ayah dari Abdul Karim, kakek Hamka, yakni Muhammad Amrullah dikenal sebagai ulama pengikut Tarekat Naqsyabandiyah.

Sebelum mengenyam pendidikan di sekolah, Hamka kecil tinggal bersama neneknya di sebuah rumah di dekat Danau Maninjau. Ketika berusia enam tahun, ia pindah bersama ayahnya ke Padang Panjang. Ia belajar di surau, mengikuti tradisi anak laki-laki di Minangkabau. Di surau, ia belajar mengaji dan silek, sementara di luar itu, ia suka mendengarkan kaba, kisah-kisah yang dinyanyikan dengan alat-alat musik tradisional Minangkabau. Pergaulannya dengan tukang-tukang kaba, memberikannya pengetahuan tentang seni bercerita dan mengolah kata-kata.

Pada tahun 1915, setelah usianya genap tujuh tahun, ia dimasukkan ke sebuah Sekolah Desa. Siang hari ia belajar pengetahuan umum ke Sekolah Desa di Guguk Malintang. Dua tahun kemudian, sambil tetap belajar setiap pagi di Sekolah Desa, ia juga belajar di Diniyah School setiap sore. Namun sejak dimasukkan ke Thawalib oleh ayahnya pada tahun 1918, ia tidak dapat lagi mengikuti pelajaran di Sekolah Desa. Ia berhenti setelah tamat kelas dua. Setelah itu, ia belajar di Diniyah School setiap pagi, sementara sorenya belajar di Thawalib (semacam pesantren non mukim) dan malamnya kembali ke surau.

Merasa jenuh, Hamka sering tidak hadir di dalam kelas. Ia lebih senang berada di perpustakaan umum milik gurunya, Zainuddin Labay El Yunusy. Dari perpustakaan gurunya, Hamka leluasa membaca bermacam-macam buku, bahkan beberapa ia pinjam untuk dibawanya pulang. Namun, karena buku yang dipinjamnya itu tidak ada hubungannya dengan pelajaran, ia sempat dimarahi oleh ayahnya ketika ketahuan tengah asyik membaca Kaba Cindua Mato. Ayahnya berkata, “Apakah engkau akan menjadi orang alim nanti, atau menjadi orang tukang cerita?”

Sebagai usaha untuk menunjukkan diri kepada ayahnya dan sebagai akibat dari persentuhannya dengan buku-buku yang dibacanya tentang daya tarik Jawa Tengah, Hamka muda sangat berminat untuk merantau ke Tanah Jawa. Pada saat yang sama, ia tidak lagi tertarik untuk menyelesaikan pendidikan di Thawalib. Setelah belajar selama empat tahun, ia memutuskan untuk keluar dari Thawalib, sementara program pendidikan di sekolah tersebut dirancang selama tujuh tahun. Ia keluar tanpa memperoleh ijazah.

Pada masa-masa setelah itu, ia sempat dibawa ke Parabek, sekitar 5 km dari Bukittinggi pada tahun 1922 untuk belajar kepada Syekh Ibrahim Musa, tetapi tidak berlangsung lama. Ia lebih memilih mengikuti kata hatinya untuk menuntut ilmu dan pengalaman menurut caranya sendiri. Ia memutuskan untuk bertolak ke pulau Jawa. Namun, usaha yang pertama sempat terjegal oleh ayahnya.

Buya Hamka memang dikenal sebagai orang yang sering berkelana. Ia telah bepergian ke sejumlah tempat di Minangkabau sejak berusia remaja, sehingga dijuluki oleh ayahnya dengan sebutan “Si Bujang Jauh”.

Ketika berusia 15 tahun, setelah mengalami suatu peristiwa yang mengguncangkan jiwanya, yakni perceraian orang tuanya, ia telah berniat pergi ke pulau Jawa setelah mengetahui bahwa Islam di Jawa lebih maju daripada Minangkabau terutama dalam hal pergerakan dan organisasi. Namun setiba di Bengkulu, ia terkena wabah penyakit cacar, sehingga setelah sekitar dua bulan berada di atas pembaringan, ia memutuskan kembali ke Padang Panjang. Meski begitu niatnya untuk pergi ke pulau Jawa tidak terbendung.

Pada tahun 1924, setahun setelah sembuh dari penyakit cacar, ia kembali berangkat ke pulau Jawa.

Setiba di pulau Jawa, Hamka muda bertolak ke Yogyakarta dan menetap di rumah adik kandung ayahnya, Ja’far Amrullah. Melalui pamannya itu, ia mendapat kesempatan mengikuti berbagai diskusi dan pelatihan pergerakan Islam yang diselenggarakan oleh Muhammadiyah dan Sarekat Islam. Selain mempelajari pergerakan Islam, ia juga meluaskan pandangannya dalam persoalan gangguan terhadap kemajuan Islam seperti kristenisasi dan komunisme. Selama di Jawa, ia aktif dalam berbagai kegiatan sosial dan agama.

Dalam berbagai kesempatan, ia berguru kepada Bagoes Hadikoesoemo, HOS Tjokroaminoto, Abdul Rozak Fachruddin, dan Suryopranoto. Sebelum kembali ke Minangkabau, ia sempat mengembara ke Bandung dan bertemu dengan tokoh-tokoh Masyumi seperti Ahmad Hassan dan Mohammad Natsir, yang memberinya kesempatan belajar menulis dalam Majalah Pembela Islam. Selanjutnya pada tahun 1925, ia pergi ke Pekalongan, Jawa Timur untuk menemui Ahmad Rasyid Sutan Mansur—yang waktu itu menjabat sebagai Ketua Muhammadiyah cabang Pekalongan—sekaligus belajar kepadanya. Selama di Pekalongan, ia menetap di rumah kakak iparnya itu dan mulai tampil berpidato di beberapa tempat.

Setelah setahun lamanya berada di Jawa, pada bulan Juli 1925 Hamka kembali ke Padang Panjang. Di Padang Panjang, ia menulis majalah pertamanya berjudul Chatibul Ummah, yang berisikan kumpulan pidato yang didengarkannya di Surau Jembatan Besi, dan Majalah Tabligh Muhammadiyah.

Di sela-sela aktivitasnya dalam bidang dakwah melalui tulisan, ia menyempatkan berpidato di beberapa tempat di Padang Panjang. Namun pada saat itu, semuanya justru dikritik tajam oleh ayahnya, “Pidato-pidato saja adalah percuma, isi dahulu dengan pengetahuan, barulah ada arti dan manfaatnya pidato-pidatomu itu.” Di sisi lain, ia tidak mendapatkan penerimaan baik dari masyarakat. Ia sering kali dicemooh sebagai “tukang pidato yang tidak berijazah”, bahkan ia sempat mendapat kritikan dari sebagian ulama karena ketika itu ia belum menguasai bahasa Arab dengan baik. Berbagai kritikan yang ia terima, ibarat cambuk yang melecutnya untuk membekali diri lebih matang.

Pada bulan Februari 1927, Buya Hamka mengambil keputusan pergi ke Mekkah untuk memperdalam ilmu pengetahuan kegamaannya, termasuk untuk mempelajari bahasa Arab dan menunaikan ibadah hajinya yang pertama. Ia pergi tanpa pamit kepada ayahnya dan berangkat dengan biaya sendiri. Selama di Mekkah, ia menjadi koresponden Harian Pelita Andalas sekaligus bekerja di sebuah perusahaan percetakan milik Tuan Hamid, putra Majid Kurdi, yang merupakan mertua dari Ahmad Khatib Al-Minangkabawi. Di tempat ia bekerja itu, ia dapat membaca kitab-kitab klasik, buku-buku, dan buletin Islam dalam bahasa Arab, satu-satunya bahasa asing yang dikuasainya.

Menjelang pelaksanaan ibadah haji berlangsung, Hamka bersama beberapa calon jemaah haji lainnya mendirikan organisasi Persatuan Hindia-Timur, sebuah organisasi yang memberikan pelajaran manasik haji kepada calon jemaah haji asal Indonesia.

Setelah menunaikan haji, dan beberapa lama tinggal di Tanah Suci, ia berjumpa dengan Agus Salim dan sempat menyampaikan hasratnya untuk menetap di Mekkah, tetapi Agus Salim justru menasihatinya untuk segera pulang. “Banyak pekerjaan yang jauh lebih penting menyangkut pergerakan, studi, dan perjuangan yang dapat engkau lakukan. Karenanya, akan lebih baik mengembangkan diri di tanah airmu sendiri”, ujar Agus Salim. Ia pun segera kembali ke tanah air setelah tujuh bulan bermukim di Mekkah. Namun, bukannya pulang ke Padang Panjang, Hamka malah menetap di Medan, kota tempat berlabuhnya kapal yang membawanya pulang.

Selama di Medan, Buya Hamka banyak menulis artikel di berbagai majalah dan sempat menjadi guru agama selama beberapa bulan di Tebing Tinggi. Ia mengirimkan tulisan-tulisannya untuk surat kabar Pembela Islam di Bandung dan Suara Muhammadiyah yang dipimpin Abdul Rozak Fachruddin di Yogyakarta. Selain itu, ia juga bekerja sebagai koresponden di Harian Pelita Andalas dan menuliskan laporan-laporan perjalanan, terutama perjalanannya ke Mekkah pada tahun 1927. Pada tahun 1928, ia menulis romannya yang pertama dalam bahasa Minangkabau berjudul Si Sabariyah.

Pada tahun yang sama, ia diangkat sebagai redaktur Majalah Kemajuan Zaman berdasarkan hasil konferensi Muhammadiyah di Padang Panjang. Setahun berikutnya, ia menulis beberapa buku, antara lain: Agama dan Perempuan, Pembela Islam, Adat Minangkabau, Agama Islam, Kepentingan Tabligh, dan Ayat-ayat Mi’raj. Namun, beberapa di antara kayanya tersebut disita karena dianggap berbahaya bagi pemerintah kolonial yang sedang berkuasa ketika itu.

Sewaktu di Medan, orang-orang di kampungnya sudah berkali-kali berkirim surat memintanya pulang, tetapi selalu ditolak oleh Hamka. Oleh sebab itu, ayahnya meminta Ahmad Rasyid Sutan Mansur untuk menjemput dan membujuk Hamka pulang. Bujukan kakak iparnya itu akhirnya membuat Hamka luluh, dan kemudian ia pulang ke kampung halamannya di Maninjau, sementara rumah ayahnya di Padang Panjang luluh lantah akibat gempa bumi pada tahun 1926. Setiba di kampung halamannya, ia diterima ayahnya dengan penuh haru hingga menitikkan air mata.

Ayahnya terkejut mengetahui Hamka telah berangkat haji dan pergi dengan ongkos sendiri. Ayahnya bahkan berkata, “Mengapa tidak engkau beri tahu bahwa begitu mulia dan suci maksudmu? Abuya (ayah) ketika itu sedang susah dan miskin. Kalau itu maksudmu, tak kayu jenjang dikeping, tak emas bungkal diasah.” Sejak saat itu, pandangan Hamka terhadap ayahnya mulai berubah. Namun, setelah sekitar setahun menetap di Sungai Batang, ia kembali meninggalkan kampung halamannya.

Hamka pindah ke Medan pada tahun 1936. Di Medan, ia bekerja sebagai editor sekaligus menjadi pemimpin redaksi sebuah majalah pengetahuan Islam yang didirikannya bersama M. Yunan Nasution, yaitu Majalah Pedoman Masyarakat. Melalui Pedoman Masyarakat, ia untuk pertama kalinya memperkenalkan nama pena “Hamka”. Selama di Medan, ia menulis Di Bawah Lindungan Ka’bah, yang terinspirasi dari perjalanannya ke Mekkah pada tahun 1927.

Setelah Di Bawah Lindungan Ka’bah diterbitkan pada tahun 1938, ia menulis Tenggelamnya Kapal Van der Wijck, yang pada awalnya ditulis sebagai cerita bersambung dalam Pedoman Masyarakat. Selain itu, ia juga menerbitkan beberapa roman dan buku-buku lainnya seperti: Merantau ke Deli, Keadilan Ilahi, Tuan Direktur, Angkatan Baru, Terusir, Di Dalam Lembah Kehidupan, Ayahku, Tasawuf Modern, dan Falsafah Hidup. Namun pada tahun 1943, Majalah Pedoman Masyarakat yang dipimpinnya dibredel oleh Jepang, yang ketika itu berkuasa di Indonesia.

Setelah perkawinannya dengan Sitti Raham, Hamka aktif dalam kepengurusan Muhammadiyah cabang Minangkabau, yang cikal bakalnya bermula dari perkumpulan Sendi Aman yang didirikan oleh ayahnya pada tahun 1925 di Sungai Batang. Selain itu, ia sempat menjadi pimpinan Tabligh School, sebuah sekolah agama yang didirikan Muhammadiyah pada 1 Januari 1930.

Sejak menghadiri Muktamar Muhammadiyah di Solo pada tahun 1928, Hamka tidak pernah absen menghadiri kongres-kongres Muhammadiyah berikutnya. Sekembalinya dari Solo, ia mulai memangku beberapa jabatan, sampai akhirnya ia diangkat sebagai Ketua Muhammadiyah cabang Padang Panjang. Seusai Muktamar Muhammadiyah ke-19 di Bukittinggi pada tahun 1930, disusul dengan kongres berikutnya di Yogyakarta, ia memenuhi undangan untuk mendirikan cabang Muhammadiyah di Bengkalis.

Selanjutnya pada tahun 1932, ia diutus oleh Muhammadiyah ke Makassar dalam rangka mempersiapkan dan menggerakkan semangat rakyat untuk menyambut Muktamar Muhammadiyah ke-21 di Makassar. Selama di Makassar, ia sempat menerbitkan Al-Mahdi, majalah pengetahuan Islam yang terbit sekali sebulan. Pada tahun 1934, setahun setelah menghadiri Kongres Muhammadiyah di Semarang, ia diangkat menjadi anggota tetap Majelis Konsul Muhammadiyah untuk wilayah Sumatera Tengah.

Kariernya di Muhammadiyah kian menanjak sewaktu ia pindah ke Medan. Pada tahun 1942, bersamaan dengan jatuhnya Hindia-Belanda ke dalam tampuk kekuasaan penjajah Jepang, Hamka terpilih menjadi pimpinan Muhammadiyah untuk wilayah Sumatera Timur menggantikan H. Mohammad Said. Namun pada Desember 1945, ia memutuskan kembali ke Minangkabau dan melepaskan jabatan tersebut. Pada tahun berikutnya, ia terpilih menjadi Ketua Majelis Pimpinan Muhammadiyah Sumatera Barat menggantikan S.Y. Sutan Mangkuto. Jabatan ini ia rengkuh hingga tahun 1949.

Pada tahun 1953, ia terpilih sebagai pimpinan pusat Muhammadyiah dalam Muktamar Muhammadiyah ke-32 di Purwokerto. Sejak saat itu, ia selalu terpilih dalam Muktamar Muhammadiyah selanjutnya, sampai pada tahun 1971 ia memohon agar tidak dipilih kembali karena merasa uzur. Akan tetapi, ia tetap diangkat sebagai penasihat pimpinan pusat Muhammadiyah sampai akhir hayatnya.

Ulasan-ulasan sebelumnya telah menjelaskan kepada kita bahwa sejak masih muda, Buya Hamka telah terlibat dalam aktivitas politik, yaitu ketika menjadi anggota Sarekat Islam pada tahun 1925 dan, setelah kemerdekaan ia aktif dengan Partai Masyumi. Pada pemilihan umum 1955, ia terpilih menjadi anggota Dewan Konstituante mewakili Jawa Tengah. Akan tetapi pengangkatan tersebut ditolak karena merasa tempat tersebut tidak sesuai baginya. Atas desakan kakak iparnya, Ahmad Rasyid Sutan Mansur, akhirnya Hamka menerima pengangkatan tersebut.

Di Konstituante, ia bersama Mohammad Natsir, Mohammad Roem, dan Isa Anshari menjadi pihak yang paling konsisten memperjuangkan syariat Islam menjadi dasar negara Indonesia. Dalam pidatonya, Hamka mengusulkan agar dalam sila pertama Pancasila dimasukkan kembali kalimat tentang “kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya”, sebagaimana yang termaktub dalam Piagam Jakarta. Akan tetapi, pemikiran Hamka ditentang keras oleh sebagian besar anggota Konstituante, yang umumnya berasal dari pihak komunis.

Selanjutnya, dalam sidang Konstituante di Bandung pada tahun 1957, ia menyampaikan pidato penolakannya atas gagasan Presiden Soekarno yang akan menerapkan Demokrasi Terpimpin. Namun, segala usahanya itu kandas setelah Soekarno membubarkan Dewan Konstituante melalui Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959 dan, perjalanan politik Hamka dapat dikatakan berakhir setelah Masyumi ikut dibubarkan oleh Presiden Soekarno.

Sikap Buya Hamka yang konsisten terhadap agama, menyebabkannya acapkali berhadapan dengan berbagai rintangan, terutama terhadap beberapa kebijakan pemerintah. Keteguhan sikapnya ini membuatnya dipenjarakan oleh Soekarno dari tahun 1964 sampai 1966.

Pada awalnya, Hamka diasingkan ke Sukabumi, kemudian ke Puncak, Megamendung, dan terakhir dirawat di rumah sakit Persahabatan Rawamangun, sebagai tawanan. Di dalam penjara ia mulai menulis Tafsir al-Azhar yang merupakan karya ilmiah terbesarnya.

Buya Hamka tidak pernah menyimpan dendam kepada orang yang telah menjebloskannya ke dalam penjara.